A. Teori Konstruktivisme Vygotsky
Teori konstruktivisme adalah salah satu
dari banyak teori belajar yang telah didesain dalam pelaksanaan pembelajaran matematika.
Seperti halnya behaviorisme dan kognitivisme, konstruktivisme dapat diterapkan
dalam berbagai aktivitas belajar baik pada ilmu-ilmu sosial maupun ilmu
eksakta. Dalam matematika, konstruktivisme telah banyak diteliti, diterapkan,
dan diuji coba pada situasi ruangan kelas yang berbeda-beda. Dari berbagai
percobaan itu telah banyak menghasilkan berbagai pandangan yang ikut
mempengaruhi perkembangan, modifikasi, dan inovasi pembelajaran. Lahirnya
berbagai pendekatan seperti pembelajaran kooperatif, sosio-kultur, pembelajaran
kontekstual, dan lain-lain merupakan hasil inovasi dan modifikasi dari teori
pembelajaran.
Sebelum
membahas lebih jauh tentang Teori Konstruktivisme Vygotsky, berikut ini saya mencoba memaparkan tentang biografi Vygotsky. Nama lengkap Vygotsky adalah Lev Semonovich Vygotsky lahir pada
tahun 1896 di Tsarist Russia, di suatu kota Orscha, Belorussia dari keluarga
kelas menengah Keturunan Yahudi. Dia tumbuh dan besar di Gomel, suatu
kota sekitar 400 mil bagian barat Moscow. Sewaktu dia masih muda, dia tertarik
pada studi-studi kesusasteraan dan analisis sastra, dan menjadi seorang penyair
dan Filosof.
Memasuki usia 18 tahun, dia menulis suatu ulasan tentang
Shakespeare's Hamlet yang kemudian dimasukkan dalam satu dari berbagai
tulisannya mengenai psikologi. Dia memasuki sekolah kedokteran di Universitas
Moscow dan dalam waktu yang tidak lama kemudian dia pindah ke sekolah hukum
sambil mengambil studi kesusasteraan pada salah satu universitas swasta. Dia
menjadi tertarik pada psikologi pada umur 28 tahun.
Vygotsky mengajar kesusasteraan di suatu sekolah Propinsi
sebelum memberi kuliah psikologi pada suatu sekolah keguruan. Dia dipercaya
membawakan kuliah psikologi walaupun secara formal tidak pernah mengambil studi
psikologi. Dari sinilah dia semakin tertarik dengan kajian psikologi sehingga
menulis disertasi Ph.D. mengenai ”Psychology of Art” di Moscow Institute of
Psychology pada tahun 1925.
Vygotsky bekerja kolaboratif bersama Alexander Luria and
Alexei Leontiev dalam membuat dan menyusun proposal penelitian yang sekarang
ini dikenal dengan pendekatan Vygotsky. Selama hidupnya Vygotsky mendapat
tekanan yang begitu besar dari pemegang kekuasaan dan para penganut idelogi
politik di Rusia untuk mengadaptasi dan mengembangkan teorinya.
Setelah dia meninggal pada usia yang masih dibilang sangat
muda (38 tahun), pada tahun 1934 akibat menderita penyakit tuberculosis (TBC),
barulah seluruh ide dan teorinya diterima oleh pemerintah dan tetap dianut dan
dipelajari oleh mahasiswanya.
Kepeloporannya dalam meletakkan dasar tentang psikologi
perkembangan telah banyak mempengaruhi sekolah pendidikan di Rusia yang
kemudian teorinya berkembang dan dikenal luas di seluruh dunia hingga saat ini.
Vygotsky menekankan
pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang,
kebudayaan, termasuk
pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari lingkungan (Taylor,
1993), pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar
orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi (Taylor,
1993). Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan
lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan yang menurut beliau, bahwa
interaksi sosial yaitu interaksi individu tersebut dengan orang lain merupakan
faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang.
Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara evisien dan efektif
apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan
lingkungan yang mendukung (supportive), dalam
bimbingan seseorang yang lebih mampu, guru atau orang dewasa.
Dengan hadirnya teori konstruktivisme
Vygotsky ini, banyak pemerhati pendidikan yang megembangkan model pembelajaran
kooperatif, model pembelajaran peer interaction, model pembelajaran kelompok,
dan model pembelajaran problem poshing.
Konstruktivisme menurut pandangan
Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih
tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi
sosial dan intrapsikologi (intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang
sebagai transformasi dari kegiatan eksternal
ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-psikologi (dalam
diri individu).
Berkaitan dengan perkembangan
intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua ide; Pertama, bahwa
perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan
sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000), Kedua,
Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem
tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang (Ratner dalam Slavin,
2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk
membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya
budaya bahasa, system tulisan, dan sistem perhitungan.
Berkaitan dengan pembelajaran,
Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu:
1.
Pembelajaran sosial (social leaning).
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran
kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama
dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap;
2.
ZPD (zone of proximal development).
Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika
berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan
masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan
orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan
atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau
soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan
kognitif si anak.
3.
Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship).
Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh
kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang
dewasa, atau teman yang lebih pandai;
4.
Pembelajaran Termediasi (mediated learning).
Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang
kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam
memecahkan masalah siswa.
Sedangkan Ratumanan (2004:45) menguraikan 5 prinsip-prinsip
kunci teori Konstruktivisme oleh Vygotsky:
- Penekanan pada hakekat sosiokultural belajar. ygotsky menekankan pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia. Siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Menurut Vygotsky fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya. Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seorang terlibat secara sosial dalam dialog. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Prinsip ini melahirkan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning).
- Daerah Perkembangan Terdekat ( Zone of Proximal Development = ZPD). Vygotsky yakin bahwa belajar terjadi jika anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan proksimal mereka. Daerah proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit diatas tingkat perkembangan seseorang saat ini, artinya bahwa daerah ini adalah daerah antara tingkat perkembangan sesungguhnya (aktual) dan tingkat perkembangan potensial anak. Tingkat perkembangan aktual adalah pemfungsian intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk mempelajari sesuatu dengan kemampuannya sendiri (kemampuan memecahkan masalah secara mandiri), sedang tingkat perkembangan potensial anak adalah kondisi yang dapat dicapai oleh seseorang individu dengan bantuan orang dewasa atau melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu. (kemampuan memecahkan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya). Jadi pada saat siswa bekerja dalam daerah perkembangan terdekat (ZPD) mereka, tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri, akan dapat mereka selesaikan dengan bantuan teman sebaya atau orang dewasa. Pembelajaran di sekolah hendaknya bekerja dalam daerah ini, menarik kemampuan-kemampuan anak dengan maksud mendorong pertumbuhan seefektifnya.
- Pemagangan kognitif. Vygotsky menekankan bahwa pemagangan kognitif mengacu pada proses di mana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui interaksinya dengan pakar. Pakar yang dimaksud adalah orang menguasai permasalahan yang dipelajari, jadi dapat berupa orang dewasa atau teman sebaya. Dalam konteks koperatif, siswa yang lebih pandai dalam kelompoknya dapat merupakan pakar bagi teman-teman dalam kelompok tersebut.
- Perancahan (Scaffolding). Perancahan (scaffolding) mengacu kepada pemberian sejumlah bantuan oleh teman sebaya atau orang dewasa yang berkompeten kepada anak. Menurut Slavin (Ratumanan, 2004:47) scaffolding berarti memberikan kepada anak sejumlah besar dukungan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu melakukan tugas tersebut secara mandiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal dalam meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang lebih tinggi menjadi optimum. Prinsip ini melahirkan metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran.
- Bergumam (Private Speech). Berguman adalah berbicara dengan diri sendiri atau berbicara dalam hati untuk tujuan membimbing dan mengarahkan diri sendiri. Menurut Vygotsky private speech dapat memperkuat interaksi sosial anak dengan orang lain. Private speech dapat dilihat pada seorang anak yang dihadapkan pada suatu masalah dalam sebuah ruangan di mana terdapat orang lain, biasanya orang dewasa. Anak kelihatannya berbicara pada dirinya sendiri mengenai masalah tertentu, tetapi pembicaraanya diarahkan pada orang dewasa. Private speech kemudian dihalangi, tertangkap dan ditransformasikan ke dalam proses berfikir.
Ratumanan (2004:49) mengemukakan bahwa bahasa memiliki makna
untuk menyatakan ide-ide dan menyampaikan pertanyaan. Bahasa juga memberikan
kategori-kategori dan konsep-konsep untuk berfikir. Ketika kita
mempertimbangkan suatu masalah, kita biasanya berfikir dalam kata-kata dan
bagian kalimat-kalimat.
Inti teori
Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari
pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut
teori Vigotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi social
masing-masing individu dalam konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa pembelajaran
terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun
tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal
development mereka.
B. Rancangan
Pembelajaran Konstruktivistik Vygotsky
Berdasarkan
teori Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat
dirancang/didesain dalam model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai
berikut:
1. Identifikasi
prior knowledge dan miskonsepsi.
Identifikasi
awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya
dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi
yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan
tes awal, interview
2. Penyusunan
program pembelajaran.
Program
pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
3. Orientasi dan elicitasi,
Situasi
pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada
awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik yang
akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka
mau
mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang
gejala-gejala
fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya seharihari. Pengungkapan
gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan
sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana
pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir
dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan
diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap
dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
4. Refleksi.
Dalam
tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifatmiskonsepsi yang muncul
pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah
dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat
kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
5. Resrtukturisasi
ide, berupa:
a. tantangan, siswa diberikan
pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan
atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil
percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu.
b. konflik
kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan
mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan
melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik
kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong
untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak
mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan
dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada
kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator.
c. membangun
ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa
konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa
konsep ilmiah yang baru itu
d. memiliki
keunggulan dari gagasan yang lama.
6. Aplikasi.
Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju
konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut
dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan
kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan
secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
7. Review
dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah
berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran.
Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul
kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi
yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang
pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa
bersangkutan.
Sumber :
Slavin,
Robert E. (1997). Educational Psychology-Theory and Practice. Fourth
Edition. Boston, Allyn and Bacon.
Vygotsky’s
Educational Theory in Cultural Context, Cambridge Universty press, 2003