Indien~Ada beberapa ahli yang menganggap bahwa konsep manusia berpendidikan dan
manusia berbudaya sama artinya, bahwa manusia yang berpendidikan adalah manusia
yang berbudaya. Rumusan ini benar karena lahir dari pengertian bahwa pendidikan
adalah aspek dari kebudayaan. Dengan demikian seseorang yang telah berkembang
sesuai dengan kebudayaannya adalah orang yang juga memperoleh pendidikan yang
bertujuan sama dengan perkembangan pribadi di dalam kebudayaan di mana
pendidikan itu berlangsung.
Sebenarnya konsep tentang keduanya dapat kita bedakan, walaupun keduanya
tidak bisa kita pisahkan. Manusia berpendidikan (Educated Man) seringkali
diartikan sebagai manusia yang telah berkembang kemampuan intelektualnya karena
factor pendidikan (Sekolah). Pengertian yang populer ini juga disebabkan oleh
adanya budaya pendidikan yang intelektualis, semisal perkembangan teknologi
yang sedemikian canggih, sehingga pemakaian komputer dan internet telah merambah
di segenap ranah kehidupan manusia. Tidak ada lagi batasan ruang, waktu dan
objek yang diperlukan, karena semua kebutuhan informasi dengan sangat mudah
diperoleh dalam hitungan menit. Semuanya bisa dilakukan hanya bagi mereka yang
mempunyai latar belakang pendidikan akademis (sekolah) yang kompatibel.
Manusia yang berbudaya adalah seseorang yang menguasai dan berprilaku
sesuai dengan nilai-nilai budaya, khususnya nilai-nilai etnis dan moral yang
hidup dalam kebudayaan masyarakat. Seseorang yang berpendidikan tinggi dan
luas, namun hidupnya tidak bermoral maka orang yang demikian dianggap orang
yang berpendidikan tetapi tidak berbudaya.
Seseorang yang mempunyai sifat gentleman atau lady adalah seorang yang
mempunyai sopan santun di dalam melaksanakan nilai-nilai pergaulan yang
dihormati di dalam masyarakat. Sudah tentu seorang gentleman atau lady juga
seorang yang memperoleh pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai gentleman
atau lady, yang dilaksanakan dalam pendidikan sekolahnya, yang lebih menekankan
kepada aspek-aspek sopan santun, tahu menempatkan diri, menghormati wanita dan
orang yang dituakan, berpengatahuan luas, mengakui kelebihan orang lain dan
diri sendiri, termasuk sikap sportif. Nilai-nilai praktis inilah yang diyakini
dan harus dipraktekkan oleh seseorang yang gentleman atau lady.
Manusia Indonesia
berpendidikan adalah sekaligus manusia yang berbudaya. Oleh sebab itu praksis[1] pendidikan nasional haruslah memenuhi
berbagai kriteria sebagai berikut:
1. Praksis pendidikan nasional harus dan
perlu mengembangkan potensi intelektual manusia Indonesia secara umum serta
kaitan kemampuan tersebut dengan kehidupan nyata dalam lingkungan yang semakin
meluas dan mendalam yaitu lingkungan keluarga, masyarakat lokal, lingkuan
pekerjaan, lingkungan kehidupan nasional dan global.[2]
2. Pendidikan nasional berperan dalam
mengembangkan potensi yang spesifik dari individu sesuai dengan potensi
kepribadiannya. Dengan demikian sistem pendidikan nasional haruslah mempunyai
spektrum yang luas sehingga dapat menampung kebutuhan pengembangan pribadi
peserta didik secara individual.
3. Pendidikan nasional harus dan perlu mengmbangkan
sikap sopan santun dalam pergaulan bermasyarakat. Nilai-nilai kebudayaan yang
mengatur sikap sopan santun tersebut perlu dikenal dan dilaksanakan oleh
peserta didik mula-mula di dalam lingkungan sekolah, dan di dalam masyarakat
luas. Di dalam kaitan ini pendidikan budi pekerti di lembaga-lembaga pendidikan
(sekolah) perlu digalakkan. Selain daripada itu lingkungan kehidupan sekolah
merupakan suatu lingkungan dan suasana yang dihidupi oleh nilai-nilai sopan
santun yang dijunjung tinggi dalam kebudayaan nasional.
4. Praksis pendidikan di senua lembaga
pendidikan ialah mengmbangkan , manusia Indonesia yang bermoral dalam tingkah
laku, yang bersumber dari kebudayaan nasional serta iman dan takwanya kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dalam kehidupannya sehari-hari.
5. Praksis pendidikan di semua jenis dan
jenjang pendidikan harus dan perlu mengembangkan rasa kebangsaan Indonesia yang
berbudaya kebangsaan Indonesia, tanpa terperangkap dalam chavinisme yang
sempit.
[1] Istilah
“praksis” dipopulerkan oleh teoretisi sosial Prancis, Pierre Bourdieu, yang
menyatakan bahwa masyarakat dan budaya dibangun oleh pribadi-pribadi kreatif
melalui karya dan bicaranya sehingga kreasinya bersifat nyata alamiah dan bukan
hasil lamunan yang abstrak.
[2] Peter F. Drucker, Masyarakat Pasca
Kapitalis, hlm. 233-242: Pribadi Berpendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar