A. Demokratisasi Pengembangan Kurikulum
Mau dibawa ke mana anak-anak oleh sekolah, siapa yang paling berhak
menentukan arah dan kebijakan sekolah. Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam penyeleggaraan sekolah,
dalam sistem atau dalam pendekatan apapun. Semangat demokratis dalam
penyelenggaraan sekolah akan menginspirasi bahwa publik sekolah memiliki hak
yang sangat kuat dan sangat besar dalam penetapan arah kebijakan kerikulum
sekolah, barangkali sama kuatnya dengan pemerintah sendiri, karena client
sekolah adalah publiknya dan pemerintah yang juga dalam konteks lain sebagai user, bukan terbatas dalam aspek
penerimaan tenaga kerja pada instansi pemerintah saja, tapi lapangan kerja
secara lebih luas di semua sektor,pertanian, industri, jasa atau lainnya, di
dalam negeri maupun di luar negeri. Semakin kompetitif SDM bangsa, maka akan semakin
meningkat dignity bangsa tersebut dihadapan bangsa-bangsa lainnya. Sebaliknya
semakin merosot daya saingnya, maka akan semakin menurun pula nation
dignitynya. Dengan demikian publik sekolah dan pemerintah sama-sama memiliki
kepentingan dalam penetapan arah dan pendidikan anak-anak di sebuah sekolah.
Kurikulum merupakan inti dari
sebuah sekolah, karena kurikulumlah yang mereka tawarkan pada publiknya, dengan
dukungan SDM guru berkualitas, serta sarana
sumber belajar lainnya yang memadai. Diskursus tentang kurikulum masih
terus berjalan, apakah kurikulum itu hanya bermakna course out Line atau GBPP,
atau mencakup seluruh pengalaman yang diberikan pada anak dalam proses
penddikannya oleh guru.[1] Dalam konteks ini Ronald C. Doll
menjelaskan bahwa kurikulum sudah lagi bermakna sebagai rangkaian bahan yang
akan dipelajari serta urutan pelajaran yang akan dipelajari siswa, tapi seluruh
pengalaman yang ditawarkan pada anak-anak peserta didik dibawah arahan dan
bimbingan sekolah (Doll, 1964:15).
Doll menegaskan bahwa
kurikulum adalah perencanaan yang ditawarkan, bukan yang diberikan, karena
pengalaman yang diberikan guru belum tentu ditawarkan. Dengan demikian seluruh
konsep pendidikan disekolah itu bisa dan harus ideal. Kurikulum harus bicara
keharusan, dan bukan kemungkinan. Kemudian bimbingan dan arahan tidak saja
tugas dan kewajiban guru, tapi menjadi tugas dan kewajiban sekolah, yang
komponennya tidak sekedar guru, tapi juga kepala sekolah, karyawan sekolah dan
unsur lain yang terkait langsung dengan proses pendidikan.
Sesuai pengertian diatas, maka
kurikulum sebagaimana, dikemukakan Sukmadinata memiliki beberapa karektristik
(Sukmadinata, 1997:27) yaitu:
Ø Kurikulum sebagai suatu substansi, yakni
bahwa kurikulum adalah sebuah rencana kegiatan belajar para siswa disekolah,
yang mencakup rumusan-rumusan tujuan, bahan ajar, proses kegiatan pembelajaran,
jadwal dan evaluasi hasil belajar. Kurikulum tersebut merupakan sebuah konsep
yang telah disusun oleh para ahli dan disetujui oleh para pengambil kebijakan
pendidikan serta oleh masyarakat sebagai user dari hasil pendidikan.
Ø Kurikulum sebagai sebuah sistem, yakni
bahwa kurikulum merupakan rangkaian konsep tentang berbagai kegiatan
pembelajaran yang masing-masing unit kegiatan memiliki keterkaitan secara
koheren dengan lainnya, dan bahwa kurikulum itu sendiri memiliki keterkaitan
dengan semua unsur dalam sistem pendidikan secara keseluruhan.
Ø Kurikulum merupakan sebuah konsep yang
dinamis, yakni bahwa kurikulum merupakan konsep yang terbuka dengan berbagai
gagasan perubahan serta penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan pasar atau
tuntutan idealisme pengembangan peradaban umat manusia.
Akan tetapi, bukan menghindari
diskursus tentang kurikulum, namun dengan menyerap pemahaman publik terhadap
kurikulum, tampaknya definisi-definisi yang dikemukakan oleh Hilda Taba dan
Robert Gagne, yang dikemukakan oleh Allan A. Glathorn dalam bukunya berjudul
Curriculum Leadership, (Glathorn,1987:2) lebih mendekati pemahaman fragmatis
tentang kurikulum. Menurut Taba,
Kurikulum biasanya terdiri dari pernyataan-pernyataan tentang tujuan umum,
tujuan khusus, yang mengindekasikan kelompok bahan-bahan ajar terpilih yang
juga menyatakan tentang model-model pelaksanaan proses pembelajaran, dan juga
mencakup program evaluasi hasil belajar. Sementara Robert Gagne menegaskan, bahwa kurikulum
adalah sekwensi isi dan bahan pelajaran yang dideskripsikan sedemikian rupa
sehingga pembelajaran setiap unitnya itu dapat diselesaikan sebagai sebuah
satuan utuh, dan masing-masing unit tersebut juga mendeskripsikan kapabilitas
(kompetensi) siswa yang harus dikuasai mereka.
Kedua tokoh tersebut amat
berpengaruh dalam pendidikan karena mereka memberikan sebuah gambaran bahwa
kurikulum berkaitan langsung dengan proses pembelajaran dalam kelas, hanya
saja, Taba lebih menekankan pada
struktur kurikulumnya itu sendiri dengan perumusan bahan-bahan ajar, model
pembelajaran, serta evaluasi belajar. Sementara Gagne lebih menekankan pada sekwensinya yakni bahwa bahan ajar itu
harus disusun dalam sebuah sekwensi yang sistematis, dan masing-masing unit
pembelajaran harus mampu mendeskripsikan kompetensi yang bisa diperoleh siswa,
sehingga jelas dan rasional, dan siswa harus menyelesaikannya dengan baik
sampai menguasai benar dan mencapai kompetensi yang dirumuskannya itu.
Walaupun berbeda membuat
rumusan, namun Doll, Taba dan Gagne memiliki pandangan yang sama, bahwa
kurikulum adalah pengalaman-pengalaman belajar yang ditawarkan sekolah pada
siswa, kemudian juga Doll sebagaimana Taba dan Gagne menyampaikan sebuah teori
kurikulum yang standar bahwa program pembelajaran siswa itu harus dimulai
dengan perumusan tujuan, bahkan menurutnya, kurikulum itu harus dianalisis
benar, apakah tujuannya itu bisa tercapai oleh sekolah, berapa lama bisa
dicapai, dan bagaimana susunannya sekwensi bahan-bahannya (Doll, 1964:22)
Pandangan tersebut nampak
sejalan dengan rumusan yang dikemukakan Taba dan Gagne, hanya saja Doll melihat
bahwa lingkungan sekolah serta pengalaman-pengalaman lain yang ditawarkan
sekolah pada siswa termasuk dalam kategori kurikulum yang harus menjadi wilayah
kajian evaluatif dalam proses perbaikan dan pengembangan sekolah.
Akan tetapi, lingkungan,
kultur dan berbagai kebijakan sekolah, walaupun diakui memiliki pengaruh
terhadap perubahan siswa, namun diakui
memiliki pengaruh terhadap perubahan siswa, namun proses mempengaruhi
perkembangan kepribadian siswanya terjadi secara tidak langsung, dan
dikembangkan bukan sebagai bahan ajar untuk membentuk prilaku siswa tapi semata
sebagai sebuah pekerjaan, sikap, kebijakan dan penataan lingkungan dengan kepentingan masing-masing,
namun memiliki pengaruh bermakna terhadap perkembangan siswa. Oleh sebab
itulah, Allan A.Glatthorn menyebutnya sebagai The hidden Curriculum (kurikulum
terselebung), yakni kurikulum yang tidak menjadi bagian untuk dipelajari, yang
secara lebih definitive digambarkan sebagai berbagai aspek dari sekolah di luar
kurikulum yang dipelajari, namun mampu memberikan pengaruh dalam perubahan
nilai, persepsi dan prilaku siswa (Glatthorn, 1987:20). Kebiasaan sekolah
menerapkan disiplin terhadap siswanya seperti ketetapan guru memulai pelajaran,
kemampuan dan cara-cara guru menguasai kelas, kebiasaan guru memperlakukan
mereka yang melakukan kenakalan didalam kelas, semuanya itu merupakan
pengalaman-pengalaman yang dapat mengubah cara berpikir dan perilaku siswa.
Demikian pula dengan lingkungan sekolah yang teratur, rapi, tertib dan mampu
menjaga lingkungan yang bersih serta asri, merupakan pemgalaman yang dapat
mempengaruhi kultur siswa. Itulah intinya hidden
curriculum sebagaimana dikemukakan diatas.
Selain itu menurut pandangan progresivisme mengenai belajar bertumpu
pada pandangan mengenai anak didik sebagai makhluk-makhluk lain. Disamping itu
menjadi menipisnya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat menjadi
landasan pengembangan ide-ide pendidikan progresivisme.
Sebagai makhluk anak didik
mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan kelebihan
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan sifatnya yang dinamis dan
kreatif menghadapi dan memecahkan problema-problema. Sehubungan dengan ini
usaha untuk meningkatkan kecerdasan adalah tugas utama dalam pendidikan.
Sebagai makhluk, anak didik
hendaklah dipandang tidak hanya sebagai kesatuan jasmani dan rohani saja,
melainkan manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam
pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu difungsikan dalam
arti anak didik berada aktif dalam dan memanfaatkan sepenuh-penuhnya
lingkungannya. Ia perlu mendapat kesempatan yang cukup, untuk dan bebas dan
sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung
disekitarnya. Hal ini terutama mengenai kejadian-kejadian dalam lapangan
kebudayaan.
Agar sekolah dapat berfungsi
wajar perlu memberi kesempatan seperti yang diharapkan diatas. Maka dari itu
gagasan atau kenyataan yang menunjukkan adanya dinding pemisah antara sekolah
dan masyarakat perlu dihapuskan. Sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik
dalam bentuk kecil, sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan
masyarakat, perlu dilakukan secara teratur sebagai halnya dalam lingkungan
sekolah.
Hal yang penting sehubungan
dengan uraian diatas, adalah bahwa anak didik dapat menghayati belajar yang
edukatif, dan bukan yang misedukatif. Yang pertama adalah belajar, yang secara
bijaksana ditujukan untuk mencapai hasil-hasil yang secara konstruktif, yang
nilainya dan syarat-syaratnya ditentukan berdasarkan konsepsi tentang hidup
yang baik dan kebudayaan sebagaimana yang dikehendaki oleh suatu negara atau
bangsa. Sedangkan yang kedua ialah belajar yang misedukatif, adalah yang
ditentukan oleh nilai-nilai yang kurang mendorong kearah perkembangan yang
dinamis, yang mungkin mengandung unsur-unsur yang saling berlawanan. Dengan
demikian pendidikan itu tidak lain adalah hidup itu sendiri.[2]
Sikap progresivisme yang memandang segala sesuatu berasaskan
fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin dalam
pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat
eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur.
. Oleh karena tiada standar
yang universal, maka terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan akan
adanya peninjauan dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka
kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan
sifat-sifat dan kebutuhannya msing-masing.. Oleh karena sifat kurikulum yang
tidak beku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum
yang berpusat pada pengalaman. Selain jenis ini, menurt progresivisme yang dapat dipandang maju adalah tipe yang disebut
“Core Curriculum” ialah sejumlah pengalaman belajajr disekitar kebutuhan umum.
Core Curriculum maupun
kurikulum yang bersendikan pengalaman perlu disusun dengan teratur dan
terencana. Kualifikasi semacam ini diperlukan agar pendidikan dapat mempunyai
proses sesuai dengan tujuan. Maka, jelaslah bahwa lingkungan dan pengalaman
yang diperlukan dan yang dapat menunjang pendidikan ialah yang dapat diciptakan
dan ditujukan kearah yang telah ditentukan. Kurikulum yang memenuhi tuntutan
ini diantaranya adalah yang disusun atas dasar teori dan metode proyek, yang
telah diciptakan oleh William Heard Kilpatrick.
B. Demokrasi Dan Desentralisasi Pendidikan
Sistem pendidikan yang demokratis memberikan ruang yang lebih besar
kepada lembaga penyelenggara pendidikan masyarakat untuk berperan dengan lebih
nyata. Demokratisasi pendidikan memungkinkan terbukanya peluang yang
seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Konsep demokratisasi pendidikan
ini memberikan ruang publik yang cukup luas, sehingga masyarakat dapat
mengambil peranan aktif dalam penyelenggaraan pendidikan.
Masyarakat menjadi subyek yang aktif dalam keseluruhan sistem pendidikan
dengan ikut menentukan arah dan kebijakan, merumuskan strategi, sasaran dan
tujuan pendidikan serta ikut terlibat aktif dalam implementasi. Demokratisasi
pendidikan merefleksikan pengakuan adanya potensi dan kekuatan masyarakat yang
dapat memperkuat pendidikan.[3]
Paradigma demokratisasi dan desentralisasi pendidikan antara lain
diformulasikan dalam konsep manajemen berbasis sekolah (MBS), pendidikan
berbasisi masyarakat (PBM), dan otonomi perguruan tinggi. Tujuannya untuk
memperluas kesempatan pendidikan bagi masyarakat dan meningkatkan efisiensi,
efektifitas, dan mutu pendidikan. Hal lain yang juga prinsipiil dan fundamental
adalah untuk melakukan penguatan lembaga-lembaga sosial yang berkaitan langsung
dengan penyelenggaraan pendidikan baik didaerah maupun disekolah.[4]
Demokratisasi pendidikan menjadi kian relevan untuk menjawab tuntutan
desentralisasi dan otonomi daerah. Seperti halnya desentralisasi dan otonomi
dibidang administrasi pemerintahan, sebagian besar kewenangan penyelenggaraan
pendidikan bergeser dari pusat ke daerah, bahkan bergeser ke institusi
pelaksana pendidikan.
Sebagaimana diakui, semakin banyak pakar tentang demokrasi pada level
internasional, cara paling strategis untuk mengalami demokrasi melalui apa yang
disebut sebagai “democracy education”. Pendidikan demokrasi singkatnya secara
substantive menyangkut sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi konsep, system,
nilai , budaya, dan praktek demokrasi melaui pendidikan.
Pendidikan demokrasi tidak hanya urgen bagi negara-negara yang sedang
berada dalam transisi menuju demokrasi seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara
yang sudah mapan demokrasinya. Kenyataan inilah yang terlihat misalnya dari
terbentuknya”civitas” internasional pada Juni 1995 di Praha. Dihadiri tidak
kurang dari 450 pemuka pendidikan demokrasi dari 52 negara, para peserta
sepakat membentuk Civitas Internasional yang menyimpulkan pentingnya pendidikan
demokrasi bagi pertumbuhan civic culture untuk keberhasilan pengembangan dan
pemeliharaan pemerintah demokratis.[5]
Pendidikan demokratis dalam
banyak hal identik dengan pendidikan kewargaan (civic education). Tetapi, juga
jelas bahwa pendidikan kewargaan lebih luas cakupannya dari sekedar pendidikan
demokrasi. Hal ini tercermin jelas dari rumusan Civitas Internasional, bahwa
pendidikan kewargaan yang efektif mencakup:
- Pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya
- Pemahaman tentang “rule of law” dan HAM seperti tercermin dalam rumusan-rumusan perjanjian dan kesepekatan internasionaldan local
- Kekuatan keterampilan partisipatif yang akan memberdayakan peserta didik untuk merespon dan memecahkan masalah-masalah masyarakat mereka secara demokratis
- Pengembangan budaya demokratis dan perdamaian pada lembaga-lembaga pendidikan dan seluruh aspek kehidupan masyarakat.[6]
[1] Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan
Demokratis “Sebuah Model Perlibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pendidikan” , Januari 2004: Kencana. Edisi I
[2] Mansour, Fakih. 2001. Pendidikan Popular
Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Read Books, cet I, hlm, 36.
[3] Syarief, H. Desentralisasi Pendidikan dan Otonomi Daerah. Disajikan dalam
Rapat Koordinasi Terbatas Gubernur Propinsi Seluruh Indonesia. Jakarta, 9
Januari 2001. hlm. 59
[4] Ibid, hlm.60
[6] Ubaidillah, A. et al. 2000. Pendidikan Kewargaan (Civic Education):
Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani. Jakarta Press. Hlm. 242
Tidak ada komentar:
Posting Komentar