"SELAMAT DATANG DI BLOG 007INDIEN SEMOGA MENDAPATKAN SESUATU YANG BERMANFAAT DI BLOG INI"

Kamis, 22 Maret 2012

Teori Konstruktivisme Vygotsky dan Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik Vygotsky


A.    Teori Konstruktivisme Vygotsky
Teori konstruktivisme adalah salah satu dari banyak teori belajar yang telah didesain dalam pelaksanaan pembelajaran matematika. Seperti halnya behaviorisme dan kognitivisme, konstruktivisme dapat diterapkan dalam berbagai aktivitas belajar baik pada ilmu-ilmu sosial maupun ilmu eksakta. Dalam matematika, konstruktivisme telah banyak diteliti, diterapkan, dan diuji coba pada situasi ruangan kelas yang berbeda-beda. Dari berbagai percobaan itu telah banyak menghasilkan berbagai pandangan yang ikut mempengaruhi perkembangan, modifikasi, dan inovasi pembelajaran. Lahirnya berbagai pendekatan seperti pembelajaran kooperatif, sosio-kultur, pembelajaran kontekstual, dan lain-lain merupakan hasil inovasi dan modifikasi dari teori pembelajaran.
Sebelum membahas lebih jauh tentang Teori Konstruktivisme Vygotsky, berikut ini saya mencoba memaparkan tentang biografi Vygotsky. Nama lengkap Vygotsky adalah Lev Semonovich Vygotsky lahir pada tahun 1896 di Tsarist Russia, di suatu kota Orscha, Belorussia dari keluarga kelas menengah Keturunan Yahudi. Dia tumbuh dan besar di Gomel, suatu   kota sekitar 400 mil bagian barat Moscow. Sewaktu dia masih muda, dia tertarik pada studi-studi kesusasteraan dan analisis sastra, dan menjadi seorang penyair dan Filosof.
Memasuki usia 18 tahun, dia menulis suatu ulasan tentang Shakespeare's Hamlet yang kemudian dimasukkan dalam satu dari berbagai tulisannya mengenai psikologi. Dia memasuki sekolah kedokteran di Universitas Moscow dan dalam waktu yang tidak lama kemudian dia pindah ke sekolah hukum sambil mengambil studi kesusasteraan pada salah satu universitas swasta. Dia menjadi tertarik pada psikologi pada umur 28 tahun.
Vygotsky mengajar kesusasteraan di suatu sekolah Propinsi sebelum memberi kuliah psikologi pada suatu sekolah keguruan. Dia dipercaya membawakan kuliah psikologi walaupun secara formal tidak pernah mengambil studi psikologi. Dari sinilah dia semakin tertarik dengan kajian psikologi sehingga menulis disertasi Ph.D. mengenai ”Psychology of Art” di Moscow Institute of Psychology pada tahun 1925.
Vygotsky bekerja kolaboratif bersama Alexander Luria and Alexei Leontiev dalam membuat dan menyusun proposal penelitian yang sekarang ini dikenal dengan pendekatan Vygotsky. Selama hidupnya Vygotsky mendapat tekanan yang begitu besar dari pemegang kekuasaan dan para penganut idelogi politik di Rusia untuk mengadaptasi dan mengembangkan teorinya.
Setelah dia meninggal pada usia yang masih dibilang sangat muda (38 tahun), pada tahun 1934 akibat menderita penyakit tuberculosis (TBC), barulah seluruh ide dan teorinya diterima oleh pemerintah dan tetap dianut dan dipelajari oleh mahasiswanya.
Kepeloporannya dalam meletakkan dasar tentang psikologi perkembangan telah banyak mempengaruhi sekolah pendidikan di Rusia yang kemudian teorinya berkembang dan dikenal luas di seluruh dunia hingga saat ini.
Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari lingkungan (Taylor, 1993), pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi (Taylor, 1993). Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan yang menurut beliau, bahwa interaksi sosial yaitu interaksi individu tersebut dengan orang lain merupakan faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara evisien dan efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan lingkungan yang mendukung (supportive), dalam
bimbingan seseorang yang lebih mampu, guru atau orang dewasa.
Dengan hadirnya teori konstruktivisme Vygotsky ini, banyak pemerhati pendidikan yang megembangkan model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran peer interaction, model pembelajaran kelompok, dan model pembelajaran problem poshing.
Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan intrapsikologi (intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu).
Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua ide; Pertama, bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000), Kedua, Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang (Ratner dalam Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, system tulisan, dan sistem perhitungan.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu:
1.      Pembelajaran sosial (social leaning).
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap;
2.      ZPD (zone of proximal development).
Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak.
3.      Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship).
Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai;
4.      Pembelajaran Termediasi (mediated learning).
Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.
Sedangkan Ratumanan (2004:45) menguraikan 5 prinsip-prinsip kunci teori Konstruktivisme oleh Vygotsky:
  1. Penekanan pada hakekat sosiokultural belajar. ygotsky menekankan pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia. Siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Menurut Vygotsky  fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya. Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seorang terlibat secara sosial dalam dialog. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Prinsip ini melahirkan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning).
  1. Daerah Perkembangan Terdekat ( Zone of Proximal Development = ZPD).  Vygotsky  yakin bahwa belajar terjadi jika anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan proksimal mereka. Daerah proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit  diatas tingkat perkembangan seseorang saat ini, artinya bahwa daerah ini adalah daerah antara tingkat perkembangan sesungguhnya  (aktual) dan tingkat perkembangan potensial anak. Tingkat perkembangan aktual adalah pemfungsian intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk mempelajari sesuatu dengan kemampuannya sendiri (kemampuan memecahkan masalah secara mandiri), sedang tingkat perkembangan potensial anak adalah kondisi yang dapat dicapai oleh seseorang individu dengan bantuan orang dewasa atau melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu. (kemampuan memecahkan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya). Jadi pada saat siswa bekerja dalam daerah perkembangan terdekat (ZPD)  mereka, tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri, akan dapat mereka selesaikan dengan bantuan teman sebaya  atau orang dewasa. Pembelajaran di sekolah hendaknya bekerja dalam daerah ini, menarik kemampuan-kemampuan  anak  dengan maksud mendorong pertumbuhan seefektifnya.
  1. Pemagangan kognitif. Vygotsky menekankan bahwa pemagangan kognitif  mengacu pada proses di mana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui interaksinya dengan pakar. Pakar yang dimaksud adalah orang menguasai permasalahan yang dipelajari, jadi dapat berupa orang dewasa atau teman sebaya. Dalam konteks koperatif, siswa yang lebih pandai dalam kelompoknya dapat merupakan pakar bagi teman-teman dalam kelompok tersebut.
  1. Perancahan (Scaffolding). Perancahan (scaffolding) mengacu kepada pemberian sejumlah bantuan oleh teman sebaya atau orang dewasa yang berkompeten kepada anak. Menurut Slavin (Ratumanan, 2004:47) scaffolding berarti memberikan kepada anak sejumlah besar dukungan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu melakukan tugas tersebut secara mandiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal dalam meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang lebih tinggi menjadi optimum. Prinsip ini melahirkan metode  penemuan terbimbing dalam pembelajaran.
  1. Bergumam (Private Speech). Berguman adalah berbicara dengan diri sendiri atau berbicara dalam hati untuk tujuan membimbing dan mengarahkan diri sendiri. Menurut Vygotsky private speech dapat memperkuat interaksi sosial anak dengan orang lain. Private speech dapat dilihat pada seorang anak yang dihadapkan pada suatu masalah dalam sebuah ruangan di mana terdapat orang lain, biasanya orang dewasa. Anak kelihatannya berbicara pada dirinya sendiri mengenai masalah tertentu, tetapi pembicaraanya diarahkan pada orang dewasa. Private speech kemudian dihalangi, tertangkap dan ditransformasikan ke dalam proses berfikir.
Ratumanan (2004:49) mengemukakan bahwa bahasa memiliki makna untuk menyatakan ide-ide dan menyampaikan pertanyaan. Bahasa juga memberikan kategori-kategori dan konsep-konsep untuk berfikir. Ketika kita mempertimbangkan suatu masalah, kita biasanya berfikir dalam kata-kata dan bagian kalimat-kalimat.
Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vigotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka.

B.     Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik Vygotsky
Berdasarkan teori Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat dirancang/didesain dalam model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
1.      Identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi.
Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
2.      Penyusunan program pembelajaran.
Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
3.       Orientasi dan elicitasi,
Situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka
mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang
gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya seharihari. Pengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
4.      Refleksi.
Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifatmiskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
5.      Resrtukturisasi ide, berupa:
a.  tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu.
b.  konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator.
c.  membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu
d.     memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
6.      Aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
7.     Review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.

Sumber :
Slavin, Robert E. (1997). Educational Psychology-Theory and Practice. Fourth Edition. Boston, Allyn and Bacon.
Vygotsky’s Educational Theory in Cultural Context, Cambridge Universty press, 2003

Minggu, 11 Maret 2012

Model Pembelajaran Conceptual Understanding Procedures (CUPs)

          Indien~ Model pembelajaran Conceptual Understanding Procedures (CUPs) adalah model pembelajaran yang dirancang untuk membantu perkembangan  pemahaman siswa menemukan konsep yang sulit. Conceptual Understanding Procedures (CUPs) telah dikembangkan di Fisika, tetapi dapat dirancang untuk bidang studi lain seperti Kimia, Matematika dan Biologi. Model Conceptual Understanding Procedures (CUPs) konstruktivis dalam pendekatan, yaitu didasarkan pada keyakinan bahwa siswa membangun pemahaman mereka sendiri  konsep-konsep dengan memperluas atau memodifikasi pandangan mereka yang ada. Prosedur juga memperkuat nilai pembelajaran kooperatif dan individu studentis peran aktif dalam belajar. Conceptual Understanding Procedures (CUPs) dikembangkan pada tahun 1996 oleh David Mills dan Susan Feteris (Departemen Fisika) sekarang sekolah Fisika di Monash University. Kemudian Pam Mulhall dan Brian Mc Kittrick memperbarui Conceptual Understanding Procedures (CUPs) pada tahun 1999, 2001 dan 2007. [1]

      Model CUPs adalah suatu metode pembelajaran dimana pada siswa ditanamkan bagaimana membuat kesimpulan atas materi yang dipelajari. Melalui  metode ini siswa mampu mendefinisikan konsep, mengidentifikasi dan memberi contoh atau bukan contoh dari konsep. Oleh karena itu, siswa lebih mudah saat menyelesaikan soal matematika[2].
       Conceptual Understanding Procedures (CUPs) adalah suatu model pembelajaran yang bertujuan untuk  membantu meningkatkan pemahaman konsep yang dianggap sulit oleh siswa. Conceptual Understanding Procedures (CUPs) berlandaskan pada pendekatan konstruktivisme yang didasari pada kepercayaan bahwa siswa mengkonstruksi pemahaman konsep dengan memperluas atau memodifikasi pengetahuan yang sudah ada.  Conceptual Understanding Procedures (CUPs) juga melibatkan nilai-nilai cooperative learning dan peran aktif siswa dalam proses pembelajaran.
      
Prosedur yang diketengahkan meliputi pembelajaran individu, diskusi kelompok, dan diskusi kelas. Tahapan Conceptual Understanding Procedures (CUPs) adalah sebagai berikut :
1.     Siswa dihadapkan pada masalah matematika untuk dipecahkan secara individu
2.  Siswa dikelompokkkan, setiap kelompok terdiri dari beragam kemampuan (tinggi-sedang-rendah) berdasarkan kategori yang dibuat  oleh guru. Jumlah siswa dalam setiap kelompok setiap kelompok mulai dari 2 sampai dengan 4 siswa. Setelah siswa dikelompokkan, setiap kelompok mendiskusikan permasalahan yang sama dengan permasalahan yang harus dipecahkan secara individu. Dalam pelaksanaan diskusi kelompok guru  mengelilingi kelas untuk mengklarifikasi hal-hal yang berkenan dengan masalah bila diperlukan. Namun guru tidak terlibat lebih jauh dalam diskusi. 
3.  Diskusi kelas. Dalam tahapan ini hasil kerja triplet ditempel atau di pajang di depan kelas, kemudian seluruh siswa diminta duduk di dekat pajangan membentuk lingkaran U, sehingga seluruh siswa dapat melihat semua jawaban secara jelas. Selanjutnya guru melihat persamaan dan perbedaan jawaban siswa. Mungkin terdapat beberapa jawaban yang sama. Diskusi kelas dapat dimulai dengan memilih satu jawaban yang jawabannya dapat mewakili seluruh jawaban yang ada. Guru kemudian bertanya kepada anggota triplet yang jawabannya diambil untuk menjelaskan jawaban yang mereka buat. Jawaban yang berbeda dengan jawaban yang dipilih guru diminta juga untuk menjelaskannya. Berdasrkan kedua jawaban yang berbeda tersebut, siswa diminta untuk membuat argumentasi sendiri , sehingga dicapai kesepakatan yang dianggap sebagai hasil jawaban akhir siswa. Dalam tahapan ini guru belum menjelaskan jawaban yang sebenarnya. Selain itu pada proses ini siswa benar-benar dituntut untuk berpikir sehingga guru  harus memperhatikan waktu tunggu sebelum memberikan pertanyaan lanjutan. Diakhir diskusi guru harus dapat melihat bahwa setiap siswa benar-benar menyadari (memegang) jawaban yang disetujui, dan bisa jadi siswa menuliskannya dalam kertas  yang mereka pajang (tapi tanpa komentar yang lebih lanjut). Bila siswa tidak tidak dapat mencapai kesepakatan, maka guru bisa menyimpulkan hasil diskusi, serta menyakinkan siswa bahwa kesimpulan ini dapat diterima.[3]


[2]  Iin Retno Indriawati,  Penerapan Metode Conceptual Understanding Procedures (CUPs) dalam Pembelajaran Matematika untuk  Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika  (PTK pada siswa kelas V SD Negeri 2 Kartoharjo Ngawi T.A 2009/2010, (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan  UMS)
[3] Gemala Sari Nasution, “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran Conceptual Understanding Procedures pada Pokok Bahasan Persamaan Linier Satu Variabel di Kelas VII SMP Dharma Pancasila T.A. 2009/2010” Skripsi pada Jurusan Pendidikan Matematika , (Medan : Perpustakaan IAIN-SU) 2009, hlm,24

Prinsip Belajar Matematika

Segala aktivitas  yang  dilakukan manusia dalam usaha memperbaiki diri atau dengan kata lain aktivitas manusia bersifat positif disebut belajar. Di dalam  Islam setiap  manusia dituntut untuk senantiasa belajar, karena  orang yang belajar adalah orang-orang yang  berilmu dan sebaliknya orang-orang yang berilmu sangat mulia di sisi-Nya.
Belajar merupakan kegiatan rutinitas manusia untuk menempuh hidup di dalam kehidupannya. Di dalam belajar manusia mengalami perubahan. Istilah perubahan memiliki arti bahwa seseorang yang telah  belajar akan mengalami perubahan tingkah laku, baik itu aspek pengetahuan, maupun aspek-aspek sikapnya, misalnya dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari ragu  menjadi yakin dan lain-lain. Singkatnya belajar adalah aktivitas sadar yang dilakukan seseorang untuk mengubah tingkah laku ke arah yang lebih baik.
Dalam pelaksanaannya belajar matematika memiliki beberapa prinsip antara lain: 
a.    Belajar matematika merupakan  belajar konsep abstrak di mana teorema dan dalil perlu dibuktikan kebenarannya dengan pembuktian deduktif.
b.   Belajar matematika merupakan belajar mengenai ide, gagasan yang logis dan ter struktur di mana pelajaran sebelumnya sangat berkaitan dengan pelajaran  sekarang dan akan datang.
c.      Belajar  matematika merupakan belajar dengan sistem atau sistematis, yang sifatnya mengulang jika tidak menguasai salah satu poin atau materi-materi yang ada di dalamnya.
d.      Belajar matematika harus banyak mengulang/latihan.
e.      Belajar matematika harus banyak mengerjakan soal, agar dapat memecahkan masalah yang terdapat di sekitar lingkungan, baik di sekolah, di rumah maupun di sekitarnya. 


Sedangkan dalam Kurikulum 2004, pembelajaran matematika menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Prinsip pedagogis (pendidikan) secara umum:
Pembelajaran di wali dari kongkrit menuju ke abstrak, dari sederhana menuju ke kompleks (rumit), dan dari mudah menuju ke sulit dengan menggunakan berbagai sumber belajar.
2.      Konstruktivisme:
Belajar akan bermakna bagi siswa apabila mereka aktif dengan berbagai cara untuk mengkonstruksi (membangun) sendiri pengetahuannya. Dalam hal ini tugas guru adalah menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa melakukan penemuan-ulang konsep, rumus, atau prinsip matematika di bawah bimbingan guru (proses reinvensi terbimbing / guided reinvention).
3.      Pendekatan pemecahan masalah:
Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika. Siswa diberi kesempatan untuk banyak memecahkan masalah dengan cara sendiri. Selain masalah tertutup (hanya mempunyai satu solusi), siswa juga perlu menghadapi masalah terbuka (mempunyai lebih dari satu solusi).
4.      Variasi strategi pembelajaran:
Dalam pembelajaran matematika, guru perlu mengkombinasikan berbagai strategi pembelajaran, seperti ekspositori (pemberian penjelasan), inkuiri (penyelidikan), penugasan, dan permainan.
5.      Variasi pengelolaan siswa:
Dalam pembelajaran matematika, guru perlu mengkombinasikan berbagai pengelolaan siswa, seperti kerja individual (perseorangan), kerja kelompok (cooperative learning), dan diskusi klasikal (melibatkan semua siswa di kelas secara bersama-sama).
6.      Lingkungan fisik, sosial, dan budaya:
Setiap sekolah memiliki ciri khas lingkungan belajar, kelompok siswa, orangtua, dan masyarakat yang berbeda-beda dari segi fisik (alam, benda-beda), sosial, dan budaya. Guru perlu mengenali hal ini untuk menetapkan strategi pembelajaran, organisasi kelas, dan pemanfaatan sumber belajar yang efektif.
7.      Masalah kontekstual sebagai titik pangkal (starting point):
Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika dimulai dengan pengenalan dan pemecahan masalah kontekstual (masalah yang mengandung situasi yang sudah dikenal siswa dari pengalamannya), dan kemudian secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep atau prinsip matematika.
8.      Kelompok siswa normal, sedang, dan tinggi:
Dalam pembelajaran matematika, guru melayani semua kelompok siswa, baik yang normal, sedang, mau pun tinggi. Dalam hal ini guru perlu mengenal dan mengidentifikasi kelompok-kelompok tersebut. Kelompok normal adalah kelompok yang memerlukan waktu belajar relatif lebih lama dari kelompok sedang, sehingga perlu diberikan pelayanan dalam bentuk menambah waktu belajar atau memberikan remediasi (kegiatan pembelajaran untuk membantu siswa mengatasi kesulitan belajar). Sedangkan kelompok tinggi adalah kelompok yang memiliki kecepatan belajar lebih cepat dari kelompok sedang, sehingga guru dapat memberikan pelayanan dalam bentuk akselerasi (percepatan) belajar atau pemberian materi pengayaan. 
Sumber : 
Nurhadi, Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban, (Jakarta : PT. Grasindo, 2004)
http://pmatandy.blogspot.com/2008/12/prinsip-prinsip-pembelajaran-matematika.html