A.
PERUBAHAN PENDIDIKAN DAN MODERNISASI
Perubahan pendidikan terjadi karena karena adanya pengaruh-pengaruh yang
saling memperkuat yang akhirnya melakirkan sesuatu yang baru. Perubahan
pendidikan dapat terjadi karena adanya tenaga yang mendorong/tenaga pendorong
yang bersal dari dalam masyarakat sendiri misalnya karena adanya
penemuan-penemuan sosial, tetapi dapat pula dari luar, misalnya karena adanya
pengaruh kebudayaan asing.
Perubahan yang menimbulkan situasi sosial dipandang sebagai perkembangan,
erat kaitannya dengan perubahan dan perkembangan pendidikan adalah pembaharuan
pendidikan, pembaharuan pendidikan merupakan perubahan pendidikan yang berdasar
atas usaha-usaha sadar, terencana, berpola dalam pendidikan yang bertujuan
untuk mengarahkan.[1]
1.
Education is the getting and giving of knowladge so as
to pass on our culture from one generation on the next.[2]
(Pendidikan adalah kegiatan memperoleh dan menyampaikan pengetahuan,
sehingga memungkinkan transmisi kebudayaan kita dari generasi yang satu kepada
yang berikutnya).
Konsep pendidikan di atas mengangkat derajat manusia sebagai makhluk
budaya, yaitu makhluk yang diberkati kemampuan untuk menciptakan nilai
kebudayaan, dan fungsi budaya dari pendidikan adalah kegiatan melantarkan
nilai-nilai kebudayaan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.
Pendidikan sebagai proses adalah suatu kegiatan memperoleh dan
menyampaikan pengetahuan tentang kebudayaan, sedang pengetahuan adalah rumpun
informasi-informasi tentang kebudayaandengan segala segidan aspeknya.
2.
Education is the process by which the individual is
taught loyalty and conformity by which the human mind is disciplined and
developed.
(pendidikan adalah proses dengan mana individu diajar bersikap setia dan
taat dengan mana pikiran manusia ditera dan dibina).
Konsep pendidikan ini menekankan betapa pentingnya dan kuatnya peranan
pendidikan dalam pembinaan manusia. Pendidikan diartikan sebagai proses
pembinaan sikap mental dengan jalan atau cara melatih dan mengembangkannya kea
rah nilai sikap kesetiaan dan ketaatan. Dengan kata lain pendidikan adalah
suatu kegiatan pembinaan sikap mental yang akan menentukan tingkah lakunya.
3.
Education is a process of growth in which the
individual is helped to developed his power, his talents, his abilities, and
his interests.
(Pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan di dalam mana individu diberi
pertolongan untuk mengembangkan kekuatan, bakat kemampuan dan minatnya).
Rumusan pendidikan di atas menjelaskan asas penting dalam filsafat
pendidikan bahwa konep pendidikan relatif ditentukan konsep tentang sifat
hakekat manusia, yang dalam rumus di atas aspek-aspek sifat hakekat psikologis
manusia terdiri atas empat aspek, yaitu kekuatan, bakat, kemampuan dan minat
kepentingannya. Suatu hal yang tidak dapat dilupakan bahwa konsep sifat hakekat
manusia tidak dapat dilepaskan dari dasar-dasar filsafat pendidikannya.
4. Education is the reconstruction and reorganization of
experiences which adds to the meaning of experiences and which increases
ability to direct the course of subsequent experiences.
(pendidikan adalah pembangunan kembali atau penyusunan kembali
pengalaman, sehingga memperkaya arti pembendaharaan pengalaman yang dapat
meningkat kemampuan dalam menentukan arah tujuan pengalaman selanjutnya).
Defenisi pendidikan ini menentukan proses pendidikan adalah proses dari
dalam diri pribadi manusia, yaitu suatu kemampuan untuk memugar dan meremajakan
pengalaman sehingga memungkinkan individu secara kontinu tumbuh berkembang.
Pendidikan diartikan sama dengan pertumbuhan, selama dalam diri manusia
terjadi peristiwa pertumbuhan, maka selama itu pula terjadi peristiwa
pendidikan. Untuk apa dan arah mana kegiatan proses pendidikan tidak dapat
ditentukan terlebih dahulu dan relative ditentukan oleh perbendaharaan
pengalaman hidup yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Dengan demikian pendidikan tidak dibatasi oleh sesuatu yang di luar prose
situ sendiri yaitu pertumbuhan yang terus menerus, sehingga merupakan proses
sepanjang hidup tanpa dibatasi oleh usia dan tujuan pendidikan yang terlebih
dahulu ditentukan secara pasti.
5.
Education is the process by which a person is adjusted
to those elements of his environment which are of concern in modern life so as
to prepare his successful adult living.
(Pendidikan adalah proses dengan mana seseorang diberi kesempatan
menyesuaikan diri terhadap aspek-aspek kehidupan lingkungan yang berkaitan
dengan kehidupan modern untuk memperiapkan agar berhasil dalam kehidupan orang
dewasa.
Rumus pendidikan di atas menetapkan bahwa pendidikan adalah proses yang
diawali dengan kegiatan mengantarkan seseorang mengadakan perubahan penyesuaian
terhadap unsur-unsur lingkungan yang ada sangkut pautnya dengan kehidupan
modern. Aspek-aspek kehidupan yang klasik tradisional harus dilempar jauh dari
horizon pemikiran dan minat perhatiannya. Suatu konsep pendidikan yang lebih
berorientasi pada masa kini dan masa yang akan datang, sehingga dapat
dikategorikan pada pola sikap mental yang menghormati tradisi yang tradisi.
b.
Sumber Sosial Problema Pendidikan
Sesuai dengan pembahasan tentang pendekatan sosiologi pendidikan dan
dalil-dalil pendidikan dalam hubungannya dengn perubahan sosial masyarakat,
maka pada suatu ketika kita akan mengadakan penilaian tentang kemajuan sistem
persekolahan suatu hal yang diharapkan agar faktor-faktor di luar gedung
sekolah yaitu faktor-faktor sosial harus dipertimbangkan dalam penilaiannya.
Oleh sebab pendekatan sistem menetapkan bahwa sumber-sumber sosial tidak
jarang menyebabkan problema-problema pendidikan dan dapat pula menunjang
perkembangan kemajuan sekolah.
1.
Faktor-faktor sosial dari kemajuan murid[3]
Faktor-faktor ini terdiri
dari:
-
Faktor
pertama bakat, minat dan cirri atau sifat karakteristik anal dapat menentukan
motivasi belajar mereka rendah, tinggi atau sedang.
-
Faktor
kedua adalah keadaan keluarga pelajar, seperti jumlah saudara, tingkat status
sosial, akademis dan ekonomis, dan pola pendidikan dalam keluarga, serta sikap
orang tua terhadap pendidikan.
-
Faktor
sosial ketiga yang menyebabkan maju mundurnya perkembangan pendidikan anak di
sekolah adalah faktor masyarakat kelompok sebaya dengan siapa anak-anak
mengadakan kegiatan di luar sekolah dan keluarga.
- Faktor
sosial keempat yaitu pemujaan anak pada pribadi atau tokoh sosial di luar
keluarga dan sekolah anak. Tokoh atau pribadi ini disebut pribadi acuan kepada
siapa anak akan mengidentifikasikan diri, menyesuaikan diri atau akan
mengadakan perubahan penyesuaian tingkah laku mereka.
-
Faktor
sosial kelima yang menentukan kemajuan murid di sekolah adalah tinggi rendahnya
dan berat ringannya beban bahan pelajaran yang dituntut oleh guru.
2.
Faktor sosial dari kemajuan guru
Faktor-faktor ini terdiri
dari:
-
Kemajuan
pelaksanaan tugas-tugas guru dalam lembaga pendidikan formal sekolah antara
lain seperti sifat karakteristik murid, personalia administrative, orang tua
murid, keluarga guru dan organisasi profesi guru di dalam masyarakat.
- Kemajuan
guru ditentukan pula oleh faktor kedua yaitu kebijaksanaan dan tuntutan serta
relasi personalia administratif pendidikan dan ini meliputi kebijakan tentang
pertumbuhan jabatan guru, apakah didasarkan atas masa kerja atau hasil karya
mereka.
- Hubungan
guru dengan orang tua merupakan faktor ketiga, yang pada dasarnya memberikan
pelayanan kepada keluarga atau orang tua.
- Keadaan
keluarga guru, yaitu kondisi kesehatan, sosial psikologis serta kesejahteraan
ekonomi, merupakan penghalang atau faktor sosial yang mempengaruhi kemajuan
pelaksanaan tugas guru.
3. Faktor sosial dari kemajuan sekolah
Faktor-faktor ini terdiri
dari:
- Faktor
sosial yang mempengaruhi kemajuan sekolah adalah sumber-sumber dana yang
tersedia dalam masyarakat dan yang disediakan bagi pembangunan sistem
persekolahan.
- Struktur
susunan status sosial, kelas ekonomi, kelompok ras dan suku bangsa adalah
faktor kedua yang menetukan kemajuan sekolah.
-
Beberapa
faktor lain yang tidak kurang pentingnya adalah keadaan stabil atau lebih
penghuni suatu daerah tertentu, pengolahan sistem sekolah yang baik atau tidak,
dan terutama pada lembaga pendidikan sekolah mengeah atas ke bawah, yaitu
terdapat tidaknya lembaga pendidikan guru di sekitar daerah di mana sekolah
didirikan.
Pada hakikatnya daya pikir dari teori modernisasi lebih
berorientasi pada pembentukan mentalitas baru bagi manusia di negara-negara
berkembang. Dengan menempa kesadaran manusia agraris agar menerima pola pikir
barat yang cenderung “rasional instrumental” maka konsepsi modernisasi menjadi
komoditi di kalangan masyarakat yang menempatkan mentalitas sebagai penyebab
perubahan. Karena modernisasi merupakan budaya yang berasal dari barat maka
modernisasi tidak lepas dari keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di dalam masyarakat lalu konsepsi modernisasi berkembang
menjadi asumsi yang tidak usah dipertanyakan lagi kebenarannya. Gambaran
kematangan masyarakat menurut teori modernisasi, dilukiskan sebagai sebuah
model linear yang bergerak ke arah masyarakat industri. Masyarakat industri
dalam teori modernisasi dibangun dengan orientasi masa depan yang lebih baik. Kematangan
masyarakat menuju masyarakat industri, memiliki bentuk transisi yang cukup
panjang dan lama dalam bentuk orientasi sekarang.
Dalam masyarakat transisi bentuk rasionalitas yang
diharapkan belum muncul sebagai potensi utama, sebab modernisasi baru direspons
sebagai ‘kekaguman’ bentuk luar dari kebudayaan barat. Namun, sebagian besar
masyarakat di negara berkembang telah melihat bahwa tradisi yang dimilikinya
secara turun temurun merupakan sejumlah faktor yang menghambat kemajuan.
Tradisi ditempatkan sebagai lawan pola pikir modernisasi yang sangat rasional.
Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa modernisasi yang menggejala di negara
berkembang tidak memperhatikan budaya lokal dan tercerabut dari ekologi murni
masyarakat asli, oleh karena itu bersifat historis.
Dalam teori modernisasi, indikator tingkat kemodernan
masyarakat adalah pada nilai dan sikap hidup maupun sistem ekonomi yang
menghidupinya. Sementara untuk membedakan manusia modern dan manusia
tradisional adalah pada orientasi masa depannya. Tampaknya teori-teori
modernisasi bertolak dari landasan material yang kuat, suatu bentuk eksploitasi
manusia dan alam lingkungan yang berorientasi pada kelimpahan material.
d. Perubahan Sosial dan Pendidikan
Sejalan dengan
penjelasan perubahan sosial di atas maka sebenarnya di manakah letak posisi
pendidikan. Dalam hal ini kita mengingat penuturan Eisentandt dalam Faisal dan
Yasik (1985) institusionalisasi merupakan proses penting untuk membantu berlangsungnya
transformasi potensi-potensi umum perubahan sehingga menjadi kenyataan sejarah.
Pendidikan adalah suatu institusi pengkonservasian yang berupaya menjembatani
dan memelihara warisan budaya suatu masyarakat.
Melihat perkembangan
masyarakat yang sering dilanda perubahan secara tiba-tiba, maka kemungkinan
terjadinya dampak negatif yang akan menggejala ke dalam kehidupan masyarakat
tidak dapat dihindari kehadirannya. Gejala ketimpangan budaya atau cultural
lag , harus dapat diminimalisasi pengaruhnya ke dalam tatanan
kehidupan masyarakat. Untuk itu sebagai lembaga yang berfungsi menjaga dan
mengarahkan perjalanan masyarakat, pendidikan harus dapat menangkap potensi
kebutuhan masyarakat.
Dalam proses perubahan
sosial modifikasi yang terjadi seringkali tidak teratur dan tidak menyeluruh,
meskipun sendi-sendi yang berubah itu saling berkaitan secara erat, sehingga
melahirkan ketimpangan kebudayaan. Dikatakan pula olehnya bahwa cepatnya
perubahan teknologi jelas akan membawa dampak luas ke seluruh institusi-
institusi masyarakat sehingga munculnya kemiskinan, kejahatan, kriminalitas dan
lain sebagainya merupakan dampak negatif yang tidak bisa dicegah.
Untuk itulah pendidikan
harus mampu melakukan analisis kebutuhan nilai, pengetahuan dan teknologi yang
paling mendesak dapat mengantisipasi kesiapan masyarakat dalam menghadapi perubahan.
Karl Manheim dalam Faisal dan Yasik (1985) memfokuskan pandangannya untuk
melihat aktivitas sekolah dalam melaksanakan proses pengajaran kepada para
peserta didik. Secara Heli Manheim mengisyaratkan adanya semacam penyimpangan,
di mana para siswa seolah- olah terobsesi pada angka prestasi, padahal tujuan
pendidikan bukan itu.
Pembahasan dan analisis mengenai perubahan sosial dan
perubahan pendidikan tidak pernah terlepas dari konsep modernisasi. Sebagai
sebuah proses masyarakat dunia, modernisasi merupakan gejala universal yang
dapat dijadikan sebagai kerangka acuan guna memahami konteks sosial dan
pendidikan. Dari sinilah dapat ditarik ruang interpretasi mengenai perspektif
perubahan sosial dan perubahan pendidikan.
Kata atau istilah modernisasi mempunyai banyak definisi.
Meskipun bagitu, namun tetap ada satu kepastian bahwa pengembangan aplikasi
teknologi manusia menjadi muara kelahiran modernisasi. Produk modernisasi
sebagaimana terlihat pada masyarakat modern, ditandai oleh kehidupan
industrialistis, dengan struktur pekerjaan serta ruang sosial yang kompleks,
termasuk di dalamnya munculnya diferensiasi sosial yang semakin tajam.
Dalam menjelaskan tingkat modernisasi suatu masyarakat
selain berpatokan pada kekuatan- kekuatan materiil baik itu ruang lingkup
ekonomi maupun aplikasi teknologinya, ada banyak ahli lain yang mengedepankan
pada atribut strukturalnya. Semisal Parson, Einsantand, Smelser, Buckley dan
Marsh.
Sebagaimana dituangkan dalam Faisal dan Yasik (1985)
pendapat mereka lebih condong menempatkan diferensiasi sosial sebagai titik
tolak analisisnya. Menurut mereka paling tidak ada dua alasan, kenapa titik
pangkal diferensiasi sosial begitu pentingnya untuk memahami modernisasi.
a)
Diferensiasi merupakan
suatu keniscayaan yang pasti dilalui oleh sistem sosial dalam mengadaptasikan
diri terhadap perubahan-perubahan di lingkungannya, dan
b)
Kemampuan untuk
melakukan diferensiasi merupakan sebuah indikator positif mengenai kemampuan
suatu sistem dalam menyesuaikan diri sesuai dengan proses- proses perubahan
yang terjadi.
Suatu cara untuk menggambarkan hubungan perubahan dunia
pendidikan dengan tumbuh kembangnya modernisasi, kiranya perlu berangkat dari
konsep diferensiasi. Dengan berkembangnya diferensiasi sosial, secara
perlahan-lahan akan mengubah fungsi dan sistem pendidikan agar berjalan sejalur
dengan kecenderungan sosial tersebut. Perkembangan tersebut ditandai dengan
adanya spesialisasi peran serta merebaknya organisasi di dalam sistem
pendidikan, sehingga secara internal menumbuhkan diferensiasi struktural dalam
tubuh pendidikan.
Proses yang mempengaruhi tubuh pendidikan ini dapat
digambarkan dalam pengamatan komparatif antara masyarakat modern dengan masyarakat
primitif. Pada masyarakat tradisional proses pendidikan menyatu dengan fungsi-
fungsi lain yang kesemuanya diperankan oleh institusi keluarga. Sedangkan pada
masyarakat modern proses pendidikan lebih banyak dipengaruhi oleh institusi di
luar keluarga.
Meskipun terdapat perbedaan karakter pendidikan yang
cukup tajam dalam kedua tipe masyarakat tersebut. Namun pada dasarnya masih
tersimpan kemiripan fungsi pendidikan antar kedua tipologi masyarakat tersebut.
Baik pendidikan pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, keduanya
sama-sama bertanggung jawab untuk mentransmisikan sekaligus mentransformasikan
perangkat-perangkat nilai budaya pada generasi penerusnya.
Dengan demikian, keduanya sama-sama menopang proses
sosialisasi dan menyiapkan seseorang untuk peran-peran baru. Letak
perbedaannya, tanpa banyak perubahan di dalam fungsi pendidikan menjadi semakin
besar dan kompleks. Menurut alur perkembangan diferensiasi pendidikan dapat
diterangkan dalam beberapa poin sebagai berikut.[4]
a)
Pendidikan pada
masyarakat sederhana yang belum mengenal tulisan. Dalam kehidupan masyarakatnya
mengembangkan pendidikan secara informal yang berfungsi untuk memberikan bekal
keterampilan-keterampilan mata pencaharian dan memperkenalkan pola tingkah laku
yang sesuai dengan nilai serta norma masyarakat setempat. Pada tingkatan ini,
peran sebagai siswa dan guru secara murni ditentukan oleh ukuran- ukuran
askriptif. Anak- anak menjadi siswa dilatarbelakangi oleh faktor usia mereka,
sementara guru disimbolkan sebagai representasi orang tua yang memiliki derajat
karisma serta kewibawaan untuk mendidik kaum-kaum muda. Spesifikasi peran para
guru itu, juga ditentukan oleh jenis kelamin (yang wanita mengajarkan memasak
sementara para laki- laki mengajarkan berburu).
b)
Pada tingkatan yang
lebih maju, sebagaian proses sosialisasi teridentifikasi keluar dari batas
keluarga, diserahkan kepada semua pemuda di masyarakat tentu saja dengan
bimbingan para orang tua yang berpengalaman atau berkeahlian. Kurikulum
pendidikan bukan semata- mata kumpulan dari latihan memperoleh ketrampilan-
ketrampilan namun juga ditekankan soal-soal metafisik dan budi pekerti.
Mengenai siapa yang berperan sebagai guru, tampaknya sudah mulai
mempertimbangkan bakat dan pengalaman “berguru” yang pernah diperoleh. Dalam
hubungan ini, sang guru bukanlah orang yang memiliki “spesialisasi khusus”
seperti halnya spesialisasi-spesialisasi sekarang ini, namun para “siswa” bisa
belajar banyak mengenai nilai-nilai kehidupan sebab guru dipandang sebagai
sumber segala macam pengetahuan.
c)
Dengan berkembangnya
diferensiasi di masyarakat itu sendiri, maka meningkat pula upaya seleksi
sosial. Beberapa keluarga atau kelompok meningkat menjadi semakin kuat dalam
segi kekuasaan maupun kekuatan ekonominya dibandingkan warga masyarakat yang
lain. Mereka yang telah menempati posisi kuat itu, secara formal membatasi akses
mengenyam pendidikan bagi seluruh warga masyarakat. Pertimbangan utama dalam
menentukan siapa- siapa yang menjadi “siswa”, terletak pada latar belakang
kelas atau keturunan seseorang. Sedangkan seleksi para “guru”, di samping
disyaratkan memiliki tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, juga diperhitungkan
faktor kecerdasan dan bakatnya. Dari segi kurikulum sudah diperhitungkan
kebutuhan-kebutuhan perkembangan zaman dengan memfokuskan perhatian pendidikan
pada budi pekerti, hukum, teologi, kesenian serta bahasa. Guru masih berperan
sebagai figur yang menguasai segala hal daripada sebagai spesialis dari suatu
cabang pelajaran tertentu.
d) Pada tingkatan berikutnya hubungan antara pendidikan
dengan masyarakat menjadi kian rumit dan semakin kompleks. Sejalan dengan arus
industrialisasi dan kecenderungan diferensiasi sosial, maka spesialisasi
peranan menjadi ciri istimewa masyarakat pada tingkatan keempat ini. Di sini
pendidikan sudah berjenjang-jenjang begitu rupa, dan kualifikasi para pengajar
sudah tersebar ke dalam bidang keahlian yang beragam pula. Dalam hubungan ini,
sekolah mendapat beban-beban baru, yaitu sebagai pusat pengajaran bagi
masyarakat luas, dan sebagai media seleksi sosial serta berperan pula sebagai
lapangan pekerjaan.
Pesatnya arus diferensiasi serta spesialisasi
selama dekade-dekade terakhir memicu beberapa perubahan dalam tubuh formasi
pendidikan. Hal itu terjadi sebagai akibat dari mendesaknya permintaan
masyarakat akan tersedianya tenaga-tenaga spesialisyang akan menopang
bergulirnya roda kehidupan masyarakat yang tengah bertumpu pada kekuatan
industri produk massal.
Dalam perkembangan ini, sistem pendidikan
beranjak pesat menjadi institusi yang mempunyai “kedudukan penting” terutama
dalam menopang perubahan sosial ekonomi (baik perubahan yang direncanakan
maupun tidak), lalu pendidikan berkembang menjadi “jembatan” prestise dan
status, selain juga tampil sebagai faktor utama mobilitas sosial, baik vertikal
maupun horisontal, baik intra maupun antargenerasi.
[1]
Vembriarto, ST., Drs Subiyanto, Drs Sudarsono, 1979. Pengantar Perencanaan
Pendidikan (Educational Planing). Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psychologi UGM. Hlm 191
[2] http://74.125.153.132/search?q=cache:CXo9ZjkgSv4J:one.indoskripsi.com/node/8671+%22hubungan+perubahan+sosial+dan+pendidikan%22&cd=7&hl=id&ct=clnk&gl=id
[3] Tim Dosen FIP-IKIP Malang, 1981. Pengantar
Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional, hlm. 96
[4] Drs. Sanapia Faisal, 1985. Sosiologi
Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, hlm. 107-110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar