Jumat, 09 Maret 2012

Prinsip Dasar dan Karakteristik Pembelajaran Konstruktivisme


a.      Prinsip Dasar Pembelajaran Konstruktivisme
Belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental peserta didik secar aktif, dan juga merupakan proses asimilasi dan menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang sehingga pengetahuannya mengenai objek tertentu menjadi lebih kokoh. Semua pelajar benar-benar mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri, dan bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap oleh murid. Ini berarti bahwa setiap murid akan mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan (Muijs dan Reynolds, 2008:97).
Selanjutnya Muijs dan Reynolds  mengemukakan bahwa murid adalah konstruktor pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah konsekuensi yaitu :
1.   Belajar selalu merupakan sebuah proses aktif. Pelajar secara aktif mengkonstrusikan belajarnya daru berbagai macam input yang diterimanya. Ini menyiratkan bahwa belajar harus bersikap aktif agar dapat belajar secara efektif. belajar adalah tentang membantu murid untuk mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan tentang “mendapatkan jawaban yang benar” karena dengan cara seperti ini murid dilatih untuk mendapatkan jawaban yang benar tanpa benar-benar memahami konsepnya.
2.   Anak-anak belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif (konflik dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi dan metakognisi (Beyer, 1985)
3. Bagi konstruktivis, belajar adalah pencarian makna. murid secara aktif berusaha mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, guru mestinya berusaha mengkonstruksi berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide besar eksplorasi yang memungkinkan murid untuk mengkonstruksi makna
4.  Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata. Belajar juga dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman sebaya, guru, orang tua, dan sebagainya. Dengan demikian yang terbaik adalah mengkonstruksikan siatuasi belajar secara sosial, dengan mendorong kerja dan diskusi kelompok
5. Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa murid secara individual dan kolektif mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif guru harus memiliki pengetahuan yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehinggga mereka dapat menilai secara akurat belajar seperti apa yang dapat terjadi
6.   Di samping itu, belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta secara abstrak, tetapi sealalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita ketahui.
7. Belajar secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang kita pelajari dan bukan dengan cepat pindah satu topik ke topik lain. Murid hanya dapat mengkonstruksikan makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan hanya bagian-bagiannya
8. Mengajar adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar untuk menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman realistis. Ini akan menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan pemahaman yang lebih dalam dibandingkan dengan memorisasi permukaan yang sering menjadi ciri pendekatan-pendekatan mengajar lainnya (Von Glaserfelt, 1989). Ini juga membuat kaum konstruktivis percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on daripada tekxbook
Suparno (1997) mengidentifikasi 3 prinsip kontruktivis dalam belajar yakni sebagai berikut; (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pengajar kepada pebelajar, kecuali dengan keaktifan siswa itu sendiri untuk menalar, (3) pengajar sekedar membantu pebelajar dengan menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pebelajar berlangsung secara efektif dan efisien.
Sedangkan Jacqueline Grennon Brooks dan Martin G. Brooks dalam The case for constructivist classrooms. (1993) menawarkan lima prinsip kunci konstruktivist teori belajar. Anda dapat menggunakan mereka untuk membimbing/memandu pada kajian struktur kurikulum dan perencanaan pelajaran. Menurutnya terdapat lima panduan prinsip konstruktivisme:
Prinsip 1: Permasalahan yang muncul sebagai hal yang relevan dengan siswa
Dalam banyak contoh, masalah style Anda mengajar mungkin akan menjadi relevan dengan selera untuk para siswa, dan mereka akan mendekatinya, merasakan keterkaitannya kepada kehidupan mereka.
Prinsip 2: Struktur belajar di sekitar konsep-konsep utama
Mendorong para siswa untuk membuat makna dari bagian-bagian yang menyeluruh/utuh ke dalam bagian-bagian yang terpisah-pisah. Hindari mulai dengan bagian-bagian dahulu untuk membangun kemudian sesuatu yang "menyeluruh/utuh."
Prinsip 3: Carikan dan hargai poin-poin pandangan siswa sebagai jendela memberi alasan mereka.
Tantangan gagasan dan pencarian elaborasi yang tepat ditangkap siswa, sering mengancam banyak siswa. Maksudnya adalah bahwa sering para siswa di dalam kelas yang secara tradisional mereka tidak bisa menduga serta menghubungkan apa yang guru maksudkan untuk jawaban yang benar dan cepat, agar ia tidak berada di luar topik dari diskusi kelas yang diadakan. Mereka harus betul-betul "masuk" dan ”sibuk” ikut mengkaji tugas-tugas dalam belajar sebagai konstruktivis lingkungan melalui petanyaan-peranyaan, sanggahan, ataupun jawaban yang diajukan.
Para siswa juga harus mempunyai suatu kesempatan untuk mengelaborasi merinci dan menjelaskan. Kadang-kadang, perasaan anda terlibat dalam, atau apa yang siswa pikirkan dan kemukakan mereka bukanlah hal yang penting. Hal ini adaah anggapan yang keiru, karena itu jika siswa memulai dengan konsep yang tidak/kurang jelas maka dapat dilacak dengan peranyaan-peranyaan seperti; “mengapa”?, dan “bagaimana”?. Gunakan jawaban siswa itu untuk mengarah kepada adanya evidesi-evidensi yang kuat sehingga dapa mengokohkan vaiditas jawaban siswa tersebut. Sebab dalam belajar konstruktivisme pengetahuan menuntut tidak hanya waktu untuk mencerminkan atau menguaraikan tetapi juga untuk waktu praktik menjelaskan.
Dengan demikian kedudukan dan peranan demonstarsi, siswa tidak hanya dituntut dalam pengembangan fluency-nya saja melainkan terhindar dari situasi dan kondisi yang dapat menimbulkan verbalisme.
Prinsip 4. Sesuaikan pembelajaran dengan perkiraan menuju pengembangan siswa.
Memperkenalkan topik kajian pengembangan dengan tepat atau sesuai, adalah suatu awal yang baik untuk dapat dipahami pengembangan konsep berikutnya
Prinsip 5; Nilai hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran.
Geser/ubah peniaian itu harus benar-benar sedang menilai apa yang benar-benar sedang terjadi saat penilaian itu. Berlangsung, dan jangan sekali-kai menilai itu dalam kebiasaan skor yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu. Ekspresi Anda bisa bervariasi, kadang-kadang optimis, periang, namun sesekali bisa pesimis, sedih, maupun marah. Namun peru diingat marahnya seorang guru dalam kerangka sedang mendidik, dalam konteks pembelajaran, bukan marah mengekspresikan kekesalan. Begitu juga ketika Anda memberikan bantuan pada seseorang atau beberapa siswa, bantuan Anda lakukan benar-benar dalam kerangka mendidik, bukan sedang menyintai seseorang, atau agar mendapat simpatik dari seorang siswi yang cantik.
Di siniah perlunya authentic assessment yakni suatu penilaian yang betul-betul menilai apa yang terjadi sesungguhnya secara alami, tidak diwarnai oleh preseden penilaian sebelumnya, melainkan suatu assessment di suatu konteks yang penuh arti ketika berhubungan dengan permasalahan dan perhatian asli yang dihadapi oleh para siswa.
Kedua prinsip di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Dalam kaitannya dengan ini, Funston (1996) lebih spesifik mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi proses belajar tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka secara umum ada empat prinsip dasar konstruktivisme dalam pembelajaran :
1)  Pengetahuan terdiri atas konstruksi masa silam, memberikan arti bahwa manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasi, mengorganisasi dan menginterpretasikan pengalamnnya.
2)     Pengkonstruksian pengetahuan terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Manusia menggunakan asimilasi sebagai suatu kerangka logis dalam menginterpretasikan informasi baru dan dengan akomodasi dalam memecahkan kontradiksi-kontradiksi sebagai bagian dari proses regulasi diri yang lebih luas.
3)      Belajar merupakan suatu proses organic penemuan lebih dari proses mekanik yang akumulatif. Penganut konstruktivisme menganut posisi bahw abelajar harus meperoleh pengalaman berhipotesis, memprediksi, memanipulasi objek berimajinasi dan melakukan penemuan dalam upaya mengembangkan struktur kognitif.
4)  Mengacu pada mekanisme yang memungkinkan terjadinya perkembangan struktur kognitif. Belajar bermakna, akan terjadi melalui proses refleksi dan resolusi konflik.
Implikasi prinsip-prinsip belajar tersebut dalam proses pembelajaran diantaranya bahwa mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari pembelajar kepada pembelajar, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan pembelajar membangun sendiri pengetahuannya sendiri, mengajar berarti berpartisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Dasar pemikiran seperti ini menjadikan teori konstruktivistik sebagai landasan teori-teori belajar yang pernah ada, seperti teoru perubahan konsep, teori belajar bermakna dan teori skema. Dari penjelasan ini tergambar bahwa konstruktivisme merupakan teori yang berlandaskan pada pembelajaran siswa dalam membentuk pengetahuannya sendiri dan guru sebagai mediator dan fasilitator yang relevan.
Berdasarkan hal ini, terdapat beberapa prinsip yang menjadi foundation dalam constructivistic learning :
1)      Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif
2)      Tekanan proses belajar terletak pada siswa
3)      Mengajar adalah membantu siswa belajar
4)      Penekanan dalam prpses belajar lebih kepada proses bukan hasil akhir
5)      Kurikulum menekankan partisipasi siswa
6)      Guru adalah fasilitator.
 Oleh karena itu, paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuam awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Untuk itu, guru dituntut untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemampuannya

b.      Karakteristik  Pembelajaran Konstruktivisme
Karakteristik belajar dengan pendekatan konstruktivisme menurut Slavin (1997) ada  4 yaitu :
  1. Proses Top-Down, yang berarti bahwa siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) ketrampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan. Sebagai contoh siswa dapat diminta untuk menuliskan suatu susunan kalimat, dan baru kemudian belajar tentang mengeja, tata bahasa, dan tanda baca.
  2. Pembelajaran kooperatif yaitu siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temanya.
  3. Generative learning (pembelajaran generatif) yaitu belajar itu ditemukan meskipun apabila kita menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka harus melakukan operasi mental dengan informasi itu untuk membuat informasi masuk kedalam pemahaman mereka.
  4. Pembelajaran dengan penemuan yaitu, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang mmungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Sumber : 
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Kontruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Muijs, Daniel, dan Reynolds David. (2008). Effective Teaching, Teori dan Praktek (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Slavin, Robert E. 2000. Educational Psycology: Theory and Practice. USA:Allyn Bacon


Tidak ada komentar:

Posting Komentar