Sistem baru pada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2013 ini ternyata kembali menuai kontroversi. Sistem baru yang berakibat pada pengurangan kuota dari jalur tertulis ini dianggap bentuk diskriminasi bagi anak-anak dari golongan menengah ke bawah yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, mengatakan bahwa penerimaan mahasiswa baru yang didasarkan pada nilai rapor dan hasil Ujian Nasional (UN) ini seakan hanya memfasilitasi anak-anak dari golongan menengah ke atas yang umumnya juga belajar di sekolah unggulan.
"Sekarang yang nilai rapor dan UN-nya bagus itu biasanya dari sekolah yang bagus juga. Dan itu biasanya didominasi anak orang kaya," kata Retno, kepada Kompas.com, Sabtu (29/12/2012).
"Mereka ikut bimbel, les privat, sekolahnya juga menggelar pendalaman materi. Tentu nilainya terus bagus," jelas Retno.
Sementara bagi sekolah yang biasa saja, umumnya memiliki siswa dari kalangan yang beragam baik golongan menengah hingga yang menengah ke bawah. Anak-anak ini tidak mampu ikut bimbingan belajar dan lain sebagainya karena kondisi ekonomi yang pas-pasan. Akibatnya, nilai rapornya biasa saja dan hasil UNnya juga tak akan mampu mendongkrak peringkat.
"Ini akan menjadi tidak adil bagi mereka. Kesempatan melanjutkan pendidikan jadi terbatas. Apakah pola seperti ini tepat?" tandasnya.
Namun hal ini dibantah oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh. Justru dengan pola baru ini siswa dari golongan manapun dapat merasakan pendidikan di perguruan tinggi negeri. Bahkan ia menjelaskan bahwa anak-anak dari golongan menengah ke bawah tersebut juga banyak yang berprestasi.
"Kami lihat dari hasil Bidik Misi. Anak-anak ini ternyata nilainya malah lebih baik. IPKnya selalu di atas 2,75. Jadi jangan salah, anak-anak kurang mampu ini juga mampu bersaing dan berprestasi," jelas Nuh.
Seperti diketahui, SNMPTN 2013 mendatang akan mengadopsi cara penerimaan mahasiswa baru jalur undangan yang mengedepankan nilai rapor dan hasil UN. Kuota yang akan diterima dari hasil tes ini ditargetkan sekitar 60 persen. Sementara untuk ujian tulis akan berganti nama menjadi SBMPTN dengan kuota minimal 30 persen dan sisa 10 persen akan diakomodir dari jalur mandiri.
Sarat kecurangan
Retno juga mengatakan bahwa ujian tulis pada seleksi masuk perguruan tinggi negeri cukup memiliki kredibilitas dan minim tingkat kecurangannya. Oleh karena itu, dia menyesalkan langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan mengurangi kuota ujian tulis pada SNMPTN 2013.
"Ini yang pakai hasil UN dinaikkan jadi 60 persen kuotanya. Padahal UN itu sarat kecurangan," kata Retno.
"Anak-anak juga tak lagi termotivasi seperti dulu karena masuk lewat ujian tulis itu biasanya ada rasa bangga tersendiri," tambahnya lagi.
Ia pun menilai dengan sistem ini seleksi masuk perguruan tinggi negeri akan ikut terkena berbagai praktik kecurangan seperti langkah katrol nilai yang akan membuat para siswanya dapat lolos masuk perguruan tinggi negeri incarannya. Meski pihak panitia SNMPTN 2013 telah menyiapkan sanksi tegas bagi pihak yang melakukan katrol nilai siswa, ia yakin hal ini tetap akan terjadi.
"Kita lihat saja nanti. Saya khawatir ujian masuk yang biasanya sedikit tindak kecurangan ini berubah menjadi masif seperti pelaksanaan UN," ungkap Retno.
Sebelumnya, Panitia Pelaksana SNMPTN 2013 menjamin bahwa katrol nilai sulit terjadi karena siswa juga wajib melakukan verifikasi terhadap data yang dimasukkan oleh sekolah melalui Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS). Selanjutnya akan ada penyesuaian juga oleh panitia dari nilai dalam PDSS dengan nilai berdasarkan rapor dan ijazah asli. Jika tidak sesuai maka risikonya siswa tersebut batal masuk perguruan tinggi negeri pilihannya (edukasi.kompas.com.)
Baca Juga Artikel Pendidikan Lainnya :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar