KONSTRUKTIVIME PEMBELAJARAN,
PRINSIP DASAR DAN KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
Oleh : Aprudin, S.Pd.I
A. Pengertian
Konstruktivisme Pembelajaran
Konstrutivis;
construtivism dalam bahasa inggris berasal dari kata construct yang berarti
membina. Konstrutivisme ialah teori yang bertunjangkan usaha pelajar mengaitkan
ide lama dengan ide baru dalam pembinaan ilmu pengetahuan (Ausubel dalam Sadia,
1996). Teori ini pertama kali diperkenalkan dalam konteks pendidikan dan
perkembangan anak-anak oleh Piaget dan john dewey (1930-1940 an).
Konstruktivis atau
kontruktivisme merupakan suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengatahuan kita adalah sebuah konstruksi atau bentukan diri kita sendiri. Dan
menurut piaget (1971), pembentukan atau konstruksi ini tak pernah mencapai
suatu titik akhir namun terus berkembang setiap kali diadakannya reorganisasi
karena adanya suatu pemahaman baru
Donald R. (2006: 255) mengutip
beberapa pendapat mengenai konstruktivisme sebagai berikut:
Constructivism is defined as teaching that emphasizes the active role of
the learner in building understanding and making sense of information
(Woolfolk, 2003),; learners construction of knowledge as they attempt to make
sense of their environment (McCown, driscoll & Roop, 1995); and learning
that occurs when learners actively engage in a situation that involves
collaboratively formulating questions, explaining phenomenon, addressing
complex issues, or solving problems (Gagnon & Colley, 2001).
Konstruktivisme
didefinisikan sebagai pengajaran yang menekankan peran aktif pembelajar dalam
membangun pemahaman dan membuat makna terhadap informasi (Woolfolk, 2003),;
para pembelajar konsrtruksi ilmu pengetahuan saat mereka berusaha untuk
memberikan makna terhadap lingkungan mereka;dan pembelajaran yang
terjadi ketika para pembelajar secara aktif terlibat di dalam situasi yang
secara kolaboratif meliputi merumuskan masalah, menjelaskan penomena,
mengemukakan isu-isu yang kompleks, atau memecahkan masalah (Gagnon &
Colley, 2001).
Dengan
demikian, Donald mengemukana bahwa “Constructivism is a way of teaching and
learning that intends to maximize student understanding”. Maksudnya,
kontruktivisme adalah suatu cara dalam pengajaran dan pembelajaran yang tujuannya
adalah untuk memaksimalkan pemahaman siswa
Konstruktivis
model pembelajaran ialah desain pembelajaran yang menekankan kemampuan peserta
didik dalam mengkonstruksi pengatahuannya sendiri, bukan serta merta pendidik
yang selalu menjadi senter penerang di kala gelap melanda.(Aunurrahman,2009),
namun disinilah setiap peserta didik secara individual harus dan layak memiliki
kemampuan untuk memperdayakan fungsi-fungsi psikis dan mental yang dimilikinya
yaitu kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman yang lalu,
membandingkan dan mengambil sebuah keputusan dan kemampuan yang lebih menyukai
satu dari yang lainnya.
Menurut
Dina Gasong , Pembentukan pengetahuan konstruktivistik memandang bahwa
subyeklah yang aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya
dengan lingkungan. Dengan adanya bantuan struktur kognitif ini, subjek akan
mampu menyusun pengertian realitasnya. Struktur kognitif senantiasa harus
diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang
berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses
rekonstruksi. Hal ini jelas mensyaratkan bahwa pengetahuan itu merupakan suatu
konstruksi diri.
Prinsip dasar yang mendasari
filsafat konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan dikonstruksikan
(dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera (pemciuman,
penglihatan, perabaan,…). Seperti dikatakan oleh Von Glasersfeld (dalam Paul,
S., 1996), salah satu pendiri gerakan konstruktivis, bahwa konstruktivisme
berakar pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu
didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak
memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan
pengalamannya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman kita
sendiri, dan oleh karenanya bersifat subjektif (Muijs dan Reynolds, 2008:96).
Lebih lanjut Von Galserfeld
(dalam Paul, S., 1996) sebagaimana dikutif oleh Asri Budiningsih (2005:57)
mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses
mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan
kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan
kesamaan dan perbedaan dan 3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengetahuan
yang satu daripada yang lainnya.
Setara dengan di atas, Budingsih
juga mengemukakan bahwa faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses
mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah
ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses
dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi
pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang
baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan.
keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi
pengetahuannya akan hal tersebut. pengetahuan yang telah dimiliki orang
tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dirinya.
Semua kalangan dari paham
konstruktivis menyetujui bahwa pengetahuan secara aktif dikonstruksi oleh
manusia, entah secara individual ataupun dalam kelompok, bukannya diterima dari
sumber natural atau supranatural (atau bahkan dari seorang professor; Philips
1995). Selain ini, definisi kontruktivisme beragam menurut permasalahan yang
diperdebatkan bersama dengan perubahan konstruktivis. Bidang perdebatan yang
paling dasar dipresentasikan oleh suatu rangkaian dalam memandang belajar
sebagai suatu tindakan instruksi secara individual untuk melihat belajar
sebagai sebuah kontruksi sosial. Rangkaian ini dipusatkan pada satu posisi yang
dikenal sebagai konstruktivisme radikal atau psikologikal, yang menggambarkan
konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses yang terjadi dalam mind dari
individu. Pada sisi lain dari rangkaian tersebut diberlakukan dengan posisi
yang dikenal sebagai “social constructivism or sociocultural posistion”
yang melihat “mind” sebagai hampir secara keseluruhan melekat pada social
practice of the culture (kenyataan sosial budaya) (Robert, 2004: xiii)
Dengan demikian, kontruktivisme
seperti dikatakan oleh Von Glasefeld adalah salah satu filsafat pengetahuan
yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita sendiri.
pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan
merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui melalui kegiatan seseorang
dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan sekma yang diperlukan untuk
membentuk pengetahuan baru. Padangan kontruktivistik mengemukakan bahwa
realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi pengalamnnya.
konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang
mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamnnya, struktur mental, dan keyakinan
yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa.
Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran dalah instrumen penting dalam
menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan dunia nyata, di mana
interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Dalam kontruktivis menyatakan bahwa semua
pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka mereka
menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain bahkan
secara prinsipil
B. Definisi
Belajar Menurut Pandangan Konstruktivisme
Konstruktivisme sebagai
payungnya teori-teori belajar yang ada, mempunyai definisi mengenai belajar yang
sangat fundamental, yaitu sebagai berikut:
Pertama,
belajar dalam pandangan konstruktivisme merupakan proses pengkonstruksian
pengetahuan oleh individu pebelajar sebagai pemberian makna atas data sensori
dalam hubungannya dengan pengetahuan sebelumnya (prior knowlegde). Kedua, belajar meruapakan proses
pembentukan makna secara aktif oleh pebelajar dengan menggunakan pengetahuan
yang telah dimiliki sebelumnya dan masukan-masukan sensori baru serta pembuatan
hubungan-hubungan dalam pembentukan makna. Jadi, sebagai modifikasi ide-ide
pebelajar yang telah ada atau sebagai pengembang konsespsi siswa, Ross Tasker,
1992.
Ketiga,
belajar merupakan proses pembentukan pengertian terhadap pengalaman-pengalaman
dalam hubungannya dengan pengetahuan sebelumnya, tabin 1990. Menurut Arends, R.
I. (1997), pembelajaran atau belajar secara konstruktivisme ini boleh
didefinisikan sebagai satu fahaman bahwa murid membina sendiri pengetahuan atau
konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sedia ada.
C. Prinsip
Dasar dan Karakteristik Pembelajaran
Konstruktivism
1. Prinsip Dasar Pembelajaran
Konstruktivisme
Belajar merupakan
proses konstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental peserta
didik secar aktif, dan juga merupakan proses asimilasi dan menghubungkan bahan
yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang sehingga
pengetahuannya mengenai objek tertentu menjadi lebih kokoh. Semua pelajar benar-benar mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya
sendiri, dan bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap oleh murid. Ini
berarti bahwa setiap murid akan mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan
pelajaran yang diberikan (Muijs dan Reynolds, 2008:97). Selanjutnya Muijs dan Reynolds
mengemukakan bahwa murid adalah konstruktor pengetahuan aktif yang
memiliki sejumlah konsekuensi yaitu :
1.
Belajar selalu
merupakan sebuah proses aktif. Pelajar secara aktif mengkonstrukikan belajarnya
daru berbagai macam input yang diterimanya. Ini menyiratkan bahwa belajar harus
bersikap aktif agar dapat belajar secara efektif. belajar adalah tentang
membantu murid untuk mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan tentang
“mendapatkan jawaban yang benar” karena dengan cara seperti ini murid dilatih
untuk mendapatkan jawaban yang benar tanpa benar-benar memahami konsepnya.
2. Anak-anak
belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif (konflik
dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi dan
metakognisi (Beyer, 1985)
3.
Bagi
konstruktivis, belajar adalah pencarian makna. murid secara aktif berusaha
mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, guru mestinya berusaha mengkonstruksi
berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide besar eksplorasi yang memungkinkan
murid untuk mengkonstruksi makna
4.
Konstruksi
pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata. Belajar juga
dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman sebaya, guru,
orang tua, dan sebagainya. Dengan demikian yang terbaik adalah
mengkonstruksikan siatuasi belajar secara sosial, dengan mendorong kerja dan
diskusi kelompok
5.
Elemen lain
yang berakar pada fakta bahwa murid secara individual dan kolektif
mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif guru harus memiliki pengetahuan
yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehinggga mereka dapat
menilai secara akurat belajar seperti apa yang dapat terjadi
6. Di samping itu,
belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta secara
abstrak, tetapi sealalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita ketahui.
7.
Belajar secara
betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara menyeluruh,
dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang kita pelajari dan bukan
dengan cepat pindah satu topik ke topik lain. Murid hanya dapat
mengkonstruksikan makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan hanya
bagian-bagiannya
8.
Mengajar adalah
tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar untuk menemukakan dan
melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman realistis. Ini akan
menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan pemahaman yang lebih dalam
dibandingkan dengan memorisasi permukaan yang sering menjadi ciri pendekatan-pendekatan
mengajar lainnya (Von Glaserfelt, 1989). Ini juga membuat kaum konstruktivis
percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on daripada tekxbook
Suparno (1997)
mengidentifikasi 3 prinsip kontruktivis dalam belajar yakni sebagai berikut; (1)
pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun sosial, (2)
pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pengajar kepada pebelajar, kecuali
dengan keaktifan siswa itu sendiri untuk menalar, (3) pengajar sekedar membantu
pebelajar dengan menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi
pebelajar berlangsung secara efektif dan efisien.
Sedangkan Jacqueline Grennon Brooks dan Martin G.
Brooks dalam The case for constructivist classrooms. (1993) menawarkan
lima prinsip kunci konstruktivist teori belajar. Anda dapat menggunakan mereka
untuk membimbing/memandu pada kajian struktur kurikulum dan perencanaan
pelajaran. Menurutnya terdapat lima panduan prinsip konstruktivisme:
Prinsip 1: Permasalahan yang muncul
sebagai hal yang relevan dengan siswa
Dalam banyak contoh,
masalah style Anda mengajar mungkin akan menjadi relevan dengan selera untuk
para siswa, dan mereka akan mendekatinya, merasakan keterkaitannya kepada
kehidupan mereka.
Prinsip 2: Struktur belajar di
sekitar konsep-konsep utama
Mendorong
para siswa untuk membuat makna dari bagian-bagian yang menyeluruh/utuh ke dalam
bagian-bagian yang terpisah-pisah. Hindari mulai dengan bagian-bagian dahulu
untuk membangun kemudian sesuatu yang "menyeluruh/utuh."
Prinsip 3: Carikan dan hargai poin-poin
pandangan siswa sebagai jendela memberi alasan mereka.
Tantangan
gagasan dan pencarian elaborasi yang tepat ditangkap siswa, sering mengancam
banyak siswa. Maksudnya adalah bahwa sering para siswa di dalam kelas yang
secara tradisional mereka tidak bisa menduga serta menghubungkan apa yang guru
maksudkan untuk jawaban yang benar dan cepat, agar ia tidak berada di luar
topik dari diskusi kelas yang diadakan. Mereka harus betul-betul
"masuk" dan ”sibuk” ikut mengkaji tugas-tugas dalam belajar sebagai
konstruktivis lingkungan melalui petanyaan-peranyaan, sanggahan, ataupun
jawaban yang diajukan.
Para
siswa juga harus mempunyai suatu kesempatan untuk mengelaborasi merinci dan
menjelaskan. Kadang-kadang, perasaan anda terlibat dalam, atau apa yang siswa pikirkan
dan kemukakan mereka bukanlah hal yang penting. Hal ini adaah anggapan yang
keiru, karena itu jika siswa memulai dengan konsep yang tidak/kurang jelas maka
dapat dilacak dengan peranyaan-peranyaan seperti; “mengapa”?, dan “bagaimana”?.
Gunakan jawaban siswa itu untuk mengarah kepada adanya evidesi-evidensi yang
kuat sehingga dapa mengokohkan vaiditas jawaban siswa tersebut. Sebab dalam
belajar konstruktivisme pengetahuan menuntut tidak hanya waktu untuk
mencerminkan atau menguaraikan tetapi juga untuk waktu praktik menjelaskan.
Dengan
demikian kedudukan dan peranan demonstarsi, siswa tidak hanya dituntut dalam
pengembangan fluency-nya saja melainkan terhindar dari situasi dan kondisi yang
dapat menimbulkan verbalisme.
Prinsip 4. Sesuaikan pembelajaran
dengan perkiraan menuju pengembangan siswa.
Memperkenalkan
topik kajian pengembangan dengan tepat atau sesuai, adalah suatu awal yang baik
untuk dapat dipahami pengembangan konsep berikutnya
Prinsip 5; Nilai hasil belajar
siswa dalam konteks pembelajaran.
Geser/ubah
peniaian itu harus benar-benar sedang menilai apa yang benar-benar sedang
terjadi saat penilaian itu. Berlangsung, dan jangan sekali-kai menilai itu
dalam kebiasaan skor yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu. Ekspresi
Anda bisa bervariasi, kadang-kadang optimis, periang, namun sesekali bisa
esimis, sedih, maupun marah. Namun peru diingat marahnya seorang guru dalam
kerangka sedang mendidik, dalam konteks pembelajaran, bukan marah
mengekspresikan kekesalan. Begitu juga ketika Anda memberikan bantuan pada
seseorang atau beberapa siswa, bantuan Anda lakukan benar-benar dalam kerangka
mendidik, bukan sedang menyintai seseorang, atau agar mendapat simpatik dari
seorang siswi yang cantik.
Di
siniah perlunaya authentic assessment yakni suatu penilaian yang betul-betul
menilai apa yang terjadi sesungguhnya secara alami, tidak diwarnai oleh
preseden penilaian sebelumnya, melainkan suatu assessment di suatu konteks yang
penuh arti ketika berhubungan dengan permasalahan dan perhatian asli yang dihadapi
oleh para siswa.
Kedua prinsip
di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam
proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Dalam kaitannya dengan ini, Funston (1996) lebih spesifik mengatakan
bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari
kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari
suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi
proses belajar tersebut.
Berdasarkan uraian
diatas maka secara umum ada empat prinsip dasar konstruktivisme dalam
pembelajaran :
1) Pengetahuan terdiri atas konstruksi masa
silam, memberikan arti bahwa manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang dunia
melalui suatu kerangka logis yang mentransformasi, mengorganisasi dan
menginterpretasikan pengalamnnya.
2) Pengkonstruksian pengetahuan terjadi
melalui proses asimilasi dan akomodasi. Manusia menggunakan asimilasi sebagai
suatu kerangka logis dalam menginterpretasikan informasi baru dan dengan
akomodasi dalam memecahkan kontradiksi-kontradiksi sebagai bagian dari proses
regulasi diri yang lebih luas.
3)
Belajar merupakan suatu proses organic
penemuan lebih dari proses mekanik yang akumulatif. Penganut konstruktivisme
menganut posisi bahw abelajar harus meperoleh pengalaman berhipotesis,
memprediksi, memanipulasi objek berimajinasi dan melakukan penemuan dalam upaya
mengembangkan struktur kognitif.
4)
Mengacu pada mekanisme yang memungkinkan
terjadinya perkembangan struktur kognitif. Belajar bermakna, akan terjadi
melalui proses refleksi dan resolusi konflik.
Implikasi prinsip-prinsip belajar tersebut dalam
proses pembelajaran diantaranya bahwa mengajar bukanlah kegiatan memindahkan
pengetahuan dari pembelajar kepada pebelajar, melainkan suatu kegiatan yang
memungkinkan pebelajar membangun sendiri pengetahuannya sendiri, mengajar
berarti berpartisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat
makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Dasar
pemikiran seperti ini menjadikan teori konstruktivistik sebagai landasan
teori-teori belajar yang pernah ada, seperti teoru perubahan konsep, teori
belajar bermakna dan teori skema. Dari penjelasan ini tergambar bahwa
konstruktivisme merupakan teori yang berlandaskan pada pembelajaran siswa dalam
membentuk pengetahuannya sendiri dan guru sebagai mediator dan fasilitator yang
relevan. Berdasarkan hal ini, terdapat beberapa prinsip yang menjadi foundation
dalam constructivistic learning :
- Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif
- Tekanan proses belajar terletak pada siswa
- Mengajar adalah membantu siswa belajar
- Penekanan dalam prpses belajar lebih kepada proses bukan hasil akhir
- Kurikulum menekankan partisipasi siswa
- Guru adalah fasilitator.
Oleh karena itu, paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi
yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuam awal
tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Untuk
itu, guru dituntut untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam
belajar. guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah
yang sama dan sesuai dengan kemampuannya
b 2. Karakteristik Pembelajaran Konstruktivisme
Karakteristik
belajar dengan pendekatan konstruktivisme menurut Slavin (1997) ada 4 yaitu :
- Proses Top-Down, yang berarti bahwa siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) ketrampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan. Sebagai contoh siswa dapat diminta untuk menuliskan suatu susunan kalimat, dan baru kemudian belajar tentang mengeja, tata bahasa, dan tanda baca.
- Pembelajaran kooperatif yaitu siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temanya.
- Generative learning (pembelajaran generatif) yaitu belajar itu ditemukan meskipun apabila kita menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka harus melakukan operasi mental dengan informasi itu untuk membuat informasi masuk kedalam pemahaman mereka.
- Pembelajaran dengan penemuan yaitu, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang mmungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri
Sumber :
Budiningsih, Asri C. (2005). Belajar
Dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Kontruktivisme Dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Sadia,
dkk. (1996). Pengaruh Prior Knowledge dan Strategi Conseptual Change Dalam Pembelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolah Menengah Pertama (SMP). Laporan Penelitian
Basic Science.
Muijs, Daniel, dan Reynolds
David. (2008). Effective Teaching, Teori dan Praktek
(terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Slavin,
Robert E. 2000. Educational Psycology: Theory and Practice. USA:Allyn Bacon
Brooks, JG., Brooks, MG. (1993). In search of understanding the case for
constructivist classroom. Alexandria: Association for Supervision
Curriculum development
Sekian tulisan saya mengenai Konstruktivisme Pembelajaran, Insyaalah lain waktu di tambah lagi.
Salam Sukses buat semua Pembaca Blog ini.
"Se atreven a hacer el bien"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar