A.
Sejarah Pemikiran Sekuler
Sekuler berintikan pemisahan antara agama
dengan kehidupan, dan pemisahan agama dari negara. Juga bahwasanya agama hanya
sekedar hubungan antara individu dengan Penciptanya saja.[1]
Kelahiran sekulerisme ini bermula pada
saat kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia menjadikan agama sebagai alat
untuk memeras, menganiaya dan menghisap darah rakyat. Para
pemuka agama, waktu itu, dijadikan perisai untuk mencapai keinginan mereka.
Maka timbulah pergolakan sengit, yang kemudian membawa kebangkitan bagi para
filosof dan cendekiawan. Sebagian mereka mengingkari adanya agama secara
mutlak. Sedangkan yang lainnya mengakui adanya agama, tetapi menyerukan agar
dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai akhirnya pendapat mayoritas dari
kalangan filosof dan cendekiawan itu lebih cenderung memilih ide yang
memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian menghasilkan usaha pemisahan
antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat untuk tidak
mempermasalahkan agama, dilihat dari segi apakah diakui atau ditolak. Sebab,
yang menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan.
Maka dalam pendidikan barat tidak melibatkan
agama lebih dalam dalam kecuali hanya pada porsinya yaitu terkait individu
dengan penciptanya. Berikut pandangan bagaimana para ilmuan Barat menganggap
agama sebagai sesuatu yang sepele. Ludwig Feurbach (1804-1872), murid kepada
Hegel dan seorang teolog, merupakan salah seorang pelopor faham ateisme di abad
modern. Feurbach, seorang teolog, menegaskan prinsip filsafat yang paling
tinggi adalah manusia. Sekalipun agama atau teologi menyangkal, namun
pada hakikatnya, agamalah yang menyembah manusia (religion that worships
man). Agama Kristen sendiri yang menyatakan Tuhan adalah manusia dan
manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama akan
menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dari teologi adalah
antropologi (The true sense of Theology is Anthropology). Agama adalah
mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind).
Terpengaruh dengan karya Feurbach, Karl Marx
berpendapat agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa
hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu
rakyat. Dalam pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor
primernya adalah ekonomi
Auguste Comte, penemu istilah sosiologi,
memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat.
Dalam pandangan Comte, masyarakat berkembang melalui tiga fase teoritis;
pertama, fase teologis, bisa juga disebut sebagai fase fiktif. Kedua, fase
metafisik, bisa juga disebut sebagai fase abstrak. Ketiga, fase saintifik, bisa
juga disebut sebagai fase positif. Kharasteristik dari setiap fase itu
bertentangan antara satu dengan yang lain. Dalam fase teologis, akal manusia
menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan ghaib. Dalam fase metafisik, akal
manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak, atau
entitas–entitas yang nyata, yang menggantikan kekuatan ghaib. Dalam fase
positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang
mutlak. Pendapat Comte, yang menolak agama, diikuti oleh para sosiolog yang
lain seperti Emile Durkheim dan Herbert
Spencer. Agama, tegas Spencer, bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit
di dunia lain.
Pemikiran ateistik ikut bergema dalam disiplin
psikologi. Sigmund Freud, seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-doktrin
agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai realitas dunia. Bukan agama,
tetapi hanya karya ilmiah, satu-satunya jalan untuk membimbing ke arah ilmu
pengetahuan.
Disamping itu tolak ukur kebahagian menurut
sekuler bahwasanya kebahagiaan itu adalah dengan memperoleh sebesar-besarnya
kesenangan yang bersifat jasmaniah. Ideologi kapitalisme sekuler juga
sependapat dalam memberikan kebebasan pribadi bagi manusia, bebas berbuat
semaunya menurut apa yang diinginkannya selama ia melihat dalam perbuatannya
itu terdapat kebahagiaan. Maka dari itu tingkah laku atau kebebasan pribadi
merupakan sesuatu yang diagung-agungkan oleh ideologi ini.
B.
Paradigma Pendidikan Sekuler
Sebagaimana halnya dengan ideologi-ideologi
yang lain, ideologi sekuler memiliki pemikiran dan metode untuk semua aspek
kehidupan manusia, termasuk dalam sistem pendidikan. Ideologi
sekuler-kapitalisme juga menjadikan sistem pendidikan sebagai salah satu sarana
untuk mentransfer pemikiran-pemikiran mereka ke masyarakat dan mencetak para
pengemban-pengemban baru ideologi ini.
Bahkan lebih dari itu, bila dilihat dari
sejarah awal ideologi ini, akan terlihat pentingnya peranan dunia pendidikan
bagi ideologi sekuler-kapitalisme. Pemikiran-pemikiran awal ideologi sekuler
muncul dalam benak kaum pemikir dan intelektual abad pertengahan Eropa.
Penindasan dan pengekangan pemikiran yang dilakukan institusi gereja di abad
pertengahan menyebakan lahirnya pemikiran-pemikiran tandingan dari kaum
intelektual Eropa yang berupa konsep kebebasan.
Perkembangan di Eropa, sebagai akibat kuatnya
kaum menengah dan kaum intelektual, kemudian melahirkan revolusi industri, yang
memunculkan kelompok berkuasa yang baru, yaitu para pemilik modal dan para
pengusaha. Semenjak itulah, ideologi sekulerisme menjadi lebih dominan pada
sektor ekonominya, dan lebih sering disebut sebagai ideologi kapitalisme.
Walaupun begitu, peran penting para cendekiawan dan intelektual masih sangat
kuat, karena mereka menjadi motor penggerak pemikiran-pemikiran ideologi ini,
serta menjadi penjaga bagi keberlangsungan ideologi ini.
Sinergi antara para intelektual dan para
pemilik modal, menjadi bentuk sinergi baru mirip seperti sinergi para gerejawan
dan raja sebelumnya. Para intelektual
merupakan ujung tombak dalam perang pemikiran yang dikobarkan ideologi ini
dalam menghadapi pemikiran-pemikiran ideologi lawan, seperti ketika akan
menjajah suatu negara yang mungkin di dalamnya terdapat suatu ideologi baik
diemban oleh negara tersebut ataupun diemban oleh sebagian masyarakatnya, ataupun
ketika berusaha mendominasi percaturan politik dunia.
Pemikiran-pemikiran ideologi
sekuler-kapitalisme didasarkan pada ide dasar pemisahan agama dari kehidupan,
sehingga kehidupan pun kemudian diatur berdasarkan pada pemikiran manusia.
Dalam hal pengaturan kehidupan yang menjadi asasnya adalah asas manfaat
sedangkan tujuannya adalah mencapai kebahagian/ kesejahteraan material
semaksimal mungkin. Untuk mencapai tujuannya, terdapat beberapa konsep-konsep
yang hendak diwujudkan dan dijaga, demi tetap terjaganya sekulerisme.
Konsep-konsep ini berintikan pada konsep kebebasan, yaitu: konsep kebebasan
kepemilikan, kebebasan berpendapat/berekspresi, kebebasan beragama/
berkeyakinan, dan kebebasan bertingkahlaku.
Pemikiran ideologi sekuler kapitalisme dalam
sistem pendidikan berlandaskan pada konsep-konsep serta asas-asas di atas.
Dalam pendidikan sekular, agama dianggap hanya sebagai salah satu mata
pelajaran, bukan dasar untuk semua ilmu yang dipelajari.[2] Dunia pendidikan difungsikan sebagai
penopang bagi mesin industri kapitalisme, sehingga tujuan dari pendidikan dalam
ideologi ini adalah untuk mencetak individu-individu yang profesional yang
dapat mendukung keberlangsungan industri-industri mereka, intinya adalah
mencetak para pekerja yang baik.
Karena itu terkadang negara diharuskan ikut
mendukung bahkan mungkin juga total mendanai masalah pendidikan. Hal ini karena
pendidikan dipandang sebagai investasi, dan dengan menggunakan negara maka
biaya investasi untuk mencetak pekerja-pekerja yang tangguh bagi mesin industri
kapitalis, akhirnya ditanggung oleh masyarakat melalui pajak. Bentuk pendanaan
oleh negara dalam dunia pendidikan ternyata bervariasi antara satu negara barat
dengan negara yang lainnya. Negara seperti Jerman dan Austria, yang menerapkan sosialisme
negara, mendanai seluruh sistem pendidikannya, dari tingkat rendah sampai
perguruan tinggi. Sedangkan negara seperti USA, mendanani hampir keseluruhan
pendidikan rendah sampai menengah, dan sebagian pendidikan tinggi. Jadi
bukanlah tabu bagi negara, dalam ideologi kapitalisme, untuk ikut mendanai
biaya pendidikan.
Untuk menjaga kebebasan berpendapat/
berkespresi, maka peran dan campur tangan negara dalam masalah sistem
pendidikan, harus sangat minimal, terutama dari segi kurikulum. Sebab bila
tidak dikhawatirkan akan membatasi berkembangnya pemikiran-pemikiran atau
pendapat-pendapat tertentu, lalu pemikiran dan pendapat yang sejalan dengan
pemerintahlah yang akan dikembangkan, baik dalam dunia akademik, maupun di
masyarakat.
Untuk menjaga kebebasan berpendapat/
berekspresi ini, maka institusi pendidikan haruslah semaksimal mungkin, mandiri
dan otonom, dalam pendanaan maupun dalam pembuatan kurikulum/ materi ajar.
Sehingga terkadang di suatu negera bentuk sistem pendidikannya tidaklah
terstruktur rapi di bawah kendali negara. Seperti misalnya di USA, sistem pendidikan yang terstruktur tidak
tampak dalam level pemerintah federal, tetapi hanya ada pada level pemerintah
negara bagian, maupun pemerintahan lokal (distrik atau kota). Banyak badan-badan sertifikasi sekolah
maupun sertifikasi guru yang tidak terkait langsung dengan struktur pemerintah.
Penanaman ideologi sekuler-kapitalisme
kebanyakan tidak dilakukan secara langsung melalui kurikulum tetapi melalui
materi pendidikan lewat para pendidik maupun lewat pendapat-pendapat para
cendekiawan mereka yang mengembangkan pemikiran-pemikiran ini, kepada para
peserta didik, khususnya di tingkat menegah ke atas, maupun ke masyarakat umum
melalui media massa. Cara yang paling sering dipakai dalam dunia pendidikan
adalah fakta sejarah bangsa Barat, ketika di masa penindasan gereja
dibandingkan dengan masa reinaissance.
Untuk menjaga kebebasan kepemilikan, maka siapa
saja, berhak dan boleh membuat institusi pendidikan, termasuk pemerintah, dan
juga kalangan agamawan. Juga dibolehkan untuk menjadikan institusi pendidikan
itu sebagai suatu lembaga profit, ataupun lembaga untuk mengkader orang-orang
dengan pola agama tertentu. Tetapi bila dilakukan oleh negara, maka untuk
menjaga kebebasan beragama/ berkeyakinan, maka institusi tersebut tidak boleh
mengajarkan pemikiran-pemikiran khusus agama tertentu, kecuali sebatas sebagai
ilmu. Tidak boleh juga dalam institusi milik negara tadi adanya segala sesuatu
yang bisa membuat institusi tersebut condong pada suatu kelompok dalam
masyarakat, ataupun memusuhi suatu kelompok dalam masyarakat. Untuk menjamin
keadilan dalam kebebasan kepemilikan, dalam hal dana-dana dari pemerintah untuk
dunia pendidikan, termasuk dana untuk riset penelitian, tidak boleh
memprioritaskan berdasarkan kepemilikan. Artinya, suatu institusi pendidikan
milik pemerintah maupun milik non pemerintah memiliki hak dan kesempatan yang
sama terhadap dana-dana pendidikan dan riset tadi. Termasuk juga dalam masalah
kebebasan kepemilikan, institusi pendidikan bebas dalam mencari sumber-sumber
dananya sendiri, baik dari masyarakat maupun dari pihak luar bahkan asing.[3]
C.
Hakikat Manusia Dan Pendidikan Dalam Pendidikan Sekuler
Pendidikan umum atau sekuler mempunyai asumsi
berbeda-beda. Secara sederhana, dasar filsafat pendidikan umum (public
education) atau sekuler pada prinsipnya adalah humanistik, naturalistic
dan/atau neo-humanistik. Dalam pemahaman humanistik, manusia dijadikan sebagai
titiktolak dalam memahami nilai, tujuan pendidikan serta penyelenggaraannya. Manusia
dipandang sebagai makhluk individu yang terdiri dari tubuh dan pikiran serta
sebagai mahluk sosial. Diasumsikan bahwa jika pikiran manusia dikembangkan atau
dicerdaskan maka perilakunya baik. Pembelajaran merupakan usaha memperlengkapi
peserta didik agar terampil menggunakan nalarnya. Kelompok sosial dimana
individu berada dianggap paling mempengaruhi pikiran dan perilakunya. Itu
sebabnya pengetahuan yang dipelajari peserta didik haruslah bersumber dari dan
relevan dengan kehidupan masyarakat dimana ia berada.
Dalam pandangan naturalistik, alam semesta
sebagai hasil proses evolusi yang dijadikan sebagai landasan berpikir dalam
menetapkan dasar dan proses pendidikan. Hukum-hukum alam deterministik mengatur
kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia mempelajari bagaimana hukum alam
berlaku, agar ia dapat berkarya sebagaimana mestinya juga agar dapat merekayasa
perilaku kehidupan sesamanya.
Dalam pengertian neo-humanistik (gerakan new
age), manusia, alam dan yang supranatural (kekuatan-kekuatan, unsur)
dijadikan sebagai dasar di dalam memahami baik isi maupun proses pendidikan.
Selain mempelajari pengetahuan sosial dan pengetahuan alam, dalam pandangan
neo-humanistik, peserta didik juga perlu memahami keterkaitan hidup nyata
dengan kekuatan-kekuatan kosmik-supranatural (mistik). Gerakan zaman baru
gencar mengemukakan bahwa hidup manusia dengan mahluk lainnya adalah satu dan
saling memperlengkapi.
Dalam pandangan pendidikan sekuler,
epistemologi di dasarkan pada kemampuan nalar manusia. Dari mana pengetahuan
datang? Jawabnya dari kemampuan pikiran manusia menggunakan nalarnya, juga dari
alam lingkungannya. Bagaimana kita tahu bahwa kita mengetahui? Jawabnya dengan
memakai nalar dalam mengadakan penelitan, perenungan dan penafsiran serta
pemberian makna. Pendekatan umum atau sekuler dalam mengembangkan pengetahuan lazimnya
adalah dengan nalar induktif (empiris) dan deduktif (rasional). Selain itu,
dalam mengembangkan pengetahuan, manusia belajar baik dari alam maupun dari
manusia itu sendiri dengan pendekatan ilmiah (scientific
method). Akhirnya, asumsi humanistik beranggapan
bahwa dilihat dari sudut sosiologi pengetahuan, pengetahuan manusia sifatnya
relatif, sesuai dengan konteksnya, sehingga yang benar di satu tempat belum
tentu benar diberbagai tempat. Ilmu-ilmu sosial (sosiologi, antropologi)
biasanya mengembangkan asumsi dasar semacam ini.
Kerja dan etika dalam pendidikan sekuler
bersumber dari manusia. Diyakini bahwa manusia mempunyai potensi kebaikan untuk
mengembangkan dirinya. Pendidikan sering dikemukakan sebagai pemanusiaan
manusia, dari orang yang lebih dewasa terhadap orang yang belum atau kurang
dalam hal kedewasaan. Prof. J. Langeveld pernah mengatakan bahwa manusia adalah
animal educandum atau binatang tingkat tinggi yang dapat dididik.
Pendidikan hadir dalam rangka mengembangkan semua potensi positif pada diri
manusia agar berkembang guna kebaikan dirinya, kebaikan sesamanya serta bagi
kelestarian alam lingkungannya. Proses pendidikan harus berlangsung secara
manusiawi, dimana hak azasi manusia diperhitungkan secara cermat, termasuk
kebebasan individu berbeda pendapat serta kebebasan dalam memiliki
keyakinannya. Proses indoktrinasi dilarang oleh pendidikan humanistik, yang
diijinkan adalah interaksi dialogis antara guru dengan murid dan antara murid
dengan bahan pengajaran. Manusia terdidik dalam pemahaman sekuler ialah manusia
yang memahami dirinya, menggunakan semua potensinya termasuk kemerdekaan
dirinya bagi pengembangan diri sendiri, sesama dan lingkungan alamnya.[4]
Hasil dari pendidikan sekuler yang memisahkan
materi dengan ruh mengakibatkan Pendidikan itu bertujuan pragmatis dan
ekonomis. Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak
berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan.[5]
D. Hubungan Antara Aliran Filsafat Pendidikan Dengan Pendidikan Liberal Dan Pendidikan Sekuler
Diantara aliran-aliran filsafat pendidikan yang
ada, terdapat hubungan yang berkaitan
pendidikan liberal dan pendidikan sekuler ini. Diantaranya yakni aliran
filsafat pendidikan progressivisme merupakan filsafat sekaligus lembaga
pendidikan yang mencerminkan liberal way of life.[6]
Dengan demikian seperti liberalisme itu
sendiri, maka progressivisme sangat
berpengaruh dalam interpretasinya tentang kebudayaan modern. Aliran ini
berhasil membina sikap kritis terhadap kebudayaan lama untuk kemudian
mengadakan reformasi sekaligus membina program yang rasional dalam membina
kebudayaan baru serta menghadapi periode transisi dari kebudayaan lama menuju
kebudayaan baru. Dengan kata lain, identitas progressivisme dalam mission
filsafat dan pendidikannya tercermin dalam kebudayaan liberal.
Sedangkan aliran filsafat pendidikan
essensialisme pendidikannya lebih mengarah kepada pendidikan yang bercorak
kebudayaan yang bersifat sekular.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar