BAB
I
PENDAHULUAN
Permasalahan terbesar yang dihadapi para peserta didik sekarang adalah mereka
belum bisa menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dan bagaimana
pengetahuan itu akan digunakan. Hal ini dikarenakan cara mereka memperolah
informasi dan motivasi diri belum tersentuh oleh metode yang betul-betul bisa
membantu mereka. Para siswa kesulitan untuk memahami konsep-konsep akademis
(seperti konsep-konsep matematika, fisika, atau biologi), karena metode
mengajar yang selama ini digunakan oleh pendidik (guru) hanya terbatas pada
metode ceramah. Di sisi lain tentunya siswa tahu apa yang mereka pelajari saat
ini akan sangat berguna bagi kehidupan mereka di masa datang, yaitu saat mereka
bermasyarakat ataupun saat di tempat kerja kelak.
Belum
optimalnya guru menerapkan model pembelajaran dapat mengakibatkan proses
pembelajaran yang kurang bermakna, siswa tidak aktif, siswa tidak dibiasakan
berpikir kritis dan meningkatkan penalaran dalam memecahkan suatu masalah. Pemecahan masalah merupakan bagian dari
pembelajaran matematika yang sangat
penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya siswa
dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan
yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah dalam kehidupan
sehari-hari. Pada umumnya setiap siswa berbeda-beda dalam proses penyelesaian
suatu masalah. Hal ini disebabkan bahwa setiap siswa memiliki cara yang berbeda
dalam hal menyusun segala sesuatu yang diamati, dilihat, diingat ataupun
dipikirkannya. Oleh karena itu untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
pada siswa, guru harus memberikan kepada siswa kesempatan yang berulang-ulang
untuk menyelesaikan masalah. Dengan demikian siswa akan belajar memahami,
menyeleksi, mengorganisasi, menyusun strategi kognitif yang dimiliki, yang
kemudian akan dikelola siswa menurut cara berfikirnya sendiri.
Belajar akan lebih
bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya.
Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam
kompetisi mengingat dalam jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak
memecahkan masalah dalam kehidupan jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan
suatu metode yang benar-benar bisa memberi jawaban dari masalah ini. Salah satu
metode yang bisa lebih memberdayakan siswa dalah pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning / CTL).
Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) disingkat menjadi CTL merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat.
Pembelajaran
kontekstual ini juga merupakan model belajar yang didasarkan
pada teori belajar konstruktivisme. Konstruktivisme memiliki penekanan tentang
belajar dan mengajar lebih terfokus pada suksesnya siswa mengorganisasi
pengalaman mereka, dan bukan pada kebenaran siswa dalam melakukan replikasi
atas apa yang dikerjakan guru. Sebagai implikasi dari konseptualisasi ini, maka
pebelajar hendaknya dipandang sebagai bagian yang aktif dan bertanggung jawab
atas pembelajaran dirinya. Belajar dipandang sebagai perubahan konsepsi siswa
yaitu konsepsi yang pada mulanya bersifat salah konsep menjadi konsepsi ilmiah.
Contextual Teaching and
Learning (CTL) adalah sistem
pembelajaran yang cocok dengan kinerja otak, untuk menyusun pola-pola yang
mewujudkan makna, dengan cara menghubungkan muatan akademis dengan konteks
kehidupan sehari-hari peserta didik. Hal ini penting diterapkan agar informasi
yang diterima tidak hanya disimpan dalam memori jangka pendek, yang mudah
dilupakan, tetapi dapat disimpan dalam memori jangka panjang sehingga akan
dihayati dan diterapkan dalam tugas pekerjaan.
CTL disebut pendekatan konstektual karena konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Menurut teori pembelajran kontekstual, pembelajaran terjadi hanya ketika
siswa (peserta didik) memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa
sehingga dapat terserap kedalam benak mereka dan mereka mampu menghubungannya
dengan kehidupan nyata yang ada di sekitar mereka. Pendekatan ini mengasumsikan
bahwa pikiran secara alami akan mencari makna dari hubungan individu dengan
linkungan sekitarnya.
Berdasarkan pemahaman di atas, menurut metode pembelajaran kontekstual
kegiatan pembelajaran tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas, tapi bisa di
laboratorium, tempat kerja, sawah, atau tempat-tempat lainnya. Mengharuskan
pendidik (guru) untuk pintar-pintar memilih serta mendesain linkungan belajar
yang betul-betul berhubungan dengan kehidupan nyata, baik konteks pribadi,
sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, serta lainnya, sehingga siswa memiliki
pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi
sendiri secara aktif pemahamannya. Dalam linkungan seperti itu, para siswa
dapat menemukan hubungan bermakna antara ide-ide abstrak dengan aplikasi
praktis dalam konteks dunia nyata; konsep diinternalisasi melalui menemukan,
memperkuat, serta menghubungkan.
Dalam pembelajaran kontekstual guru dituntut membantu siswa dalam mencapai
tujuannya. Maksudnya adalah guru lebih berurusan dengan strategi dari pada
memberi informasi. Di sini guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang
bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Kegiatan belajar
mengajar (KBM) lebih menekankan student
centered daripada teacher centered.
Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: 1)
Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa. 2) Memahami latar
belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama.
3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya
memilih dan mengkaiykan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam
pembelajaran kontekstual. 4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep
atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki
siswa dan lingkungan hidup mereka. 5) Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman
siswa, di mana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap rencana
pemebelajaran dan pelaksanaannya.
BAB II
KONSEP PEMBELAJARAN
CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING (CTL)
A. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
(CTL)
CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
CTL dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching
and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah dan
lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunai pendidikan di Amerika Serikat.
Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru-guru
dari enam propinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di Amerika
Serikat, melalui Direktorat SLTP Depdiknas
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL)
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001).
Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam
status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menhadari
bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan
membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal
yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk meggapainya.
Pembelajaran Kontekstual melibatkan
para siswa dalam aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran
akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Beberapa pendapat
tentang pembelajaran Kontekstual adalah sebagai berikut :
- Nanang Hanafia (2009 : 67) menyatakan bahwa Contextual Teaching and Learning yang umumnya disebut dengan pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pembelajaran holistik yang bertujuan untuk membelajarkan peserta didik dalam memahami bahan ajar secara bermakna (Meaningfull) yang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, baik berkaitan dengan lingkungan pribadi, agama, sosial, ekonomi maupun kultural. Sehingga peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat diaplikasikan dan ditransfer dari satu konteks permasalahan yang satu ke permasalahan lainnya.
- Wina Sanjaya (2008: 120) menyatakan bahwa Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka
- Syaiful Sagala (2005 : 88) menyatakan bahwa Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari – hari.
- Rusman (2009: 240) mengatakan pendekatan Kontekstual adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya bisa dilakukan berbagai cara, selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual, juga bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media, dan lain sebagainya yang memang baik secara langsung maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan pengalaman hidup nyata. Dengan demikian, pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan dirasakan sangat dibutuhkan oleh setiap siswa karena apa yang dipelajari dirasakan langsung manfaatnya
- Elaine B. Johnson (2007: 65) memaparkan bahwa CTL (Contextual Teaching and Learning) adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah
- Menurut Akhmad Sudrajat Contextual Teaching and Learning (CTL) Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya
- Menurut Baharudin dan Esa Nur Wahyuni (2007:137), Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapanya dalam kehidupan mereka sehari-hari
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli
dapat diambil kesimpulan bahwa, strategi Contextual
Teaching and Learning adalah konsep belajar, dimana guru menghadirkan dunia
nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapan ke dalam kehidupan mereka sehari-sehari,
sementara siswa memperoleh pengetahuan dan ketrampilan dari konteks yang
terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai
bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
B.
Prinsip-Prinsip Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pada dasarnya pembelajaran Contextual Teaching and Learning mempunyai beberapa prinsip pokok, jika prinsip itu dilaksanakan maka dapat dijamin
bahwa pembelajaran kontektual yang dilaksanakan akan berhasil seutuhnya. Ada
tujuh prinsip utama pembelajaran yang mendasari pembelajaran Contextual Teaching and Learning di
kelas. Menurut Nurhadi (2003:31) ketujuh komponen itu adalah kon struktivisme
(Construktivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat
belajar (Learning Comunity), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan
penilaian yang autentik (Authentic Assessment)
Selain prinsip pokok tersebut Alwasilah Alchaedar dalam
bukunya Contextual learning and
teaching (2007:46), mengatakan bahwa ada delapan komponen pokok yang mendasari pembelajaran Contextual Teaching and Learning yaitu, membuat keterkaitan yang bermakna, pembelajaran mandiri, melakukan pekerjaan yang berarti, bekerja sama,
berfikir kritis dan kreatif, membantu individu
untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, menggunakan penilaian yang autentik.
1. Membuat keterkaitan yang bermakna
(Making Meaningful Connections). Pada komponen ini diharapkan siswa dapat
mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam rangka
untuk mengembangkan minat secara individu, sebagai orang yang dapat bekerja
dengan atau tanpa kelompok. Kemudian menjadi orang yang dapat belajar sambil
berbuat (Learning By Doing).
2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang
signifikan (Doing Significant Work). Siswa mampu melakukan hubungan-hubungan
antar sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata
sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
3. Belajar
yang diatur sendiri (Selt-Regulated Learning). Siswa dapat melakukan pekerjaan
yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada
hubungannya dengan penentu pilihan, dan ada produknya/hasilnya yang sifatnya
nyata.
4. Bekerja
sama (Collaborating). Siswa dapat bekerja sama dengan siapa saja. Guru membantu
siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu memahami bagaimana mereka
saling mempengaruhi dan berkomunikasi.
5. Berfikir
kritis dan kreatif (Critical And Creative Thinking) Siswa dapat menggunakan
tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif: dapat
menganalisis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan
bukti-bukti.
6. Mengasuh
atau memelihara pribadi siswa (Nurturing The Individual). Siswa memelihara
pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang
tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak akan berhasil tanpa
dukungan orang dewasa. Seorang anak pasti akan menghormati dirinya dan juga
orang dewasa.
7. Mencapai
standar yang tinggi (Reaching High Standards). Siswa mengenal dan mencapai
standar yang tinggi: mengidentivikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk
mencapainya. Guru memperlihatkan pada siswa cara mencapai apa yang disebut
dengan “excellence”.
8. Menggunakan
penilaian autentik (Using Authentic Assessment). Siswa menggunakan pengetahuan
akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya,
siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam
pelajaran matematika, kesehatan, pendidikan, dan pelajaran bahasa inggris
dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah, atau membuat
penyajian perihal emosi manusia.
Dari prinsip-prinsip CTL tersebut menurut Udin Saefudin Sa’ud
(2008) ada tiga hal yang harus kita pahami yaitu :
1.
Pertama, Pembelajaran Kontekstual atau CTL menekankan
kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar
diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam
konteks pembelajaran kontekstual atau CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya
menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi
pelajaran.
2.
Kedua, Pembelajaran Kontekstual (CTL)
mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari
dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap
hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini
sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan
kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan
materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu
akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan
tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.Ketiga,
Pembelajaran Kontekstual (CTL) mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi
yang dipelajarinya, akan tetapi bagaiman materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya
dalam kehidupan sehari – hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk
ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam
mengarungi kehidupan nyata.
A.
Model
Pembelajaran Yang Melandasi Pembelajaran CTL
1. Direct Instruction (Pembelajaran
Langsung)
Model pembelajaran langsung adalah
model pembelajaran yang menekankan pada penguasaan konsep dan/atau perubahan
perilaku dengan mengutamakan pendekatan deduktif, dengan ciri-ciri sebagai
berikut: (1) transformasi dan ketrampilan secara langsung; (2) pembelajaran
berorientasi pada tujuan tertentu; (3) materi pembelajaran yang telah
terstuktur; (4) lingkungan belajar yang telah terstruktur; dan (5) distruktur
oleh guru. Guru berperan sebagai penyampai informasi, dan dalam hal ini guru
seyogyanya menggunakan berbagai media yang sesuai, misalnya film, tape
recorder, gambar, peragaan, dan sebagainya. Informasi yang
disampaikan dapat berupa pengetahuan prosedural (yaitu pengetahuan tentang
bagaimana melaksanakan sesuatu) atau pengetahuan deklaratif, (yaitu pengetahuan
tentang sesuatu dapat berupa fakta, konsep, prinsip, atau generalisasi).
2.
Cooperative
Learning (Pembelajaran Kooperatif)
Menurut Slavin (2000) Pembelajaran kooperatif atau
cooperative learning mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja
bersama dalam kelompok kecil. Banyak terdapat pendekatan kooperatif yang
berbeda satu dengan yang lain.
Aktivitas pembelajaran kooperatif dapat memainkan
banyak peran dalam pembelajaran. Didalam satu pelajaran tertentu pembelajaran
kooperatif dapat digunakan untuk tiga tujuan yang berbeda. Misalnya saja dalam
pelajaran matematika para siswa bekerja sebagai kelompok-kelompok yang sedang
berupaya menemukan sesuatu (misalnya saling membantu mengungkap bagaimana
memecahkan soal pecahan), setelah jam pelajaran yang resmi terjadwal itu habis,
siswa dapat bekerja sebagai kelompok-kelompok diskusi. Akhirnya, siswa mendapat
kesempatan bekerja sama untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah
menguasai segala sesuatu tentang pelajaran tersebut dalam persiapan untuk kuis,
bekerja dalam suatu format belajar kelompok.
Menurut Areunds (1997) terdapat enam tahap utama
dalam belajar kooperatif. Keenam tahapan tersebut dapat disajikan sebagai
berikut:
Tahap
1 Pemberian informasi tujuan belajar
Tahap
2 Analisis masalah guna mencapai maksud pembelajaran sebagaimana dimaksud
tahap1 dalam hal ini pembelajar dapat mengunakan metode demonstrasi
Tahap
3 Pembentukan atau mengatur pembelajar dalam team belajar
Tahap
4 Team belajar bekerja/ melakukan belajar secara kooperatif
Tahap
5 Penyajian hasil kerja team/ unjuk kerja team
Tahap
6 Pemberian masukan dan penghargaan atas
prestasi dan usaha individual maupun
kelompok.
Menurut
Ibrahim (2002) dalam buku pembelajaran kooperatif, strategi pembelajaran
kooperatif terdiri dari 6 fase atau langkah seperti terlihat pada tabel 1 berikut
ini:
Tabel
1: Langkah Pembelajaran Kooperatif
Fase-fase
|
Perilaku pendidik
|
Fase 1 : Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa
|
Pendidik
menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran
tersebut dan memotivasi siswa belajar
|
Fase 2 : menyajikan informasi
|
Pendidik
menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan
demonstrasi/presentasimenggunakan multimedia atau lewat worksheet/LKS yang
dibagikan.
|
Fase 3 : mengorganisasikan siswa
kedalam
kelompok-kelompok belajar
|
Pendidik
menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok-kelompok
belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
|
Fase 4 : membimbing kelompok
bekerja
|
Pendidik
membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
mereka.
|
Fase 5 : Evaluasi
|
Pendidik
mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau
tiap-tiap kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
|
Fase 6 : memberikan penghargaan
|
Pendidik
mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu
dan kelompok.
|
Berdasarkan
tahapan ini nampak bahwa dalam pembelajaran kooperatif pembelajar bekerja sama
dan saling mempunyai ketergantungan pada tugas-tugas tujuan dan tingkat
keberhasilan belajarnya. Dengan demikian peran pembelajar dalam pembelajaran
kooperatif jelas berbeda dengan pembelajaran kelompok tradisional, dalam
pembelajaran kelompok tradisional, pembelajar masih dominan dalam pemberian
informasi kepada pembelajar yang dalam hal ini cenderung membentuk komunikasi
satu arah. Tidak demikian halnya pada pembelajaran kooperatif, pada
pembelajaran kooperatif pembelajar lebih bersifat mengamati pebelajar dengan
seksama, pembelajar cenderung sebagai pengelola konflik.
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang
mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri:
- untuk memuntaskan materi belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara bekerja sama
- kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah
- jika dalam kelas terdapat siswa-siswa yang heterogen ras, suku, budaya, dan jenis kelamin, maka diupayakan agar tiap kelompok terdapat keheterogenan tersebut.
- penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok daripada perorangan.
Tujuan Pembelajaran Kooperatif
- Hasil belajar akademik , yaitu untuk meningkatkan kinerja siswa dalm tugas-tugas akademik. Pembelajaran model ini dianggap unggul dalam membantu siswa dalam memahami konsep-konsep yang sulit.
- Penerimaan terhadap keragaman, yaitu agar siswa menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai macam latar belakang.
- Pengembangan keterampilan social, yaitu untuk mengembangkan keterampilan social siswa diantaranya: berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau mengungkapkan ide, dan bekerja dalam kelompok.
3. Realistic
Mathematics Education
Pembelajaran matematika realistik
merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori
pembelajaran matematika realistik pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di
Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Freudenthal berpendapat
bahwa matematika harus diartikan dengan realita dan matematika merupakan
aktivitas manusia. Dari pendapat Freudenthal memang benar alangkah baiknya
dalam pembelajaran matematika harus ada hubungannya dengan kenyataan dan
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu manusia harus diberi kesempatan untuk
menemukan ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Matematika
harus dekat dengan anak dan kehidupan sehari-hari. Upaya ini dilihat dari
berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”.
Untuk Bagian II dan Daftar Pustaka Klik Disini!
Thank you infonya
BalasHapus