Pendidikan
merupakan kebutuhan primer pada saat ini, apalagi sebagian besar masyarakat
sudah menyadari pentingnya pendidikan dalam menata masa depan yang lebih baik.
Oleh karena itu setiap negara senantiasa berusaha memajukan bidang pendidikan,
disamping bidang yang lain dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang
kompetitif dan berkualitas serta berusaha mengejar kemajuan negara lain.
Satu
dari sekian banyak masalah di era global yang dihadapi Indonesia saat ini
adalah masalah di bidang pendidikan. Masalah yang belum teratasi pada saat ini
terutama masalah yang berhubungan dengan kualitas hasil pendidikan (Suyanto,
2007). Adanya kebijakan sertifikasi guru adalah salah satu upaya nyata
Pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru agar guru sebagai aktor
utama dalam pendidikan umumnya dan pembelajaran khususnya dapat meningkatkan
kompetensinya.
Seorang guru penting untuk
menciptakan paradigma baru untuk menghasilkan praktik terbaik dalam proses
pembelajaran (Carolin Rekar Munro, 2005). Oleh karena itu, ketika terjadi
perubahan kurikulum dan terjadi pergeseran tuntutan hasil pendidikan yang
berkaitan dengan tuntutan pasar kerja, maka gurulah yang harus berperan
mewujudkan harapan itu. Guru harus selalu mengembangkan diri,
baik yang berkaitan dengan kompe-tensi bidang studi maupun pedagogik, termasuk
penggunaan internet dalam mencari informasi terkini (Kok Siang Tang, Ngoh Khang
Goh, & Lian Sai Chia, 2006).
Ronald Brandt (1993)
menyatakan bahwa hampir semua usaha reformasi dalam pendidikan, seperti
pembaharuan kurikulum dan penerapan metode pembelajaran baru akhirnya
tergantung kepada guru. Tanpa guru yang mampu menguasai bahan ajar dan strategi
belajar-mengajar, maka segala upaya peningkatan mutu pendidikan tidak akan
mencapai hasil yang optimal. Hal ini berarti seorang guru tidak hanya
diharapkan mampu menguasai bidang ilmu yang diajarkan, tetapi juga menguasai
strategi belajar-mengajar.
Saat ini dunia pendidikan telah
banyak menghasilkan berbagai macam inovasi dan menghadirkan strategi/model
pembelajaran. Hal ini semata-mata sebagai upaya mengga-irahan minat belajar
peserta didik, sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar.
Oleh karena itu sudah saatnya guru mengetahui model-model pembela-jaran, baik
jenisnya maupun cara penerapannya.
2. KONDISI PENDIDIKAN KITA SAAT INI
Seiring dengan kemajuan di bidang
pendidikan, maka secara perlahan-lahan telah terjadi perubahan paradigma pendidikan,
seperti perubahan dari teacher centered
ke student centered; diterimanya
pendekatan, metode, dan model pembelajaran baru yang inovatif; munculnya
kesadaran bahwa informasi/pengetahuan dapat diakses lewat berba-gai cara dan
media oleh peserta didik; teknologi pembelajaran berbasis teknologi infor-masi
(TI) mulai diterapkan; orientasi pendidikan bukan hanya pada pengembangan sum-ber
daya manusia (human resources development),
tetapi juga pada pengembangan kapabilitas manusia (human capability development); diperkenalkannya e-learning; depen-dence ke independence;
individual ke team work oriented; dan
large group ke small class.
Namun
demikian kita masih melihat adanya pembelajaran di sekolah-sekolah yang
berpusat pada guru dimana guru masih aktif sebagai pemberi informasi dan
mendominasi pembelajaran di kelas, sedangkan peserta didik pasif sebagai
penerima informasi, meski-pun paradigma pendidikan yang baru sudah mengarahkan
pada student centered. Selain itu
pembelajaran masih menekankan pada hafalan dan drill-drill (latihan) yang kemung-kinan besar disebabkan banyaknya
materi yang harus diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun
peserta didik tidak lagi dianggap objek pembelajaran, tetapi kenyataannya
materi pembelajaran masih sangat ditentukan oleh guru. Di sebagian besar
sekolah, masih terlihat kurang mengoptimalkan pengembangan kapabilitas peserta
didik, baik yang menyangkut cipta, rasa, dan karsa, serta peserta didik kurang
memiliki kesempatan untuk berpikir kritis, logis, kreatif, dan inovatif.
Dengan kenyataan seperti itu, maka
sudah saatnya bagi guru untuk mencoba mengembangkan profesionalismenya melalui
pengembangan model-model pembelajaran yang benar-benar mampu mengaktifkan dan
menciptakan kondisi pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan
sekaligus menyenangkan. Dengan demikian peserta didik akan merasakan
kebermaknaan belajar bagi hidup dan kehidupannya dan akhirnya meaningful learning akan terwujud.
3. PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN
Model pembelajaran diartikan sebagai
prosedur sistematis dalam mengorganisasi-kan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar. Jadi, sebenarnya model pembela-jaran memiliki arti yang sama
dengan pendekatan atau strategi pembelajaran. Saat ini telah banyak
dikembangkan berbagai macam model pembelajaran, dari yang sederhana sampai
model yang agak kompleks dan rumit karena memerlukan banyak alat bantu dalam
penerapannya.
Seorang guru diharapkan memiliki
motivasi dan semangat pembaharuan dalam proses pembelajaran yang dijalaninya.
Menurut Sardiman A. M. (2004 : 165), guru yang kompeten adalah guru yang mampu
mengelola program belajar-mengajar. Mengelola di sini memiliki arti yang luas
yang menyangkut bagaimana seorang guru mampu menguasai keterampilan dasar
mengajar, seperti membuka dan menutup pelajaran, menjelaskan, menvariasi media,
bertanya, memberi penguatan, dan sebagainya, juga bagaimana guru menerapkan
strategi, teori belajar dan pembelajaran, dan melaksanakan pembelajaran yang
kondusif. Pendapat serupa dikemukakan oleh Colin Marsh (1996 : 10) yang menya-takan
bahwa guru harus memiliki kompetensi mengajar, memotivasi peserta didik,
membuat model instruksional, mengelola kelas, berkomunikasi, merencanakan
pembela-jaran, dan mengevaluasi. Semua kompetensi tersebut mendukung keberhasilan
guru dalam mengajar. Setiap guru harus memiliki kompetensi adaptif terhadap
setiap perkem-bangan ilmu pengetahuan dan kemajuan di bidang pendidikan, baik
yang menyangkut perbaikan kualitas pembelajaran maupun segala hal yang
berkaitan dengan peningkatan prestasi belajar peserta didiknya.
4. MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS SCL
Ada beberapa model pembelajaran yang
dapat diterapkan pada saat ini yang berbasis pada Student Centered Learning (SCL). Model SCL sangat digemari karena
berbagai alasan, diantaranya:
1.
diterimanya pendekatan konstruktivisme
dalam pembelajaran;
2.
adanya pergeseran paradigma pengajaran
ke pembelajaran;
3.
adanya pergeseran dari teacher oriented ke student oriented;
4.
adanya pergeseran dari orientasi hasil
ke proses pembelajaran;
5.
diterimanya konsep pendidikan sepanjang
hayat;
6.
diterimanya konsep multiple intelligence;
7.
semakin mudah dan murahnya akses
informasi melalui jaringan dan perangkat TI;
8.
tersedianya buku-buku referensi yang
mudah diperoleh. .
Perlu diingat bahwa sebaik apapun
model pembelajaran tersebut secara teoretik, tetapi keberhasilannya dalam
membantu menciptakan pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik sangat
tergantung pada kepiawaian guru dalam menerapkannya. Penelitian di Jepang
menunjukkan bahwa keunggulan pembelajaran di Jepang terutama disebabkan oleh
peranan guru yang mampu memilih strategi pembelajaran yang efektif termasuk di
dalamnya memilih model pembelajaran (Aleks Masyunis, 2000). Guru memberikan
warna dan nilai terhadap model yang diterapkan.
Berikut ini akan disajikan beberapa
contoh model pembelajaran yang berbasis pada SCL. Contoh suatu model tidak
harus ditiru 100% oleh guru, tetapi guru harus dapat memodifikasi sesuai dengan
karakteristik peserta didik dan fasilitas yang tersedia di sekolah. Dengan
demikian penerapan model pembelajaran tidak membatasi kreativitas guru dalam
menjalankan tugasnya, tetapi tetap mampu mengikuti perkembangan dunia
pendidikan yang digelutinya.
Berbicara mengenai proses
pembelajaran di sekolah seringkali membuat kita kecewa, apalagi bila dikaitkan
dengan pemahaman peserta didik terhadap materi ajar. Mengapa demikian? Ya,
karena kenyataan menunjukkan banyak peserta didik mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap
materi ajar yang diterimanya, tetapi mereka tidak memahaminya. Sebagian peserta
didik tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan
bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan/ dimanfaatkan. Selain itu,
peserta didik kesulitan memahami konsep yang diajarkan hanya dengan metode
ceramah, apalagi jika konsep yang diajarkan sangat abstrak. Padahal mereka sangat butuh untuk dapat
memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat pada
umumnya dimana mereka akan hidup dan bekerja.
Banyak pertanyaan muncul di diri guru
yang berkeinginan untuk membantu masalah yang dihadapi peserta didiknya
tersebut, seperti:
1. Bagaimana menemukan cara terbaik
untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran
tertentu, sehingga semua peserta didik dapat menggunakan dan mengingatnya lebih
lama konsep tersebut ?
2. Bagaimana setiap bagian mata
pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling berhubungan dan membentuk satu
pemahaman yang utuh ?
3. Bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi
secara efektif dengan peserta didiknya yang selalu bertanya-tanya tentang
alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan dari apa yang mereka
pelajari ?
4. Bagaimana guru dapat membuka wawasan
berpikir yang beragam dari peserta didiknya, sehingga mereka dapat mempelajari berbagai
konsep dan mampu mengaitkannya dengan kehidupan nyata, sehingga dapat membuka
berbagai pintu kesempatan selama hidupnya ?.
Semua
pertanyaan itu merupakan tantangan bagi guru untuk selalu berusaha dan berusaha
agar dapat menemukan solusi yang paling tepat untuk mengatasinya. Penga-laman
di negara lain menunjukkan bahwa minat
dan prestasi peserta didik dalam bidang
matematika, sains, dan bahasa meningkat
secara drastis pada saat:
1. Mereka dibantu untuk membangun keterkaitan antara
informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah
mereka miliki atau mereka kuasai.
2. Mereka diajarkan bagaimana mereka mempelajari
konsep, dan bagaimana konsep tersebut dapat digunakan di luar kelas.
3.
Mereka
diperkenankan untuk bekerja secara bersama-sama (cooperative).
Hal itulah yang merupakan jiwa dan inti pokok dari
penerapan model pembelajaran berbasis CTL.
1. Model Pembelajaran Berbasis
Pendekatan CTL
Pendekatan CTL adalah konsep belajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata
peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penera-pannya dalam kehidupan mereka sehari-hari,
dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni:
konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questinoning), menemukan
(Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling),
refleksi (reflection), dan
penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) (Johnson, 2002).
Sesuai dengan faktor
kebutuhan individual peserta didik, maka untuk dapat meng-implementasikan
pembelajaran kontekstual guru seharusnya:
- Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning) dengan 3 karakteristik umumnya (kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan).
- Menggunakan teknik bertanya (questioning) yang meningkatkan pembelajaran peserta didik, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan berpikir tingkat tinggi
- Mengembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna jika ia diberi kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan mengontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru (contructivism).
- Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry) agar peserta didik memperoleh pengeta-huan dan keterampilan melalui penemuan sendiri (bukan hasil mengingat sejumlah fakta).
- Mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik melalui pengajuan pertanyaan (questioning).
- Menciptakan masyarakat belajar (learning community) dengan membangun kerjasama antar peserta didik.
- Memodelkan (modelling) sesuatu agar peserta didik dapat menirunya untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru.
- Mengarahkan peserta didik untuk merefleksikan tentang apa yang sudah dipelajari.
- Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment).
2. Model Pembelajaran Berbasis Pendekatan
PAIKEM
a. Pembelajaran
Aktif
Anak
didik belajar, 10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari
apa yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan didengar, 70% dari apa yang
dikatakan, dan 90% dari apa yang dikatakan dan dilakukan (Sheal, Peter, 1989).
Pernyataan tersebut nampak sejalan dengan yang diharapkan dalam Kurikulum 2006,
yang menginginkan peserta didik mencapai suatu kompetensi tertentu yang dapat
diko-munikasikan dan ditampilkan.
Kurikulum
terbaru kita menginginkan adanya perubahan pembelajaran dari teacher centered ke student centered. Perubahan ini tidak semudah diucapkan, karena
pola pembelajaran kita sudah terbiasa dengan cara guru menjelaskan dan
menyampaikan informasi, sedangkan peserta didik lebih banyak menerima. Namun
bukan berarti kita pesimis dengan perubahan itu, tetapi mungkin pencapaiannya
memerlukan waktu. Bagaimanapun habits
yang sudah terbentuk lama, untuk mengubahnya perlu kesung-guhan dan kemauan
tinggi dari semua komponen yang terlibat dalam pembelajaran.
Pembelajaran aktif artinya
pembelajaran yang mampu mendorong anak didik aktif secara fisik, sosial, dan
mental untuk memahami dan mengembangkan kecakapan hidup menuju belajar yang
mandiri, atau pembelajaran yang menekankan keaktifan anak didik untuk mengalami
sendiri, berlatih, beraktivitas dengan menggunakan daya pikir, emosi-onal, dan
keterampilannya. Melalui pembelajaran aktif diharapkan anak didik akan lebih
mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang
dimilikinya. Selain itu, mereka secara penuh dan sadar dapat menggunakan
potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya, lebih terlatih untuk
berprakarsa, berpikir secara sistematis, kritis, tanggap, sehingga dapat
menyelesaikan masalah sehari-hari melalui penelusuran informasi yang bermakna
baginya.
Guru yang aktif adalah guru yang
memantau kegiatan belajar anak didik, memberi umpan balik, mengajukan
pertanyaan yang menantang, dan memperbanyak gagasan anak didik untuk dapat
dimunculkan. Sedangkan anak didik yang aktif adalah mereka yang sering
bertanya, mengemukakan pendapat, mempertanyakan gagasan sendiri/orang lain, dan
aktif melakukan suatu kegiatan belajar (Mel Silberman, 2002).
Sayangnya, sebagian guru kurang mampu
mengajukan pertanyaan yang menan-tang kepada anak didik, sehingga pembelajaran
aktifpun jarang tercipta. Hal ini kemung-kinan disebabkan berbagai hal, seperti
alasan klise karena dikejar waktu untuk menye-lesaikan materi hingga tak sempat
berpikir ke arah itu, ketidaksiapan guru itu sendiri untuk membuat dan menjawab
pertanyaan menantang. Padahal dengan pertanyaan menantang sudah pasti anak
didik kita terpacu dan termotivasi untuk mencari jawaban dan itu berarti
aktivitas belajar mereka semakin tinggi dan wawasan pengetahuannya akan selalu
ber-tambah dari hari ke hari.
b. Pembelajaran
Inovatif dan Kreatif
Setiap manusia secara normal pasti
memiliki ketertarikan dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu yang
baru. Demikian juga anak didik, jika dalam pembelajaran disuguhi sesuatu yang
baru pasti akan timbul semacam energi baru dalam mengikuti pelajaran. Dengan
kata lain, sesuatu yang baru mampu bertindak seperti magnet yang menarik minat
dan motivasi anak didik untuk mengikutinya.
Pembelajaran inovatif adalah
pembelajaran dengan memperkenalkan sesuatu yang berbeda yang belum dialami dari
sebelumnya. Sesuatu yang baru tidak identik dengan sesuatu yang mahal. Apa yang
nampaknya sepele, bisa saja mampu membuat pembelajaran lebih hidup hanya karena
sang guru mampu melakukan inovasi. Dalam penciptaan pembelajaran inovatif yang
terpenting adalah kemauan dan keinginan guru untuk membuat belajar menjadi
menarik untuk diikuti dan menghilangkan kebosanan peserta didik dalam belajar.
Kreatif
adalah cara berpikir yang mengajak kita keluar dan melepaskan diri dari pola
umum yang sudah terpateri dalam ingatan. Pembelajaran kreatif adalah pembela-jaran yang mengajak anak
didik untuk mampu mengeluarkan daya pikir dan daya karsanya untuk menciptakan
sesuatu yang di luar pemikiran orang kebanyakan. Kreatif merupakan kata yang
berasal dari bahasa Inggris to create
yang dapat diurai : C (combine), R (reverse), E (eliminate), A (alternatif),
T (twist), E (elaborate). Jadi, seorang anak didik yang berpikir kreatif dalam
benaknya berisi pertanyaan : dapatkan saya mengkombinasi / menambah, membalik,
menghilangkan, mencari cara / bahan lain, memutar, mengelaborasikan sesuatu ke
dalam benda yang sudah ada sebelumnya ?
Melepaskan
diri dari sesuatu yang sudah terpola dalam pikiran kita bukanlah pekerjaan yang
mudah. Beberapa hal yang mampu membangkitkan pikiran kita untuk menjadi kreatif
antara lain : berfantasi atau mengemukakan gagasan / ide yang tidak umum,
terkesan “nyleneh”, berada pada satu gagasan / ide untuk beberapa saat, berani
mengambil resiko, peka terhadap segala keajaiban, penasaran terhadap suatu
kebenar-an, banyak membaca artikel penemuan yang membuatnya kagum dan
terheran-heran.
Berpikir
kreatif dapat diawali dengan bercanda dan berteka-teki tentang sesuatu, karena
berpikir kreatif berlangsung ketika otak dalam keadaan santai. Seorang pemikir
kreatif suka mencoba gagasan/ide yang berkebalikan dengan yang dipikirkan oleh
orang banyak. Mereka suka melihat sisi-sisi lain yang baginya lebih menarik
untuk dicermati dan dipikirkan. Kadang-kadang orang yang berpikir lurus tidak
akan dapat “berteman baik” dengan orang yang berpikir kreatif, karena
menganggap ia sebagai orang aneh.
Untuk dapat menciptakan pembelajaran
inovatif maupun kreatif diperlukan tiga sifat dasar yang harus dimiliki anak
didik maupun guru, yaitu peka, kritis, dan kreatif terhadap fenomena yang ada
di sekitarnya. Peka artinya orang lain tidak dapat melihat keterkaitannya
dengan konsep yang ada dalam otak, tetapi kita mampu menangkapnya sebagai
fenomena yang dapat dijelaskan dengan konsep yang kita miliki. Kritis artinya
fenomena yang tertangkap oleh mata kita mampu diolah dalam pikiran hingga
memunculkan berbagai pertanyaan yang menggelitik kita untuk mencari jawabannya.
Kreatif artinya dengan kepiawaian pola pikir dan didasari pemahaman yang
mendalam tentang konsep-konsep tertentu lalu kita berusaha menjelaskan/menciptakan
suatu aktivitas yang mampu menjelaskan fenomena tersebut kepada diri sendiri
atau orang lain.
Guru yang kreatif dan inovatif adalah
guru yang mampu mengembangkan kegiatan yang beragam di dalam dan di luar kelas,
membuat alat bantu/media sederhana yang dapat dibuat sendiri oleh anak
didiknya. Demikian pula anak didik yang kreatif dan inovatif mampu merancang
sesuatu, menulis dan mengarang, dan membuat refleksi terhadap semua kegiatan
yang dilakukannya.
c. Pembelajaran
Efektif
Efektif memiliki makna tepat guna,
artinya sesuatu yang memiliki efek/pengaruh terhadap yang akan dicapai/dituju.
Pembelajaran efektif artinya pembelajaran yang mampu mencapai kompetensi yang
telah dirumuskan, pembelajaran dimana anak didik memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan sikap. Pembelajaran dikatakan efektif jika terjadi perubahan
pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Adapun ciri-ciri pembelajaran efektif
diantaranya tercapainya tujuan yang diharap-kan, anak didik menguasai
keterampilan yang ditargetkan. Belajar dan mengajar akan efektif jika anak
didik aktif dan semua aktivitas pembelajaran berpusat pada anak didik. Hal ini
karena pembelajaran yang berpusat pada anak didik akan mampu menimbulkan minatnya
dan secara tidak langsung mereka memahami konsep dan kaitannya dengan
aspek-aspek kehidupan.
d. Pembelajaran
Menyenangkan (Joyful Learning)
Saat ini di berbagai negara sedang
trend dan semangat mengembangkan joyful
learning dan meaningful learning,
yaitu dengan menciptakan kondisi pembelajaran sede-mikian rupa sehingga anak
didik menjadi betah di kelas karena pembelajaran yang dijalani menyenangkan dan
bermakna. Mereka merasakan bahwa pembelajaran yang dijalani memberikan
perbedaan dalam basis pengetahuan yang ada di pikirannya, berbeda dalam
memandang dunia sekitar, dan merasakan memperoleh sesuatu yang lebih dari apa
yang telah dimilikinya selama ini. Sebagai bangsa yang ingin maju dalam era
globalisasi yang kompetitif ini tentunya kita juga ingin merasakan pembelajaran
yang demikian.
Semua mata pelajaran dapat dibuat
menjadi menyenangkan, tergantung bagai-mana niat dan kemauan guru untuk
menciptakannya. Pembelajaran yang dikemas dalam situasi yang menyenangkan,
jenaka, dan menggelitik sangat diharapkan oleh anak didik saat ini yang sangat
rawan stres karena saratnya materi ajar yang harus dikuasai. Penelitian
terhadap beberapa anak-anak sekolah di dunia yang diadakan UNESCO menunjukkan
sebagian dari mereka menginginkan belajar dengan situasi yang menye-nangkan
(Dedi Supriadi, 1999).
Pembelajaran menyenangkan artinya
pembelajaran yang interaktif dan atraktif, sehingga anak didik dapat memusatkan
perhatian terhadap pembelajaran yang sedang dijalaninya. Penelitian menunjukkan
bahwa ketika seorang guru menjelaskan suatu materi tanpa ada selingan dan anak
didik hanya mendengarkan, melihat, dan mencatat, maka perhatian dan konsentrasi
mereka akan menurun secara draktis setelah 20 menit. Keadaan ini semakin parah
jika guru tidak menyadari dan pembelajaran hanya berjalan monoton dan
membosankan (Tjipto Utomo dan Kees Ruijter, 1994). Lebih lanjut dikemukakan,
keadaan ini dapat diatasi apabila guru menyadari lalu mengubah pembelajarannnya
menjadi menyenangkan dengan cara memberi selingan aktivitas atau humor. Tindakan
ini secara signifikan berpengaruh meningkatkan kembali perhatian dan
konsentrasi anak didik yang relatif besar.
Pembelajaran menyenangkan adalah
pembelajaran yang membuat anak didik tidak takut salah, ditertawakan,
diremehkan, tertekan, tetapi sebaliknya anak didik berani berbuat dan mencoba,
bertanya, mengemukakan pendapat / gagasan, dan mempertanya-kan gagasan orang
lain. Menciptakan suasana yang menyenangkan tidaklah sulit, karena kita hanya
menciptakan pembelajaran yang relaks (tidak tegang), lingkuangan yang aman
untuk melakukan kesalahan, mengaitkan materi ajar dengan kehidupan mereka,
belajar dengan balutan humor, dorongan semangat, dan pemberian jeda berpikir.
Dalam belajar guru harus menyadari bahwa banyak kata ”aku belum tahu” akan
muncul dan kata ”aku tahu” sedikit muncul, karena mereka memang dalam tahap
belajar. Demikian pula guru harus menyadari bahwa otak manusia bukanlah mesin
yang dapat disuruh berpikir tanpa henti, sehingga perlu pelemasan dan
relaksasi.
Sesuai dengan pendapat Ausubel bahwa
belajar akan bermakna jika peserta didik dapat mengaitkan konsep yang
dipelajari dengan konsep yang sudah ada dalam struktur kognitifnya, dan
pendapat Bruner yang menyatakan belajar akan berhasil lebih baik jika selalu
dihubungkan dengan kehidupan orang yang sedang belajar. Secara logika dapat
dipahami, bahwa kita pasti akan belajar serius bila yang dipelajari ada
kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dan kata-kata atau kalimat yang didengar
sudah familiar di kepala kita.
Melalui joyful learning diharapkan
ada perbaikan praktik pembelajaran ke arah yang lebih baik. Perubahan ini tidak
harus terjadi secara draktis, perlahan-lahan tetapi pasti. Perbaikan proses
sangat penting agar keluaran yang dihasilkan benar-benar berkualitas.
Seperti diketahui, otak kita terbagi
menjadi dua bagian, yaitu kanan dan kiri. Terkadang dalam
dunia pendidikan kita lupa akan pentingnya mengembangkan otak sebelah kanan.
Secara umum hanya otak kiri yang menjadi sasaran pengembangan, terutama untuk
ilmu eksakta. Otak sebelah kanan adalah bagian yang berkaitan dengan imajinasi,
estetika, intuisi, irama, musik, gambar, seni. Sebaliknya otak sebelah kiri
berkaitan dengan logika, rasio, penalaran, kata-kata, matematika, dan urutan.
Untuk menepis hal itu, sebenarnya kita dapat tunjukkan bahwa ilmu apapun mampu
digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan otak sebelah kanan, diantaranya
dengan cara memahami dan menghafal konsep melalui puisi, nyanyian, maupun
permainan teka-teki.
Otak kita adalah
bagian tubuh yang paling rawan dan sensitif. Otak sangat menyukai hal-hal yang
bersifat tidak masuk akal, ekstrim, penuh warna, lucu, multisenso-rik, gambar 3
dimensi (hidup), asosiasi, imajinasi, simbol, melibatkan irama / musik, dan nomor/urutan.
Berdasarkan hal ini, maka kita sebagai pendidik dapat merancang apa yang
sebaiknya kita berikan kepada anak didik agar otak mereka menyukainya. Sebagai
contoh mengemas pembelajaran dengan menggunakan puisi atau lagu untuk
menyimpul-kan materi yang diajarkan, atau melalui teka-teki jenaka untuk
mengevaluasi sejauhmana mereka menguasai materi yang diajarkan.
3. Model Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual
Berbasis Kontroversi Isu
Masyarakat
kita adalah masyarakat yang heterogen dalam hal latar belakang budaya, pendidikan, status ekonomi, bahasa, agama,
dan lain-lain. Latar belakang pendi-dikan yang berbeda akan mempengaruhi cara
berpikir dan menerima informasi yang berkembang di masyarakat. Mulai dari
informasi yang berkaitan dengan ekonomi, politik, sosial, budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Apalagi saat ini kita berada di era globalisasi
dimana kemajuan di bidang TIK demikian canggih, sehingga semua informasi dengan
mudah dan cepat dapat diterima masyarakat.
Bagi
masyarakat dengan latar belakang pendidikan yang relatif rendah akan menelan mentah-mentah
segala informasi yang dilihat dan diterima dari berbagai media, karena
keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Namun bagi guru yang termasuk
dalam golongan intelektual tentunya tidak berpikir sama dengan mereka, karena
guru memiliki bekal ilmu pengetahuan yang relatif cukup untuk dapat mencerna
dan menelaah/ mengkaji kebenaran informasi yang masih bersifat isu tersebut.
Ball
(1988) menyatakan bahwa penguasaan guru terhadap bidang ilmunya meru-pakan
sesuatu yang fundamental agar peserta didik dapat dibantu dalam mempelajari
bidang ilmu tersebut. Menurut Amy J. Phelps & Cherin Lee (2003), guru akan
dapat memberikan pengetahuan kepada peserta didiknya dalam suatu prosedur yang
sederhana dan tepat bila ia menguasai materi yang akan diajarkan dengan baik.
Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan
Pasal 28 PP RI No 19/2005 bahwa seorang guru harus memiliki empat jenis
kompetensi, diantaranya kompetensi profesional. Keprofesionalan guru harus
ditunjukkan melalui aktivitas penggalian dan pengembangan wawasan bidang ilmu
yang ditekuninya secara terus menerus
tanpa batas waktu dan ruang. Termasuk ketika ada suatu isu yang
berkembang di masyarakat yang ada kaitannya dengan bidang ilmu yang
ditekuninya, guru harus secara cepat dan tanggap mencari informasi lebih lanjut
untuk mengetahui lebih jelas dan benar tentang isu tersebut.
Constance
Blasie & George Palladino (2005) berpendapat bahwa pengetahuan dan
penggunaan teknologi informasi secara tepat dalam pengajaran dan pembelajaran
adalah kemampuan yang harus dikuasai oleh guru sekolah lanjutan. Hal ini
mengisyarat-kan pada kita selaku guru akan pentingnya penguasaan penggunaan
kemajuan TIK dalam menunjang kelancaran dan keberhasilan menjalankan tugas.
Contoh konkretnya penguasaan penggunaan internet dalam menelusuri informasi
yang diperlukan untuk mengkaji kebenaran isu yang berkembang di
masyarakat.
Beberapa
contoh isu yang berkembang di masyarakat yang sempat membuat masyarakat bingung
dan resah dan memerlukan penjelasan ilmiah yang mampu menepis isu-isu yang
kontroversial tersebut agar meredam keresahan masyarakat diantaranya isu MSG,
isu minyak babi, isu banyu geni, isu merkuri, isu kiamat, isu kontroversi buku
gurita Cikeas, isu batas TOEFL untuk kelulusan mahasiswa, dan sebagainya.
Salah
satu wujud nyata peningkatan profesional guru adalah kemampuan guru dalam
menerapkan pendekatan dan metode pembelajaran baru yang dipandang sesuai dengan
nuansa dan esensi kurikulum yang berlaku. Salah satunya adalah pendekatan
kontekstual yang mengharuskan guru mengaitkan materi ajar dengan dunia nyata
peserta didik, sehingga peserta didik memiliki transfer of knowledge dan transfer
of value di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Banyaknya
isu yang terekspose di masyarakat melalui kecanggihan TIK menuntut guru untuk
mampu menerapkan pendekatan kontekstual dengan cara melihat keterkaitan isu-isu
tersebut dengan materi yang diajarkan dan kebutuhan peserta didik akan
penje-lasan/informasi yang benar dan tepat. Dengan demikian berarti guru mampu
tampil seba-gai “pahlawan” dalam menenangkan keresahan masyarakat, sekaligus
sarana bagi guru dalam mengembangkan ilmunya. Jika pembelajaran kontekstual
berbasis kontroversi isu yang berkembang di masyarakat ini dapat
terimplementasi dengan baik secara terus menerus, maka citra dan martabat guru
semakin gemilang.
4. Model Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual
Berbasis Lingkungan
Ketiadaan
alat dan bahan laboratorium sering menjadi kendala tidak dilakukannya
praktikum, meskipun guru pengampu memiliki petunjuk praktikumnya. Oleh karena
itu sangat diperlukan kreativitas guru IPA dalam mencari alternatif bahan dan
alat lain yang dapat digunakan agar praktkum tetap dapat dilaksanakan. Dengan
demikian pelaksanaan praktikum tidak bergantung pada fasilitas laboratorium
yang ada di sekolah, tetapi cukup menggunakan bahan dan alat yang dengan mudah
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Metode praktikum sangat dianjurkan dalam pembelajaran IPA, karena sesuai
dengan tujuan pendidikan yang meliputi 3 aspek, yaitu mengembangkan
pengetahuan, menanamkan sikap ilmiah, dan melatih keterampilan. Melalui
praktikum peserta didik memperoleh pemahaman yang mendalam tentang suatu
konsep, sebab mereka melaku-kan dan melihat sendiri.
Bila
dilihat dari buku petunjuk praktikum yang sudah ada di lapangan, nampaknya
tidak semua materi pokok yang ada dalam kurikulum mata pelajaran IPA terwakili
oleh suatu topik percobaan. Ironisnya, sebagian besar buku petunjuk praktikum yang beredar di pasaran
isinya sama, tidak ada yang memiliki kelebihan, misalnya menyajikan topik
percobaan yang berbeda dan baru/aktual. Meskipun semua percobaan bertujuan
mengaktifkan peserta didik, namun akan lebih menarik minat belajar peserta
didik bila buku petunjuk praktikum berisikan aktivitas percobaan sederhana yang
menarik dengan bahan dan alat yang digunakan dapat diperoleh di lingkungan
sekitar, sehingga peserta didik dapat mencobanya di rumah.
Bagaimanakah cara kita sebagai guru menciptakan
suatu percobaan baru sehing-ga peserta didik tertantang dan tertarik untuk
melakukannya ? Suatu materi ajar dapat dikonstruksi menjadi percobaan
dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini :
a. Pelajari secara mendalam materi ajar
tersebut, lalu coba cari hubungan setiap konsep yang ada dengan fenomena yang
ada dalam kehidupan sehari-hari.
b. Setelah kita menemukan suatu fenomena,
cobalah berpikir bagaimana mengangkat fenomena tersebut menjadi suatu rancangan
percobaan sederhana dengan mencari hubungannya dengan konsep kimia tertentu.
c.
Buatlah langkah-langkah pengujian /
pembuktiannya.
d.
Ujicobalah sesuai dengan rancangan yang
dibuat.
e.
Tulis rancangan kita dengan format
prosedur sederhana yang mudah dipahami.
Untuk
dapat menemukan fenomena yang berkaitan dengan materi ajar mungkin dirasa sulit
oleh kita, namun sebenarnya semakin banyak membaca buku dan membuka internet,
semakin besar kepekaan kita terhadap fenomena kimia di sekitarnya.
5. Model Pembelajaran Berbasis
Pendekatan Konstruktivistik
Menurut
Canella & Reiff (1994: 27-28) belajar dengan pendekatan konstruktivistik
berarti mengonstruksi atau menyusun struktur pemahaman/pengetahuan dengan cara
mengaitkan dan menyelaraskan fenomena, ide, atau pengetahuan baru ke dalam
struktur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Aliran
konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia
mengonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena,
pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja
dari seorang guru kepada peserta didik, tetapi harus diinter-prestasikan
sendiri oleh mereka. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu
proses yang berkembang terus menerus. Jawaban
peserta didik atas suatu
persoalan adalah jawaban yang masuk akal bagi mereka saat itu. Jika ada
jawaban salah, bukan disalahkan, tetapi ditanyakan bagaimana ia dapat
memperoleh jawaban itu. Dengan demikian peserta didik terlibat aktif dalam
proses perolehan suatu konsep.
Strategi
pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik dapat dilakukan guru dengan
memperhatikan beberapa hal, yaitu:
a. Menyajikan masalah-masalah aktual kepada
peserta didik dalam konteks yang sesuai dengan tingkat perkembangan mereka
b. Menekankan pembelajaran di sekitar
konsep-konsep primer
c. Mendorong peserta didik untuk mengajukan
pertanyaan sendiri
d. Mengkondisikan peserta didik berani
menemukan jawaban dari pertanyaan sendiri
e. Mengkondisikan peserta didik untuk
berani mengemukakan pendapat dan menghargai sudut pandangnya sendiri.
f. Menantang peserta didik agar dapat
melakukan pemahaman yang mendalam, bukan sekedar penyelesaian tugas melalui
pertanyaan yang menantang.
g. Menganjurkan peserta didik belajar
dalam kelompok
h. Mendorong peserta didik untuk berani
menemukan tanggungjawab
i.
Melakukan
penilaian, baik terhadap proses maupun hasil belajar peserta didik dalam
konteks pembelajaran.
Inti pendekatan konstruktivistik
adalah peserta didik diharuskan mampu mengons-truksi sendiri pemahaman terhadap
suatu konsep berdasarkan struktur kognitif yang telah ada, dimana peserta didik
melakukan penyelarasan dengan konsep baru yang diterimanya
PENUTUP
Guru adalah profesi yang luar biasa
mulia diantara profesi yang lain. Dengan kesabaran dan keprofesinalannya
seorang guru berusaha mentransfer segala apa yang dimilikinya kepada anak didik
tanpa lelah, setiap hari dan setiap saat. Seorang guru senantiasa ditruntut
untuk melakukan pembaharuan dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai
pendidik. Melalui penerapan dan pemodifikasian model pembelajaran yang sedang
berkembang saat ini diharapkan anak didik menjadi subjek belajar yang baik dan
generasi yang mandiri, mampu menciptakan sesuatu secara kreatif dan inovatif
tanpa harus meniru bangsa lain.
Tanpa
mengurangi makna sebenarnya dari pembelajaran, marilah kita berusaha
menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, sehingga mampu mengubah image belajar sebagai suatu keterpaksaan menjadi suatu kebutuhan,
dengan cara membawa peserta didik menikmati sisi-sisi keindahan dan kemenarikan
dari suatu materi pelajaran yang sedang dipelajarinya dalam kemasan model
pembelajaran yang tepat. Semoga kita termasuk guru yang dapat menciptakan
kesenangan dalam belajar, bahkan kalau mungkin dapat menyebabkan anak didik
kecanduan belajar. Hidup ini penuh pilihan, semoga pilihan kita sebagai
guru adalah pilihan yang tepat untuk masuk surga (Amiiin).
DAFTAR PUSTAKA
Aleks Masyunis.
(2000). Strategi kualitas pendidikan MIPA di LPTK. Makalah pada Seminar
Nasional FMIPA UNY tanggal 22 Agustus 2000.
Amy J. Phelps & Cherin Lee.
(2003). The power of practice : what students learn from how we teach. Journal of Chemical Education, 80 (7),
829 – 832.
Ball, D. L.
(1988). Unlearning to teach mathematics.
East Lansing : Michigan
State University,
National Center for Research on Teacher
Education.
Brandt, Ronald. (1993). What do you
mean professional. Educational Leadership. Nomor 6 50, March.
Canella &
Reiff .(1994). Individual constructivist teacher education: Teachers as
empowered learners. Teacher Education
Quarterly, 21(3), 27-28.
Carolin Rekar
Munro. (2005). “Best Practices” in
teaching and learning : Challenging current paradigms and redefining their role
in education. The College Quarterly. 8 (3), 1 – 7.
Colin Marsh.
(1996). Handbook for beginning teachers.
Sydney : Addison Wesley Longman Australia Pry Limited.
Constance Blasie & George Palladino. (2005). Implementing the professional development standards : a research
department’s innovative masters degree program for high school chemistry
teachers. Journal of Chemical Education. 82 (4), 567 – 570.
Dedi Supriadi. (1999). Mengangkat
citra dan martabat guru. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
Depdiknas. (2005). Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Johnson, E. B. (2002). Contextual
teaching and learning. California:
A Sage Publications Company, Corwin Press, Inc.
Kok Siang Tan, Ngoh Khang Goh, & Lian Sai Chia. (2006). Bridging the
cognitive – affective gap : teaching chemistry while advancing affective
objectives. Journal of Chemical Education.
83 (1), 59 – 63.
Mel Silberman. (2002). Active
learning : 101 Strategi pembelajaran aktif. Yogyakarta
: Yappendis.
Sardiman,
A. M. (2004). Interaksi dan motivasi
belajar-mengajar. Jakarta: Rajawali.
Sheal, Peter.
(1989). How to develop and present staff
training courses. London : Kogan Page Ltd.
Suyanto.
(2007). Tantangan
profesional guru di era global. Pidato Dies
UNY 27 Mei 2007. Yogyakarta : UNY.
Tjipto Utomo dan
Kees Ruijter. (1994). Peningkatan dan
pengembangan pendidikan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
LAMPIRAN 1
Contoh model pembelajaran berbasis CTL
Mata Pelajaran :
Kimia
Sub-Materi Pokok :
Pengaruh Konsentrasi terhadap Laju Reaksi
Kelas/Semester :
XI/1
Waktu :
2 X 45 menit (1 kali pertemuan)
A. TUJUAN
PEMBELAJARAN
Peserta
didik dapat menunjukkan pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi melalui permainan
dan percobaan sederhana
B. SKENARIO PEMBELAJARAN
- Guru meminta beberapa peserta didik unrtuk maju, lalu dibagi 2 kelompok, misalnya satu kelompok berjumlah 10 orang, sedangkan kelompok lain berjumlah 5 orang.
- Kedua kelompok diminta berdiri di atas lantai yang telah dibatasi garis dari kapur.
- Ada dua peserta didik untuk masing-masing kelompok yang bertugas menghitung banyaknya tumbukan antar mereka nanti setelah diberi aba mulai bergerak.
- Agar permainan menjadi seru maka diperdengarkan kepada mereka sejenis musik yang berirama cepat. Begitu musik berbunyi mereka diminta bergerak sesuka hati tetapi masih dalam satu kotak yang telah dibatasi tadi.
- Peserta didik yang bertugas mencatat, satu melihat tumbukan antar mereka sambil menghitung sedangkan yang satu mencatat. Hal ini dilakukan sekitar 1 – 2 menit saja agar tidak terlalu berat menghitungnya. Hasil pencatatan permainan ini disimpan sementara untuk digabungkan dengan data percobaan yang akan dilakukan.
- Ambil 2 tabung reaksi, masukkan serbuk cangkang telur dengan massa yang sama.
- Ambil dua balon lalu masukkan masing-masing sejumlah volum yang sama cuka, yang satu diencerkan sedangkan yang satu tidak.
- Pasangkan mulut balon yang telah berisi cuka tadi ke mulut tabung.
- Siapkan stopwatch atau pencatat waktu lainnya. Tekan stopwatch ketika cuka dalam balon secara bersamaan dituang ke dalam tabung. Catat waktu yang diperlukan sampai balon berdiri. (percobaan dilakukan secara berkelompok @ 4 orang)
- Hasil permainan dan percobaan sederhana lalu ditampilkan dalam bentuk tabel.
- Guru mengarahkan dengan pertanyaan inkuiri terhadap data hasil permainan dan percobaan hingga peserta didik memperoleh kesimpulan tentang pengaruh konsen-trasi terhadap laju reaksi. Permainan bertujuan untuk menunjukkan bahwa semakin banyak partikel semakin besar kemungkinan terjadinya tumbukan, sedangkan perco-baan bertujuan untuk menunjukkan kebenaran dari simulasi permainan tadi.
- Selanjutnya, dengan cara sharing, peserta didik diminta menciptakan permainan dan percobaan sederhana untuk menunjukkan pengaruh luas permukaan terhadap laju reaksi berdasarkan permainan dan percobaan yang dilakukan pada pembelajaran ini.
Tabel 1.
Data Hasil Permainan
No.
|
Jumlah Peserta Didik dalam
Kelompok
|
Jumlah Tumbukan (dalam 1 menit)
|
1.
|
5 orang
|
............
|
2.
|
10 orang
|
............
|
Tabel 2.
Data Hasil Percobaan
No.
|
Reaksi
|
Waktu
(menit)
|
1.
|
Serbuk
cangkang telur + cuka (encer)
|
............
|
2.
|
Serbuk
cangkang telur + cuka (pekat)
|
............
|
Pada contoh di atas ketujuh komponen CTL
terpenuhi, yaitu:
- Konstruktivisme (Constructivism): peserta didik mengonstruksi sendiri pemahaman pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi berdasarkan permainan dan percobaan.
- Bertanya (Questinoning): guru bertanya untuk mengarahkan pada simpulan. Peserta didikpun boleh mengajukan pertanyaan, baik kepada guru maupun dengan sesama teman.
- Menemukan (Inquiry): dengan permainan dan percobaan yang dilakukan peserta didik dapat menemukan sendiri konsep pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi.
- Masyarakat belajar (Learning Community): dengan melakukan permainan dan percoba-an, mereka belajar secara bersama-sama membentuk masyarakat belajar yang berusa-ha menemukan dan memahami suatu konsep.
- Pemodelan (Modeling): permainan dan percobaan merupakan pemodelan yang dapat membantu peserta didik memahami suatu konsep.
- Refleksi (Reflection): peserta didik merefleksikan aktivitas yang dilakukan untuk sub-materi pokok lainnya.
- Penilaian sebenarnya (Authentic Assessment): pada kegiatan pembelajaran ini penilai-an dilakukan terhadap kerja sama kelompok dan keaktifan dalam tanya jawab.
LAMPIRAN2
Contoh model pembelajaran kontekstual
berbasis kontroversi isu
Mata Pelajaran :
Biologi
Sub-Materi Pokok :
Zat Aditif pada Makanan
Kelas/Semester :
XI/2
Waktu :
2 X 45 menit (1 kali pertemuan)
A. TUJUAN
PEMBELAJARAN
Peserta
didik dapat mengidentifikasi adanya zat pewarna tekstil pada berbagai makanan melalui
percobaan kromatografi kertas sederhana.
B. SKENARIO PEMBELAJARAN
- Guru meminta beberapa peserta didik unrtuk menunjukkan contoh makanan yang dicurigai mengandung zat pewarna tekstil (pertemuan sebelumnya sudah diberitahu untuk membawa).
- Guru menjelaskan sifat zat pewarna tekstil yang tidak larut dalam air (akuades).
- Guru memberikan penjelasan singkat bagaimana mendeteksi zat pewarna tekstil pada makanan dengan kromatografi kertas sederhana.
- Hasil percobaan setiap kelompok dipresentasikan di depan.
- Guru kemudian meminta peserta didik untuk menjelaskan alasan peserta didik memilih makanan yang dicurigai dihubungkan dengan hasil percobaan yang diperoleh.
- Peserta didik diminta membuat simpulan tentang zat pewarna tekstil pada makanan dan memberikan peringatan dalam bentuk poster.
- Guru memberikan penilaian terhadap presentasi masing-masing kelompok dan poster yang dibuat.
LAMPIRAN3
Contoh model pembelajaran dengan
pendekatan PAIKEM
Mata Pelajaran :
Bahasa Indonesia
Sub-Materi Pokok :
Mengidentifikasi Konflik
Kelas/Semester :
XI/2
Waktu :
2 X 45 menit (1 kali pertemuan)
A. TUJUAN
PEMBELAJARAN
Peserta
didik dapat mengidentifikasi konflik dari sebuah cerita.
B. SKENARIO PEMBELAJARAN
1. Guru meminta peserta didik unrtuk membaca satu cerita
pendek.
2. Peserta didik secara berkelompok diminta untuk mengidentifikasi
konflik yang terjadi dari cerita pendek yang dibaca.
3. Tiap kelompok mempresentasikan dan memberikan alasan
argumentatif tentang hasil identifikasinya.
4. Setelah semua kelompok maju, guru menuntun ke arah
kesimpulan tentang cara mengidentifikasi konflik.
5. Guru meminta setiap kelompok berlatih beberapa saat
dan kemudian secara bergilir diminta maju memainkan cerita tersebut, yang
diperankan hanya tokoh sentral, utama dan pembantu.
LAMPIRAN 4
Contoh model pembelajaran dengan
pendekatan PAIKEM
Mata Pelajaran :
Fisika
Sub-Materi Pokok :
Fisika Atom
Kelas/Semester :
XII/2
Waktu :
2 X 45 menit (1 kali pertemuan)
A. TUJUAN
PEMBELAJARAN
Peserta
didik dapat menjelaskan sejarah atom secara berurutan melalui permainan yang
menyenangkan.
B. SKENARIO PEMBELAJARAN
1. Guru memberi waktu beberapa saat pada semua peserta
didik untuk membaca sejarah atom.
2. Setelah itu setiap peserta didik diminta
.menceritakan kembali sejarah atom dengan cara menggunakan lagu yang disenangi
oleh peserta didik dimana liriknya diganti dengan sejarah atom tersebut.
3. Setelah semua berhasil menggubah lagu, selanjutnya
mereka diminta menyanyikan di depan kelas secara bergiliran.
4. Setelah semua bernyanyi, maka guru menetapkan peserta
didik yang paling bagus syairnya dilihat dari kebenaran urutan sejarah penemuan
atom.
SEJARAH ATOM
(Nyanyikan seperti lagu
Ketahuan Mata)
Dari awal Dalton tak sangsi
dengan teori atomnya
Kemudian John Thomson melihat
elektron ada di sana
Terakhir dia bilang teori roti
kismis pada kita
Tetapi ternyata Rutherford
bermain partikel alfa
Saat itu terlihat
Ada inti di sana
Dengan suatu neutron juga
Reff :
O o tapi ketahuan
Teori gagal oleh Niels
Bohr
Anak buahnya
O tapi tak mengapa
Bohr sempurnakan
Karna Rutherford ada kelemahan
Kelemahan
itu karna tak dapat jelaskan mengapa
Elektron tak jatuh ke inti ketika hilang energi
Niels
Bohr berkata elektron berada di lintasannya
Dengan
energi yang tertentu klilingi inti atomnya
Saat ia berputar
Terkadang bermesraan
Dengan energi dari luar
Reff :
O o elektron berpindah
Ke kulit atom yang lebih tinggi
Tingkat energinya
O tapi tak mengapa
Kau kan kembali
Karna di situ tempat sesaatmu
Tulisan
ini dikutip dari tulisan Das Salirawati, M.Si dengan Judul Asli Pengenalan
Variasi Model Pembelajaran Bidang MIPA Dan Bahasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar