"SELAMAT DATANG DI BLOG 007INDIEN SEMOGA MENDAPATKAN SESUATU YANG BERMANFAAT DI BLOG INI"

Rabu, 14 Desember 2011

Pola Mendidik Anak


 A.  Pola Mendidik Anak

            Berbicara tentang penegrtian mendidik, sudah termasuk dalam penegrtian mengajar kalau dilihat esensinya dalam proses belajar mengajar, yakni sudah termasuk kegiatan mendidik, dalam artian untuk mengantarkan anak kepada tingkat kedewasaannya, baik secara fisik maupun mental.
Kalau dilihat dari asal katanya, keduanya memiliki arti yang sedikit berbeda. ” Mengajar: memberi pelajaran”. Sedangkan ”Mendidik : memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan fikiran”.
Raths mengemukakan fungsi mengajar :[1]
        1.      Initiating, managing, directing, dan menilai
        2.      Modifikasi kurikulum
        3.      Memimpin kegiatan kelompok
        4.      Informing, eksplaning, dan skowing how
        5.      Memelihara
        6.      Deskripisi pendapat sampai fakta atau kebenaran
        7.      Homeroom aesthetics.
        8.      Warga negara

Mendidik adalah mengajar secara perlahan-lahan berorientasi dan di atas kaki sendiri. Mendidik merupakan interaksi timbal balik antara orang tua dan anak-anak. Interaksi yang kian hari kian mengalami pengaruh dari luar lingkungan keluarga. Apabila ada suatu yang tidak beres, biasanya akibat interaksi faktor-faktor pribadi.[2]
Upaya mendidik itu sudah dimulai sejak adanya manusia pertama dengan jalan mengemukakan cara manusia dewasa membawa anak dari orang muda ke jenjang kemanusiaan tertentu.  Tidak hanya pada bangsa-bangsa yang sudah maju dan beradab saja terdapat ide-ide pendidikan akan tetapi suku-suku bangsa yang primitif pun memilliki gambaran dan citra tertentu mengenai tingkat peradaban manusia yang harus ditetapkan pada anak keturunan mereka berkat kegiatan mendidik.[3]
Jadi, mendidik dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaannya baik secara jasmani maupun rohani. Mendidik tidak sekedar transfer of knowledge tetapi juga transfer of values.[4]
1.      Mendidik Zaman Dahulu dan Sekarang
Banyak orang tua yang mengeluh bahwa mendidik anak zaman sekarang itu tidak gampang, bahkan dirasakan jauh lebih sulit dari pada mendidik anak-anak zaman dulu. Hal ini tidak sepenuhnya salah, walaupun sebenarnya setiap masa itu ada tantangannya sendiri-sendiri sesuai zamannya. Mendidik anak di zaman sekarang ini memang bisa dibilang gampang, bisa juga tidak.
Faktanya memang anak zaman sekarang pasti berbeda dengan anak zaman dulu. Beda dalam segala hal. Jadi kita tidak bisa begitu saja membandingkan keadaan kita dulu sewaktu dididik oleh orang tua kita dengan anak-anak kita zaman sekarang.
Setidaknya ada 3 perbedaan pokok anak-anak zaman sekarang dibandingkan dengan anak-anak generasi terdahulu :
1)      Kemampuan Berpikir.
Anak-anak zaman sekarang pada umumnya memiliki kemampuan berpikir yang lebih kritis dalam usia yang lebih awal. Mereka berkembang dalam zaman yang memberi mereka banyak keleluasaan dan stimulasi yang jauh lebih banyak, sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang seperti itu. Mengapa kita perlu mengetahui hal ini? Yaitu agar kita siap menghadapinya. Karena sebagian orang tua yang tidak siap menjadikan hal ini sebagai suatu kesulitan. Akhirnya yang muncul adalah pemikiran negatif terhadap anak, misalnya dibilang anaknya suka berdebat, nggak mau kalah, pandai berargumentasi, dan sebagainya. Padahal itu semua adalah hal-hal positif yang menunjukkan bahwa kemampuan berpikir anak itu sangat bagus.
2)      Cara Pandang.
Anak-anak zaman sekarang seringkali memiliki cara pandang yang berbeda dengan kita, sehingga pada akhirnya mereka sering beradu argumentasi dengan orangtuanya. Kita para orang tua umumnya terbiasa pada pola pendidikan tradisi yang polanya yang sudah terbentuk. Mungkin mirip seperti kacamata kuda. Misalnya setiap ada persoalan A jawabnya pasti B, persoalan C jawabnya D dan seterusnya. Anak-anak kita tidak lagi berpikir demikian. Mereka kalau melihat sebuah persoalan bisa luas sekali analisisnya. Hal ini sering kali membuat orang tua menjadi tersinggung karena seolah-olah merasa digurui. Orang tua selama ini selalu punya tradisi pemikiran bahwa mereka selalu lebih dibanding anak-anak kita, dan kita kaget ketika melihat anak-anak kita ternyata punya argumentasi yang jauh lebih luas sudut pandangnya. Ini perlu kita sadari supaya kita siap, dan bersyukur karena memiliki anak-anak dengan wawasan yang luar biasa. Bukannya malah kita merasa dipermalukan atau merasa direndahkan, atau merasa dipandang bodoh oleh anak kita. Justru kita harus bangga memiliki anak-anak seperti itu.
3)      Keberanian untuk Mengungkapkan Pendapat.
Ada sebuah pergesaran tradisi pada anak-anak generasi sekarang. Kalau dulu pada umumnya kita takut-takut untuk mengungkapkan pandapat, terutama kepada orang tua. Mungkin karena zaman dahulu bangsa kita lama dijajah, maka budaya yang berkembang adalah budaya otoriter. Akhirnya budaya ini terbawa sampai ke rumah tangga sehingga orangtua memiliki otoritas yang luar biasa terhadap anaknya dalam banyak hal : dalam menyatakan pendapat, dalam mengambil keputusan, dal sebagainya. Sehingga ketika si anak memiliki argumentasi, maka ia akan lebih memilih untuk diam. Itu semua terjadi pada zaman dulu ketika dididik oleh orang tua kita. Zaman anak-anak sekarang ini tidak lagi seperti ini. Kita mulai melihat ada pemberontakan-pemberontakan kepada gurunya di sekolah. Padahal zaman dulu, kepatuhan kepada guru itu luar biasa. Hal ini menjadikan sebuah generasi yang patuh. Padahal di dalam kehidupan sehari-hari yang dibutuhkan adalah kreatifitas, penuh daya cipta, penuh argumentasi, punya cara pandang yang luas, dan sebagainya. Jadi sebenarnya anak-anak sekarang ini sedang menuju kepada kondisi yang sesuai dengan kebutuhan zamannya. Cuma karena dulu dibesarkan di zaman yang berbeda dan kita sering membandingkan dengan cara kita dididik dulu, maka kita sering kali “menahan” perkembangan anak-anak kita untuk tidak ke arah seperti itu. Hal ini terjadi karena kita sering kali punya kebiasaan untuk membandingkan anak-anak kita dengan kita di zaman dulu. Harus kita ingat bahwa anak-anak kita telah tumbuh sesuai dengan kebutuhan zamannya.tugas kita adalah membimbing mereka supaya tidak salah jalan. Mereka sebenarnya telah berjalan ke arah yang sesuai. Kita para orang tua harus mulai belajar untuk menerima perbedaan-perbedaan ini.
Anak-anak zaman sekarang tentu berbeda dengan anak-anak zaman dulu. Hal ini adalah sesuatu yang sangat wajar dan alami. Namun demikian, walaupun kita sangat menyadari hal ini, terkadang kita para orang tua tidak sepenuhnya bisa menerima. Bagaimana kita menyikapi hal ini?
Dalam mendidik anak-anak kita, umumnya para orang tua tidak menyadari bahwa kita salah. Di mata kita, anak-anak kitalah yang penuh dengan kesalahan. Kita punya persepsi-persepsi, dugaan-dugaan yang bersumber dari masa lalu kita, pengalaman kita, yang kita akui itu sebagai sumber kebenaran. Begitu hal itu tidak terjadi pada anak kita, maka dengan segera kita mengatakan bahwa anak kita salah. Inilah yang disebut dengan sudut pandang. Inilah sebenarnya kunci dari persoalan ini. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah menempatkan sudut pandang secara tepat dalam melihat anak, karena sebagian besar orang tua melakukan kesalahan dalam menempatkan sudut pandang. Namum umumnya orang tua tidak menyadari hal ini.

Beberapa sudut pandang yang keliru dalam memahami anak :[5]
1)      Selalu menilai anak dalam konteks hitam putih.
Kita dan anak-anak kita jelas berbeda dalam berbagai hal, dan kita sepakat bahwa hal itu adalah fitrah. Kesalahan yang sering dilakukan orang tua adalah melihat anak hanya dalam konteks hitam putih. Padahal sebenarnya mereka adalah berwarna warni. Salah satu contohnya, orang tua sering membandingkan anaknya dengan mengatakan : “anak saya yang pertama sih pintar, nilainya bagus-bagus, tapi kalo yang nomor dua kayaknya agak kurang”. Ini adalah sebuah pemahaman yang sifatnya hitam-putih, pintar-bodoh, malas-rajin, dan sebagainya. Padahal kalau mau jujur, kita sendiri pun sebenarnya tidak mau hanya dilihat dan dibanding-bandingkan secara hitam-putih. Jadi, mulai sekarang janganlah melihat perbedaan anak-anak kita secara hitam putih, tapi mulailah memahami bahwa sebenarnya anak kita adalah warna-warni. Dengan demikian kita akan melihat sesuatu yang sangat indah dalam diri anak-anak kita.
Sayangnya, sekolah-sekolah kita pun umumnya masih menggunakan pandangan hitam-putih. Jadi kalau misalnya cara belajar di sekolah itu menggunakan cara tertentu, siswa yang kesulitan menggunakan cara itu langsung dianggap bermasalah.
2)      Orang tua merasa selalu paling benar
Pada umumnya kita orang tua selalu merasa bahwa, dibanding anak-anak kita, kitalah lebih berpengalaman, sudah makan asam garam, karena kita hidupnya lebih lama, dsb, sehingga kita punya asumsi yang kita anggap benar bahwa orang tua itu selalu benar dan tidak pernah salah. Akhirnya kita orang tua memiliki asumsi-asumsi mengenai benar-salah, baik-buruk, dan sebagainya. Hal tersebut adalah wajar, namun akan menjadi masalah manakala kita mengangggap bahwa apa yang baik bagi kita, kita anggap baik juga buat anak kita. Satu contoh kecil, misalnya kita mengatakan kepada anak kita : “Dulu zaman ayah sekolah dulu, nggak ada yang namanya diantar-jemput. Ayah jalan kaki berkilo-kilo meter ke sekolah. Nggak seperti anak sekarang…”. Maksudnya adalah kita ingin menunjukkan kehebatan di zaman kita. Sebenarnya tugas kita adalah bukan untuk membandingkan zaman kita dengan zaman anak kita untuk menunjukkan bahwa kita lebih baik, lebih superior, supaya anak kita bisa mencontoh hal yang baik. Ternyata hal itu tidak pernah bisa berhasil. Apalagi kalau kita sampai punya anggapan bahwa jaman kita dulu lebih baik dari jaman anak kita. Yang harus kita lakukan adalah memahami keadaan jaman anak kita.
3)      Anak tidak bisa didik
Kesalahan terakhir adalah merasa bahwa anak kita tidak bisa dididik. Padahal sebenarnya ada beberapa kemungkinan mengenai hal ini. Bisa saja kita orang tua yang tidak bisa mendidik, atau kita belum menemukan cara yang pas untuk mendidik. Jadi jangan sampai kita hanya terfokus pada satu sisi saja bahwa anak kita susah dididik, tapi cobalah kita juga mengevaluasi diri, jangan-jangan kita yang tidak bisa mendidik.
Bila kita perhatikan dalam ajaran semua agama, tidak ada yang mengajarkan bahwa anak itu bermasalah. Yang ada adalah anak itu suci, fitrah, berkah dari surga, dan sebagainya. Sehingga kalau pada akhirnya mereka menjadi benar-benar bermasalah, maka kita harus bertanya pada diri kita siapa yang menyebabkannya menjadi bermasalah? Apakah anak kita yang tidak bisa dididik, atau kita orang tua yang tidak bisa mendidik?

2.      Mendidik Anak dalam Keluarga
Posisi anak dalam keluarga ada dua. Pertama, sebagai penyambung generasi –lihat QS. Al-Anbiya (21): 89. Sebagai penyambung generasi, anak menjadi pewaris karya yang dihasilkan orang tuanya –lihat QS. 19: 6.—dan penyejuk jiwa orang tuanya –lihat QS. Al-Furqan (25): 74. Yang kedua, sebagai pelanjut tugas dan cita-cita orang tuanya –lihat QS. Al-Furqan (25): 74.
Perlakuan orang tua terhadap anaknya sangat dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor harapan dan cita-cita berkeluarga kedua orang tuanya. Cita-cita adalah harapan tertinggi yang sangat ingin diraih yang diupayakan dengan rencana dan segala kemampuan yang paling maksimal. Sebab, membentuk keluarga bukanlah tujuan, tapi sarana untuk mencapai sebuah tujuan. Karena itu, pastikan Anda tidak salah dalam menetapkan cita-cita berkeluarga.
Faktor yang kedua adalah kesadaran untuk melaksanakan tugas terpenting dalam berkeluarga. Apakah tugas terpenting dalam berkeluarga itu? Allah swt. menyebebutkan dalam QS. At-Tahrim (66): 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, mereka tidak mendurhakai Allah dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.”
Jadi, keluarga sukses adalah keluarga yang di dunia berhasil menjalankan misi sebagai pemimpin orang yang bertakwa dan di akhirat, berhasil mencapai visinya terbebas dari neraka. Inilah makna dari doa yang kita pinta: rabbana aatinaa fiid dunya hasanah wa fiil akhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban naar. Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di duniah dan kebahagiaan di akhirat; dan jauhkan kami dari api neraka. Allah swt. berfirman, “Maka barangsiapa yang telah dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah sukses.” [QS. Ali Imran (3): 185]
Untuk meraih kesuksesan dalam berkeluarga, posisi anak menjadi penting. Jadikan anak sebagai aset penting untuk meraih sukses keluarga. Perlakukan dan persiapkan mereka agar mampu menjadi pemimpin umat dan bangsa; perlakukan dan bekali mereka agar mampu menjadi penyelamat orang tua dan keluarganya dari neraka.
Ada dua ciri yang menandakan bahwa Anda telah merasakan anak Anda adalah aset penting keluarga, yaitu:
1)  Jika ada rasa khawatir jika anak yang dititipan Allah kepada Anda tidak menjadi seperti yang diamanahkan.
2)    Jika ada rasa cemas jika anak yang sebagai modal berharga untuk meraih sukses keluarga menjadi sia-sia tidak berguna.
Allah swt. pun menyuruh kita, orang tua, punya rasa khawatir terhadap anak-anak kita. “Dan hendaklah takut (cemas) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap keadaan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” [QS. An-Nisa (4): 9]
Di ayat itu juga Allah swt. memberi resep kepada kita agar tidak meninggalkan anak-anak yang lemah. Resepnya adalah tingkatkan kapasitas moral kita dengan bertakwa kepada Allah, menambah kapasitas konsepsional kita sehingga kita mampu berkata yang benar (qaulan sadiidan), dan perbaiki kualitas amal kita (tushlihu’ ‘amal). [Lihat QS. Al-Ahzab (33): 70-71]
Resep itu harus dilakukan secara bersama-sama dalam keluarga, bukan sendiri-sendiri. Ini terlihat dari ayat itu ditulis Allah swt. dengan bentuk jamak. Jadi klop dengan prinsip ta’awun alal birri wat taqwa (tolong menolong dalam ketakwaan) dan al-mu’minuna wal mu’minaat ba’duhum auliyaa’u ba’d (lelaki yang beriman dan wanita yang beriman mereka satu sama lain saling bantu-membantu).
Step to step-nya seperti ini. Mulailah kedua orang tua, yaitu kita, memperbaiki diri. Lalu, hadirkan untuk anak Anda lingkungan terbaik dan hindarkan mereka dari lingkungan yang merusak. Beri mereka makanan yang terjamin gizi dan kehalalannya. Berikan pendidikan yang berkualitas sesuai dengan visi dan misi keluarga. Tentu saja siapkan anggaran yang cukup. Setelah itu, bertawakalah kepada Allah swt. Doakan selalu anak Anda.
Dalam memberikan pendidikan kepada anak, yang harus menjadi titik tekan adalah:[6]
1)      Mengikatnya dengan (suasana) Al-Qur’an
2)      Menjadikannya terus menerus merasa dalam pengawasan Allah swt.
3)      Menumbuhkan cinta kepada Nabi saw., keluarga dan para sahabatnya. Menjadikan mereka sebagai sumber panutan dan rujukan hidup
4)      Membiasakannya mencintai segala hal yang diridhai Allah; dan menjadikanya benci terhadap yang dimurkai Allah.
5)      Membekalinya dengan keterampilan memimpin dan berjuang.
6)      Membekalinya dengan keterampilan hidup.
7)      Membekalinya dengan keterampilan belajar.
8)      Menjadikannya mampu menggunakan berbagai sarana kehidupan (sain dan teknologi).
Keluarga merupakan masyarakat kecil yang mau tidak mau akan membentuk masyarakat yang besar. Masyarakat Betawi seperti masyarakat lain di Indonesia yang mempunyai budaya serta tata cara apabila mendapatkan keluarga baru. Kelahiran anak atau cucu dari sebuah keluarga di Betawi akan dilakukan sebuah upacara yang berdasarkan agama Islam dan keyakinan lain. Budaya masyarakat Betawi mempunyai simbol-simbol, misal Roti buaya dalam perkawinan yang artinya tanda kesetiaan. Bagi masyarakat Betawi yang beragama Islam, anak yang baru dilahirkan baik laki-laki atau perempuan wajib dibacakan atau dikumandangkan ‘Azan’ ditelinga kanan dan ‘Iqomah’ ditelinga kiri oleh bapaknya ataupun keluarga atau kerabatnya yang pada saat kelahiran didekatnya.  
Kumandangan ‘Azan dan Iqomah’ ini merupakan suatu pendidikan pertama bagi seseorang yang baru dilahirkan dan merupakan rekaman seumur hidupnya. Selanjutnya bayi yang sudah dibersihkan dan dibungkus dengan selimut ‘dibedong’ dan pada bibirnya diolesi dengan ‘madu’ sesudah 12 jam dari kelahirannya. Pada saat diolesi ‘madu’ pada bibirnya dibacakan ‘Basmallah’. Kepada ibunya diberikan makanan yang dimasak secara bersama-sama ‘sayur papasan’ dimaksudkan agar si bayi tidak menderita atau alergi karena air susu ibu yang diminumnya sesudah mengandung. Bahan-bahan yang disantapnya merupakan suatu pendidikan ilmu pengetahuan yang diberikan lingkungan tanpa disadarinya. Yang dimaksud lingkungannya adalah kakek, nenek, encang-encing danseterusnya.
Pada saat anak sudah diberi air susu ibu, ibunya mengucapkan ‘Basmallah’ agak keras sehingga terdengar oleh si bayi ( hal ini merupakan pendidikan agama dari si ibu dan lingkungan) ucapan ‘Basmallah’, ‘Alhamdullillah’ bila selesai menyusui atau kegiatan lain. Pada umumnya orang tua dan lingkungan keluarga bila hendak meninabobokan si bayi akan mengumandakan salawat-salawat nabi, asma allah ataupun do’a-do’a dengan maksud untuk mendo’akan anaknya agar menjadi anak yang soleh dan solehah.
Bila anak sudah mulai berbicara atau memanggil ibu dan ayahnya, sebutan yang diajarkan orang tuanya untuk menyapa kedua orang tuanya adalah umi/abah. Anakpun diajarkan kalimat-kalimat illahi, seperti la ila haaillallah. Sesuai dengan perkembangan anak, pendidikan agama lebih ditingkatkan seperti shalat berjamaah, sekalipun anak belum dapat mengucapkan bacaan-bacaan shalat. Di Betawi pun apabila  orang tuanya akan melaksanakan ‘hakekah’ (potong rambut pertama ataupun sunatan bagi anak perempuan) pada bayi berumur sebelum 40 hari, ini merupakan kewajiban orang tuanya yang tidak terlepas dari ajaran agama, menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki, dan satu ekor untuk akan perempuan.
Tujuan ‘khitanan’ untuk perempuan untuk meredam seksualitas anak yang berlebihan atau tidak mudah terangsang. Namapun diberikan secara resmi pada saat tersebut, karena biasanya hakekah, potong rambut, khitanan diadakan pembacaan maulid nabi dengan mengundang kerabat serta sanak famili. Pemberian nama kepada anak diambil dari nama-nama yang baik artinya (biasanya diambil nama-nama yang ada dalam Al-Quran).
Seiring dengan bertambahnya umur dan perkembangan fisik anak (dalam hal ini anak perempuan) dididik untuk membersihkan kaki apabila hendak tidur siang/malam. Mencuci tangan tidak saja saat mau tidur tetapi juga apabila sudah dapat memegang makanan.
Permainan-permainan diajarkan pada saat ini (anak sudah bisa berjalan) seperti boneka atau mainan lain yang sesuai dengan kebutuhan anak perempuan. Selain itu juga diajarkan bagaimana merapikan/membersihkan mainannya pada tempatnya masing-masing.
Pada usia 4 - 5 tahun umumnya anak sudah mulai memasuki sekolah formal dan pada saat ini pula para orang tua mengenalkan huruf-huruf Al-qur’an  (‘mengaji’). Dan anak perempuan biasanya diajarkan permainan ‘congklak, cici putri dan ciblak-ciblak cuang’, permainan ini tidak khusus dimainkan anak perempuan saja, namun dimainkan  juga oleh anak laki-laki yang belum akil baligh.
Selain permainan tersebut diatas orang tua terutama ibu mengajarkan / menyampaikan cerita yang terdapat dalam Al-quran terutama cerita tentang nabi yang berkaitan dengan anak perempuan. Disamping cerita yang diperuntukkan anak dalam pendidikan agama disampaikan juga pendidikan secara non formal misalnya; cerita "Sang Bango" yang disampaikan sambil berdendang. Tujuan dari cerita tersebut merupakan pengetahuan dari binatang-binatang yang diceritakan; misalnya:
·         Bango makanannya ikan Ikan akan timbul kalau hari hujan Musim hujan tiba sesudah ada suara kodok. Sementara ular tahu dimana kodok berada karena kodok makanan ular.
Pendidikan memasakpun diajarkan sekali pun pada awalnya diceritakan pada saat menjelang tidur, misalnya;
·         Lawar gantung semur air. Menceritakan perempuan yang tidak bisa masak, suatu saat mertuanya ingin masak semur, dan perempuan itu hanya menggantung lawarnya dan hanya merebus airnya saja tidak memasak seperti biasanya.
·         Kepiting didandanin. Menceritakan anak tidak bisa masak; suatu saat mertua pulang dari pasar membawa rajungan “kepiting” sembari berkata “mantu ni rajungan didandanin buat makan entar malam” karena simantu tidak bisa masa, lalu rajungan tersebut dibedakin, dikasih lapstik dan kain pita. Selain cerita dan permainan didalam rumah, ada juga permainan yang dilakukan di luar rumah seperti “dampu, wak-wak gung, gala asin, bola gebok” dan lain-lain. Permainan ini biasanya dilakukan sebelum pergi mengaji dan dilakukan bersama teman-temannya atau tetangganya. Anak mengaji, sholat jama’ah, “ngederus” (tadarus) al quran merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh anak Betawi.
Pada usia 11-12 tahun saat menjelang akil baligh anak perempuan diajarkan keberadaan anak lelaki dan perempuan. Kebutuhan belanjapun diajarkan. Dan kondisi dimana perempuan akan mengalami ‘kain kotor’ (mentruasi) juga dijelaskan.
Setelah tiba mendapat ‘kain kotor’, mereka ditanya oleh ibunya dan anak tersebut menjawab ia sudah mendapatkan kain kotor, maka si ibu biasanya memperhatikan anak nya bila ia tidak sholat. Pada saat anak mendapatkan ‘kain kotor pertama’ biasanya si ibu membuatkan ‘ketan kuning’ berserta kelengkapannya dan dibagikan kepada tetangga. Dengan maksud bahwa anak gadisnya sudah akil baliq. Kewajiban-kewajiban seorang anak yang telah akil baligh juga diterapkan  ‘mandi hadats’. Dan juga anak perempuan diberikan tanggung jawab untuk mengurus rumah seperti; membersihkan rumah, mengatur rumah, membuat kue dan minuman kopi atau teh. Bahkan memasak juga harus sudah dipraktekan. Ayahnya pun mulai memperhatikan pergaulan anak perempuannya. Biasanya pengetahuan tentang pergaulan tersebut dibicarakan setelah selesai sholat magrib berjama’ah.
Sang ayah menjelaskan tatacara pergaulan  anak perempuan diluar rumah seperti batasan-batasan pergaulan. Anak pun sudah mulai digiatkan untuk dapat menghatamkan Al-Quran, biasanya khatam Al-Quran merupakan pendidikan formal keluarga yang harus ditaati. Selain pendidikan di sekolah umum atau keluarga anak perempuan juga di sekolah di Madrasah untuk menerima ilmu-ilmu agama. Apabila orang tua tidak mempunyai Madrasah biasanya si anak di sekolahkan milik orang Betawi lainnya yang masih hubungan keluarga.
Persiapan-persiapan untuk memasuki kehidupan rumah tangga mulai diajarkan pada saat akil baliq. Bagaimana kewajiban istri kepada suami dan mertuanya, ibu bapaknya dan saudara-saudaranya. Hal ini ditekankan pada anak perempuan di Betawi dengan maksud agar seorang istri patuh kepada suaminya. Karena ini merupakan pendidikan yang harus dilakukan oleh orang tuanya.
Setelah orang tuanya merasa bahwa anaknya sudah memiliki pengetahuan ilmu agama dan keterampilan rumah tangga, maka mulailah anaknya ditampilkan kepada kegiatan orang tuanya yang pada intinya ingin memberitahukan bahwa dia mempunyai seorang anak perempuan. Terutama pada kegiatan-kegiatan hajatan dan ‘bebesanan’
Apabila tiba masanya anak perempuan tersebut sudah pantas berumah tangga dan sudah ada pula keluarga yang dituju untuk bebesanan (keluarga yang punya anak lelaki yang diharapkan untuk jadi mantu). Biasanya diadakan pendekatan untuk tujuan tersebut, mengenalkan anak mereka dari kedua belah pihak. Dalam hal ini orang tua hanya mengarahkan dan tidak memaksa. Kemuadian kedua orang tua akan menanyakan kepada anak apabila ada kecocokan, bila jawaban yang diberikan ‘iya’ maka akan dilakukan proses perkawinan, misal; melamar oleh pihak laki, setelah lamaran diterima ditentukan waktu pernikahannya. Dalam masa tunggu pernikahan tersebut, seorang anak ditingkatkan pengetahuannya tentang bagaimana melayani suami dan kedua orang tuanya. Tugas orang tua selesai pada saat diadakan upacara ijab kabul. Kewajiban memberi pendidikan dan memberi nafkah diserahkan kepada suaminya  yang juga mantunya.
Apabila tiba saatnya dia mendapatkan anak maka pendidikan yang diterima orang tuanya dahulu akan diterapkan kepada anaknya sesuai jamannya. Demikian siklus kehidupan seorang anak perempuan di Betawi. Inti dari pendidikan seorang anak perempuan ialah patuh kepada suaminya dalah hal yang dibenarkan agama.
Secara sederhana, tahapan perkembangan perilaku anak sebagai berikut :[7]
a.       Tahap I : (0-10 tahun) yaitu tahap perkembangan perilaku lahiriyah
b.      Tahap II : (11-15 tahun) yaitu tahap perkembangan perilaku berkesadaran
c.       Tahap III : (15 tahun ke atas) yaitu tahap perkembangan kontrol internal atas perilaku.

3.      Mendidik Anak dalam Proses Pembelajaran
a.      Menciptakan Suasana Belajar Mengajar yang Efektif.
Inti pelaksanaan pendidikan di sekolah adalah kegiatan belajar mengajar. Efektifitas pembelajaran tidak bisa terjadi dengan sendirinya, tetapi harus diuasahakan oleh guru melalui upaya penciptaan kondisi belajar mengajar yang kondusif. Setidak-tidaknya ada tiga langkah yang seharusnya dilakukan guru dalam menciptakan suasana belajar mengajar efektif. Ketiga langkah tersebut adalah sebagai berikut :[8]
A.    Membangun motivasi siswa.
Hal-hala yang dapat  mendorong motivasi eksternal siswa untuk belajar antara lain :
1.      Menciptakan persaingan (kompetisi)
2.      Menciptakan tujuan antara atau target
3.      Memberikan kesempatan untuk berhasil
4.      Mengadakan penelitian
5.      Menghargai siswa
B.     Melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar
C.     Pandai menarik minat siswa

 b.      Seni Mengendalikan Siswa
Mengendalikan siswa merupakan salah satu tugas pokok guru. Mengingat ”pengendalian siswa” merupakan hal yang pokok dan penting maka guru efektif selalu memperhatikan hal ini. Ia tidak membiarkan suasana kelas dalam keadaan kacau. Adapun cara yang sebaiknya dilakukan antara lain:[9]
a)      Membuat aturan
b)      Mengalihkan perhatian
c)      Mengabaikan perilaku tertentu.
d)     Memberikan reward dan reinforcement
e)      Memberikan perintah dan larangan langsung
f)       Memberikan pertanyaan
g)      Memberikan isyarat
h)      Memberikan perjanjian
i)        Menantang
j)        Mengendalikan secara fisik.
c.       Prinsip-prinsip Menjatuhkan Hukuman
Menurut kaca mata penulis, 10 penyakit tersebut sudah membudaya dan sangat kronis menyerang sebagian guru, bahkan mungkin sebagian besar guru. Seperti apakah 10 penyakit tersebut ? Penyakit tersebut dapat penulis uraikan dari penyakit ASMA yaitu penyakit asal masuk kelas, kemudian meningkat menjadi penyakit ASAM URAT yaitu asal susun materi, bahkan hanya kopi paste yang terkadang sekolah asal, tahun pembuatan sudah kadalu warsa.
Kemudian meningkat menjadi penyakit KUDIS yaitu kurang disiplin, meningkat lagi menjadi penyakit LESU, lemah sumber. Karena lemah sumber, maka penyakitnya meningkat menjadi JADUL atau jaman dulu artinya dari dahulu kala pola mengajarnya sama. Maka muncul penyakit KUSTA kurang strategi, kemudian meningkat lagi menjadi penyakit TBC tidak banyak cara, dari tahun ke tahun tidak pernah ada perubahan.
Maka, meningkatlah menjadi penyakit TIPUS tidak punya selera, MUAL mutu amat lemah, terakhir menjadi penyakit KRAM yaitu kurang trampil. Benarkah penyakit tersebut menyerang para guru ? Menurut hemat penulis penyakit tersebut benar-benar menyerang ke sebagian guru, mungkin lebih. Bahkan sangat mungkin masih ada penyakit lain yang lebih kronis.
Berdasarkan realitas tersebut, para guru, kepala sekolah, pengawas sampai dengan kadiknas dan seterusnya, perlu berbenah diri atau perlu intropeksi. Bagaimanakah 10 penyakit tersebut agar tidak menyerang ke para guru ? 
Itulah persolan besar yang harus disembuhkan oleh personal dan para pengambil kebijakan mulai dari kepala sekolah, pengawas, kadiknas dan seterusnya. Maka reward and punishment perlu ditegakkan. Artinya bagi seorang guru yang telah menunjukkan perilaku tertib, disiplin, berdedikasi tinggi perlu mendapat apresiasi dan reward dari para pemimpinnya. Contoh seorang guru yang secara rutin selalu hadir di kantornya rata-rata berangkat lebih awal dan akhir, seharusnya mereka perlu disebut atau diberi ucapan terimakasih atas ketertibannya.
Namun yang terjadi sebaliknya. Bagi guru yang terlambatlah selalu diingatkan oleh pimpinannya. Semestinya kedua-duanya perlu diperhatikan dengan porsi yang sama pula. Hal tersebut tampaknya sangat sederhana, namun faktanya mempunyai imbas atau pengaruh negatif yang tidak kecil. Bukankah sesuatu yang besar juga berangkat dari yang kecil ?
Cara yang lain di antaranya perlu diadakan workshop atau pelatihan di setiap akhir tahun pelajaran, di suatu tempat yang dianggap mendukung terlaksananya program tersebut dengan nyaman dan tentram. Pada kesempatan tersebut dapat mengundang pakar pendidikan yang intinya menyadarkan para pelaku pendidikan bahwa kita adalah selaku penyelenggara pendidikan, yang di dalamnya adalah mengelola manusia. Maka pendekatan secara manusiawilah yang perlu dikedepankan. Bahwa kita adalah penerima amanah dari para wali murid, maka kita harus mampu menjalankan amanah tersebut dengan ketekunan, ketelatenan, kerja keras, iklas dan kesabaran.
Maju mundurnya Negara tergantung para guru dalam memperlakukan peserta didiknya, ditunjang oleh pemerintah, lingkungan dan orangtua. Menurut DR JC Tukiman Taruno untuk menyembuhkan penyakit tersebut di atas ditawarkan 3 cara, yaitu guru berani berubah; kepala sekolah memimpin penuh percaya diri; siswa dikembangkan partisipasinya.
Guru berani berubah, dapat pemakalah tafsirkan bahwa kita mengajar dan mendidik adalah pekerjaan mulia yang bersentuhan dengan manusia. Maka pendekatan dan sentuhan cara-cara manusiawilah yang harus dikedepankan. Dan pentingnya menumbuhkan sikap pribadi bahwa perubahan tidak datang dari siapapun, keculi dari pribadinya. Kepala sekolah memimpin penuh percaya diri, dapat penulis tafsirkan kepala sekolah harus berani memberi punishment kepada guru yang melanggar dan memberi reward kepada guru yang berprestasi. Siswa dikembangkan partisipasinya, penulis tafsirkan dalam kegiatan apa pun di kelas dan di luar kelas, guru harus mampu melibatkan secara aktif peran serta siswa didik dalam mengambil dan melaksanakan keputusan.
Menurut para ahli pendidikan modern, khususnya yang berpegang pada pendekatan humanistik, hukuman sebaiknya tidak sering dilakukan. Mereka beranggapan bahwa hukuman yang sering dilakukan dapat menyebabkan anak atau siswa mengalami gangguan dalam pertumbuhan psikisnya. Dalam hal ini, hukuman hendaknya dilakukan sebagai langkah terakhir apabila cara-cara pengendalian lainnya dipandang tidak ampuh. Tetapi tetap harus diingat, jika kita mempergunakan hukuman sebagai alat pengendali siswa, kita hendaknya mengombinasikan dengan pemberian reward dan reinforcement.
Secara garis besar, ada tiga bentuk hukuman yang dapat diberikan, yaitu :
1)      Membuat siswa melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan (restitusi)
2)      Mencabut kegemaran atau kesempatan anak yang dimiliki siswa (deprivasi)
3)      Menimpakan rasa sakit berbentuk kejiwaan atau fisik terhadap siswa.
Dr. Charles Schaefer (1994) memberikan garis-garis pedoman dalam menjatuhkan hukuman, seperti berikut :
1.      Jelas dan terang, yaitu :
§  Menyebutkan kesalahan yang dilakukan
§  Menyebutkan aturan dan prinsip yang dilanggar
§  Menerangkan hukuman yang harus diterima (konsekuensi negatifnya)
2.      Menunjukkan alternatif yang dapat diterima.
3.      Mencela tingkah laku, bukan mencela anak.
4.      Konsisten.
5.      Kumpulkan semua fakta
6.      Melakukan secepatnya
7.      Melibatkan anak
8.      Tenang dan Onyektif.
9.      Adil.
10.  Hindari Hukuman Ganda.
11.  Lakukan secara pribadi.
12.  Layak.
13.  Kehangatan.

B.     Kebiasaan Baik yang seharusnya dilakukan oleh Guru dalam Mendidik.
Menurut beberapa pendapat, prinsip umum yang berlaku untuk semua guru yang baik :[10]
a)      Guru yang baik memahami dan menghormati murid.
b)      Guru yang baik harus menghormati bahan pelajaran yang diberikannya.
c)      Guru yang baik menyesuaikan metode mengajar dengan bahan pelajaran.
d)     Guru yang baik mengaktifkan murid dalam hal belajar (Learning by Doing)
e)      Guru yang baik menyesuaikan bahan pelajaran dengan kesanggupan individu.
f)       Guru yang baik memberi pengertian dan bukan hanya kata-kata belaka.
g)      Guru menghubungkan pelajaran dengan kebutuhan murud.
h)      Guru mempunyai tujuan tertentu dengan tiap pelajaran yang diberikannya.
i)        Guru jangan terikat dengan satu buku pelajaran (textbook).
j)        Guru yang baik tidak hanya mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan saja kepada kepada murid melainkan senantisa mengembanngkan pribadi anak.
Kebiasaan-kebiasaan baik yang ada pada guru yang biasa dilakukan guru :[11]
a)      Saat memasuki dan meninggalkan ruang kelas.
b)      Suka membagi fase pembelajaran.
c)      Membuat catatan tugas dan anekdot
d)     Berupaya menghafal nama siswa.
e)      Suka memberikan bantuan secara individual.
f)       Suka memberikan nasihat
g)      Memberikan kesempatan berdialog atau berkonsultasi
h)      Tepat waktu



[1] Drs. Wasty Soemanto, Kepemimpinan dalam Pendidikan, Surabaya, 1982, Usaha Nasional, hal : 39
[2] L.J.F. Sanders. Membantu Anak Mengerjakan Pekerjaan Rumah, Jakarta, 1993, Gramedia Pustaka Utama, hal : 1
[3] Drs. Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, Bandung, 1992, Mandar Maju, hal : 48-49
[4] Sardiman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, 1992, Rajawali Pers, hal : 52-53
[5] www.roni336.com  Cara Mendidik Anak Zaman Sekarang
[6] www.dakwatuna.com  Mendidik Anak Meraih Sukses Keluarga
[7] M. Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islam, Jakarta, 2006, Al_I’tishom, hal :45
[8] Sukadi. Guru Powerful Guru Profesional. Jakarta: Kolbu, 2006.hal :37-49, Sukadi
[9] Opcit hal : 96-120, Sukadi
[10] Prof. Dr. S. Nasution, M.A. Didaktik Asas-Asas Mengajar, Jakarta, Bumi Aksara, 1995, hal : 7-13
[11] OpCit, hal : 134-141, Sukadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar