Model
pembelajaran Lewin, Dewey, dan Piaget mendasari experiential learning. Model Experiential
learning menggambarkan dua dialektika terkait cara penyerapan pengalaman
-Concrete Experience (CE) and Abstract Conceptualization (AC)- dan dua
dialektika terkait transformasi pengalaman Reflective Observation (RO) and
Active Experimentation (AE).
Menurut
Kolb (1984), model “Action Research and Laboratory Training” yang dikemukakan
oleh Lewin menyebutkan bahwa belajar, perubahan, danpertumbuhan terjadi melalui
penghayatan pengalaman sekarang-dan-di sini, yang diikuti oleh pengumpulan data
dan observasi terhadap pengalaman serta analisis data. Hasil dari analisis data
inilah yang digunakan untuk memperbaiki pengetahuan dan memilih pengalaman
baru. Berikut adalah skema
model Lewin:
Belajar
dengan demikian dipahami sebagai sebuah siklus empat tahap, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 1. Concrete experience (CE)- pengalaman nyata menjadi
dasar untuk melakukan observasi/pengamatan dan refleksi. Pengamatan ini atau
disebut Reflective Observation (RO) berasimilasi menjadi sebuah
"teori" - Abstract Conceptualization (AC) yang melahirkan sebuah
tindakan baru/ hipotesis. Hipotesis ini kemudian berfungsi sebagai panduan
dalam bertindak untuk menciptakan pengalaman baru. Tahap ini disebut Active
Experimentation (AE).
Model
pembelajaran Dewey sangat mirip dengan Lewin, tetapi ia membuat lebih eksplisit
sifat perkembangan belajar yang tersirat dalam model Lewin sebagai proses umpan
balik yang menggambarkan bagaimana belajar mengubah impuls, perasaan, dan
keinginan dari pengalaman nyata ke urutan yang lebih tinggi - tujuan tindakan.
Model Dewey digambarkan dalam bagan berikut:
Gambar : Dewey’s model of Experiential learning (Dewey dalam Kolb, 1984)
Berdasarkan
gambar tersebut, terlihat bahwa menurut Dewey, belajar merupakan proses yang
mengintegrasikan pengalaman dengan konsep, pengamatan, dan tindakan. Impulse
(dorongan pengalaman) melahirkan pengetahuan (knowledge) untuk bertindak
(judgement). Penundaan tindakan sangat penting untuk melakukan observasi
(pengamatan) dan penilaian dalam pencapaian tujuan. Proses ini terjadi melalui
integrasi pengalaman, pengetahuan , observasi dan tindakan. Piaget mengemukakan
bahwa belajar merupakan siklus interaksi antara individu dengan lingkungan, dengan
unsur pokok terletak pada interaksi yang menguntungkan antara proses akomodasi
konsep terhadap pengalaman nyata dengan proses asimilasi pengalaman terhadap
konsep yang dimiliki. Berikut adalah bagan model experiential learning Piaget:
Perkembangan kognitif menurut Piaget
bergerak dari konkret menuju abstrak dan dari aktif menuju reflektif tergantung
pada proses asimilasi dan akomodasi. Ada empat tahapan perkembangan kognitif
anak menurut piaget, yaitu: Pertama, tahap sensori motorik (usia 0- 2 tahun)
dimana anak mendapatkan pengalaman dari tubuh dan indranya. Kedua, tahap
praoperasional (usia 2-6 tahun). Anak berusaha menguasai simbol-simbol,
(kata-kata) dan mampu mengungkapkan pengalamannya, meskipun tidak logis
(pra-logis). Pada saat ini anak bersifat egocentris, melihat sesuatu dari
dirinya (perception centration), yaitu melihat sesuatu dari satu ciri, sedangkan
ciri lainnya diabaikan. Ketiga, tahap operasional kongkrit (usia 7-11 tahun).
Pada tahap ini anak memahami dan berfikir yang bersifat kongkrit belum abstrak.
Keempat, tahap operasional formal (usia 12-15 tahun). Pada tahap ini anak mampu
berfikir abstrak.
Ketiga model di atas mendasari
pernyataan Kolb yang mengemukakan bahwa pembelajaran adalah proses dimana
pengetahuan diperoleh melalui transformasi pengalaman (Kolb, 1984). Pernyataan
ini melahirkan sebuah model siklus pembelajaran yang terdiri atas empat
tahapan, yaitu:
1. pengalaman
konkret (concrete experience)
2. refleksi
observasi (reflective observation)
3. penyusunan
konsep abstrak (abstract conceptualization)
4. aplikasi
Keempat
tahapan ini membentuk sebuah siklus seperti ditunjukkan pada gambar berikut:
Siklus
belajar menurut pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning)
seperti gambar di atas dimulai dari sebuah pengalaman konkrit dilanjutkan
dengan proses refleksi dan observasi terhadap pengalaman tersebut. Hasil
refleksi ini akan diasimilasi/diakomodasi dalam struktur kognitif
(konseptualisasi abstrak) dan selanjutnya dirumuskan suatu hipotesis baru untuk
diuji kembali pada situasi baru (eksperimen). Hasil dari tahap eksperimen akan
menuntun kembali pembelajar menuju tahap pengalaman konkret.
Tahapan-tahapan
dalam Kolb’s Experiential learning Cycle
dapat diuraikan pada contoh berikut : 1. Pengalaman konkret. Pada tahap ini
pembelajar disediakan stimulus yang mendorong mereka melakukan sebuah
aktivitas. Aktivitas ini bisa berangkat dari suatu pengalaman yang pernah
dialami sebelumnya baik formal maupun informal atau situasi yang realistik.
Aktivitas yang disediakan bisa di dalam ataupun di luar kelas dan dikerjakan
oleh pribadi atau kelompok. 2. Refleksi observasi. Pada tahap ini pembelajar
mengamati pengalaman dari aktivitas `yang dilakukan dengan menggunakan panca
indera maupun dengan bantuan alat peraga. Selanjutnya pembelajar merefleksikan
pengalamannya dan dari hasil refleksi ini mereka menarik pelajaran. Dalam hal
ini proses refleksi akan terjadi bila guru mampu mendorong siswa untuk
mendeskripsikan kembali pengalaman yang diperolehnya, mengkomunikasikan kembali
dan belajar dari pengalaman tersebut. Tahap berikutnya adalah penyusunan konsep
abstrak. Setelah melakukan observasi dan refleksi, maka pada tahap pembentukan
konsep abstrak pembelajar mulai mencari alasan, hubungan timbal balik dari
pengalaman yang diperolehnya. Selanjutnya pembelajar mulai mengkonseptualisasi
suatu teori atau model dari pengalaman yang diperoleh dan mengintegrasikan
dengan pengalaman sebelumnya. Pada fase ini dapat ditentukan apakah terjadi
pemahaman baru atau proses belajar pada diri pembelajar atau tidak. Jika
terjadi proses belajar, maka 1). pembelajar akan mampu mengungkapkan
aturan-aturan umum untuk mendeskripsikan pengalaman tersebut. 2). pembelajar
menggunakan teori yang ada untuk menarik simpulan terhadap pengalaman yang
diperoleh, dan 3). pembelajar mampu menerapkan teori yang terabstraksi untuk
menjelaskan pengalaman tersebut.
Selanjutnya adalah tahap 4. Active
experiementation atau aplikasi . Pada tahap ini pembelajar mencoba merencanakan
bagaimana menguji keampuhan model atau teori untuk menjelaskan pengalaman baru
yang akan diperoleh selanjutnya (Kolb, dalam Mardana, 2004). Pada tahap
aplikasi akan terjadi proses belajar bermakna karena pengalaman yang diperoleh
pembelajar sebelumnya dapat diterapkan pada pengalaman atau situasi
problematika yang baru.
Setiap individu memiliki keunikan
sendiri dan tidak pernah ada dua orang yang memiliki pengalaman hidup yang sama
persis. Dua anak yang tumbuh dalam kondisi dan lingkungan yang sama dan
mendapat perlakuan yang sama, belum tentu akan memiliki pemahanan, pemikiran
dan pandangan yang sama terhadap dunia sekitarnya. Masing-masing memiliki cara
pandang sendiri terhadap setiap peristiwa yang dilihat dan dialaminya. Cara
pandang ini disebut gaya belajar.
Kolb mengenalkan empat gaya belajar
yang sesuai dengan tahapan-tahapan dalam siklus belajar , yaitu:
1.
Assimilator, (AC/RO). Kombinasi dari
berpikir dan mengamati (thinking and watching). Anak dengan tipe Assimilator
memiliki kelebihan dalam memahami berbagai sajian informasi serta
merangkumkannya dalam suatu format yang logis, singkat, dan jelas. Biasanya
anak tipe ini kurang perhatian pada orang lain dan lebih menyukai ide serta
konsep yang abstrak, mereka juga cenderung lebih teoritis.
2.
Converger, (AC/AE). Kombinasi dari
berfikir dan berbuat (thinking and doing). Anak dengan tipe Converger unggul
dalam menemukan fungsi praktis dari berbagai ide dan teori. Biasanya mereka
punya kemampuan yang baik dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Mereka juga cenderung lebih menyukai tugas-tugas teknis (aplikatif) daripada
masalah sosial atau hubungan antar pribadi
3.
Accommodator, (CE/AE). Kombinasi dari
perasaan dan tindakan (feeling and doing). Anak dengan tipe Accommodator
memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata yang
dilakukannya sendiri. Mereka suka membuat rencana dan melibatkan dirinya dalam
berbagai pengalaman baru dan menantang. Mereka cenderung untuk bertindak
berdasarkan intuisi/dorongan hati daripada berdasarkan analisa logis. Dalam
usaha memecahkan masalah, mereka biasanya mempertimbangkan faktor manusia (untuk
mendapatkan masukan/informasi) dibanding analisa teknis.
4.
Diverger, (CE/RO). Kombinasi dari
perasaan dan pengamatan (feeling and watching). Anak dengan tipe Diverger
unggul dalam melihat situasi kongkret dari banyak sudut pandang yang berbeda.
Pendekatannya pada setiap situasi adalah "mengamati" dan bukan
"bertindak". Anak seperti ini menyukai tugas belajar yang menuntutnya
untuk menghasilkan ide-ide, biasanya juga menyukai isu budaya serta suka sekali
mengumpulkan berbagai informasi.
(Apabila terdapat banyak kesalahan mohon maaf dan mohon perbaikan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar