a. Perubahan Sosial di tinjau dari Pedagogik
(pendidikan)
Perubahan Sosial ditinjau
dari Pedagogik tradisional
Pertama-tama, kita lihat
pedagogik tradisional memandang lembaga pendidikan sebagai salah satu dari
struktur sosial dan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itru, lembaga
pendidikan[1] seperti sekolah perlu disiapkan agar lembaga tersebut
berfungsi sesuai dengan perubahan sosial yang terjadi. Apabila lembaga sekolah
tidak dapat mengikuti perubahan sosial maka dia kehilangan fungsinya dan
kemungkinan besar dia ditinggalkan masyarakat. [2]
Sebagai lembagai lembaga
sosial, maka proses belajar di dalam sekolah haruslah disesuaikan pula dengan
fungsi dan peranan lembaga pendidikan. Fungsi sekolah ialah mentarnsmisikan
nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat dan kebudayaan pada saat itu. Di
dalam pedagogik tradisional, tempat individu adalah sebagai obyek perubahan
sosial. Imdividu tersebut mempelajari peranan yang baru di dalam kehidupan
sosial yang berubah. Sekolah adalah tempat yang memperoleh legitimasinya dari
kehidupan masyarakat atau pemerintah yang mempunyainya.[3]
Perubahan Sosial ditinjau
dari Pedagogik Modern (pedagogik transformatif)
Titik tolak dari pedagogik
transformatif ialah “individu-yang-menjadi.” Apa artinya individu-yang-menjadi?
Hal ini berarti seorang individu hanya dapat berkembang di dalam interaksinya
dengan tatanan kehidupan sosial budaya di mana dia hidup. Individu tidak dapat
berkembang apabila diisolasikan dari dunia sosial budaya di mana di mana dia
hidup. Hal ini berarti adanya suatu pengakuan peran aktif partisipatif dari
individu yang menjadi dalam tatanan kehidupan sosial dan budayanya.
Individu bukanlah sekedar
menerima nilai-nilai tersebut hanya dapat dimilikinya melalui peranannya yang
aktif partisipatif di dalam aktivitas sosial budaya dalam lingkungannya. Jadi,
berbeda dengan pandangan pedagogik tradisional yang melihat individu sebagai
suatu makhluk yang pasif reaktif, yang hanya berkembang karena
pengaruh-pengaruh dari luar, termasuk pengaruh dari perubahan sosial yang
terjadi dalam lingkungannya.[4]
Pandangan pedagogik
transformatif terhadap individu bukanlah sebagai suatu entity yang telah
jadi, tetapi yang sedang menjadi. Individu mempunyai peran emansipasif di dalam
kehidupan sosial budaya, termasuk melalui proses pendidikan dalam lingkungan
keluarga (batih) dan sekolah.
Di dalamnya peranannya yang
emansipatif tersebut maka individu bukan hanya sebagai obyek dari perubahan
sosial, tetapi sekaligus pula berperan sebagai faktor dari pengubah dan
pengarah dari perubahan sosial.[5] Atau agen of change (individu-individu
pengubah).
Dalam pendidikan transformatif, peserta didiklah
yang berperan terjadinya perubahan dalam diri mereka. Adapun peran guru
hanyalah sebagai pendorong dan motivator.
Dalam hal ini, kita ingat filosofi Ki Hadjar Dewantara yang berbunyi: Tut
Wuri Handayani artinya dari belakang memberikan dorongan dan arahan. Hal ini mempunyai makna yang kuat tentang
peran dan fungsi guru.
Para guru perlu berperan sebagai pendorong atau
motivator. Mereka juga perlu berperan sebagai pengarah atau pembimbing yang
tidak membiarkan peserta didik melakukan hal yang kurang sesuai dengan tujuan
pendidikan. Dengan demikian, para guru perlu menjadi fasilitator agar dorongan
dan bimbingan dapat terwujud dalam perubahan perilaku peserta didik.[6]
b.
Pendidikan Nasional sebagai Pendorong Perubahan
Sosial
Dalam UU Sisdiknas 2003 Pasal 3 dikatakan bahwa: pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.[7]
Dalam UU Sisdiknas di atas, nampak bahwa fungsi pendidikan nasional
sebagai salah satu faktor perubahan sosial atau pengembangan potensi/kompetensi
peserta didik.
Perubahan-perubahan tersebut adalah :
1. Pengembangan kemampuan (baik intelektual
maupun interaksi sosial)
2.
Pembentukan watak
3.
Pembentukan peradaban bangsa yang bermartabat di mata
bangsa lain.
4.
Mencerdaskan bangsa kehidupan bangsa.
5.
Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggungjawab
[1] Dalam Pendekatan perencanaan pendidikan,
kita mengenal 4 pendekatan, yaitu: pertama, Sosial Demand
Approach (pendekatan kebutuhan sosial), kedua, man Power Approach (pendekatan
ketenaga kerjaan), ketiga, Cost And Benefit (pendekatan
untung-rugi), keempat, cost effectiveness (efektivitas). (Husaini
Usman. 2006.)
Keempat pendekatan ini mencoba memberikan
alternatif pendekatan perencanaan pendidikan agar sesuai dengan perubahan
sosial di lingkungan sekitarnya. Misalnya di suatu daerah lebih banyak
dibutuhkan tenaga kerja dalam bidang tehnik, maka dapat mendirikan sekolah
dengan pendekatan perencanaan man power Approach. Contohnya STM, SMK.
[5] H.A.R. Tilaar. 2002. Perubahan Sosial
dan Pendidikan., op.cit., hal 6.
[6] Ella Yulaelawati. 2004. Kurikulum dan
Pembelajaran. Filosofi,
Teori, dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya., hal. 2
[7] UU Guru & Dosen dan UU Sisdiknas. 2006.
Wipress., hal.58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar