Semua orang mengakui memiliki pengetahuan.persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat. Dari situ timbul pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan kita?
Berikut ini beberapa
sumber pengetahuan antara lain :
1. Indera
Indera digunakan
untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di sekitar kita. Indera
ada bermacam-macam; yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera
penglihatan (mata) yang memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran
suatu benda; indera pendengaran (telinga) yang membuat kita membedakan
macam-macam suara; indera penciuman (hidung) untuk membedakan bermacam
bau-bauan; indera perasa (lidah) yang membuat kita bisa membedakan makanan enak
dan tidak enak; dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui
suhu lingkungan dan kontur suatu benda.
Pengetahuan
lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan terukur.
Kecenderungan yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang
utama, atau bahkan satu-satunya sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang
disebut empirisisme, dengan pelopornya John Locke (1632-1714) dan
David Hume dari Inggris. Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang
empirisis sejati akan mengatakan indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan
yang dapat dipercaya, dan pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan
yang benar.
Tetapi
mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak mencukupi. Dalam
banyak kasus, penangkapan indera seringkali tidak sesuai dengan yang
sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok,
padahal sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat lebih kecil, padahal ukuran
sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu lemah atau terlalu keras tidak bisa
kita dengar. Belum lagi kalau alat indera kita bermasalah, sedang sakit atau
sudah rusak, maka kian sulitlah kita mengandalkan indera untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar.
2. Akal
Akal atau
rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di dalam kepala,
yakni otak. Akal mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang
bisa memastikan bahwa pensil dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap
bulat walaupun tampaknya sabit. Keunggulan akal yang paling utama adalah
kemampuannya menangkap esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada
fakta-fakta khusus. Akal bisa mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus
mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing
hitam, kucing garong, atau kucing-kucingan.
Akal
mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-kategori
atau ide yang inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita
memikirkan sesuatu, penangkapan akal atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai
oleh kategori. Kategori-kategori itu antara lain substansi, kuantitas,
kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.
Pengetahuan
yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau masuk akal.
Pengutamaan akal di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan
bahwa akal adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar, disebut aliran
rasionalisme, dengan pelopornya Rene Descartes (1596-1650) dari Prancis.
Seorang rasionalis umumnya mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera
sebagai semu, palsu, dan menipu.
3. Hati atau Intuisi
Organ fisik
yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti;
ada yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada
praktiknya, intuisi muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam
kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak
selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat
santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita
tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main
catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.
Menurut Henry
Bergson intusi adalah hasil dari evolusi dari pemahaman yang tertinggi.
Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha[1].
Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang
mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi.
Menuruutnya,
intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya
bersifat analis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara
simbolis. Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung
dan seketika.
Intuisi
bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun
pengetahuan secara teratur intuisi tidak
dapat diandalkan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu
dalam menemukan kebenaran. Bagi Nietzchen intuisi merupakan “intelegensi yang
paling tinggi” dan bagi Maslow intuisi merupakan “pengalaman puncak” (peak
experience)[2].
Intuisi
disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu
saja secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang,
melainkan hanya kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai
suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami
kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai,
pada saat itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering
disebut supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan
hanya berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun menemui jalan
buntu.
Hati bekerja
pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional
dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga
hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa
sampai pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das
ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak
dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu
secara langsung tanpa terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan
objek.
Kecenderungan
akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi
(meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari
kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus,
misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil manusia seperti yang
dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa
cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu
jam di pantai carita adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat
berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan
atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam.
Pengutamaan
hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber
lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai
kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192)
yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan
diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan
oleh Henry Bergson.
Dalam tradisi
filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan
rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan
kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam
tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi antara aliran rasionalisme
dan intuisionisme (iluminasionisme, ‘irfani), dengan kemenangan pada aliran
yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan
Musa atas tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai
kemenangan intuisionisme. Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas
intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan status ontologis
yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih daripada
rasio.
4. Logika
Logika adalah
cara berpikir atau penalaran menuju kesimpulan yang benar. Aristoteles (384-322
SM) adalah pembangun logika yang pertama. Logika Aristoteles ini, menurut
Immanuel Kant, 21 abad kemudian, tidak mengalami perubahan sedikit pun, baik
penambahan maupun pengurangan.
Aristoteles
memerkenalkan dua bentuk logika yang sekarang kita kenal dengan istilah deduksi
dan induksi. Logika deduksi, dikenal juga dengan nama silogisme, adalah menarik
kesimpulan dari pernyataan umum atas hal yang khusus. Contoh terkenal dari
silogisme adalah:
- Semua manusia akan mati (pernyataan umum,
premis mayor)
- Budi manusia (pernyataan antara, premis minor)
- Budi akan mati (kesimpulan,
konklusi)
Logika
induksi adalah kebalikan dari deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari
pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus menuju pernyataan umum. Contoh:
- Budi adalah manusia, dan ia mati (pernyataan
khusus)
- Muhammad, Asep, dll adalah manusia, dan
semuanya mati (pernyataan antara)
- Semua manusia akan mati (kesimpulan)
5. Wahyu
Selain itu,
ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah pengetahuan yang
disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan para Nabi. Para nabi
memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa
upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya.
Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa
mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan
jalan wahyu.
Wahyu Allah
(Agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang
mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia dan segenap isinya
serta kehidupan diakhirat nanti[3].
Kepercayaan
inilah yang merupakan titik tolak dalam
agama dan lewat pengkajian selanjutnya dapat meningkatkan atau menurunkan
kepercayaan itu. Sedangkan ilmu
pengetahuan sebaliknya, yaitu dimulai mengkaji dengan riset, pengalaman, dan
percobaan untuk sampai kepada kebenaran yang faktual.
Adapun aliran-aliran
yang mengemukakan tentang sumber pengetahuan adalah :
a.
Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirisko
,artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan
melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman
yang dimaksud adalah pengalaman inderawi.[4] Pengetahuan
inderawi bersifat parsial . Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara
indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis
indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing
indera menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang menjadi objeknya.
Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada
sensibilitas organ-organ tertentu.[5]
John Locke(1632-1704), bapak empiris
Britania mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya
ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas
pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan.
Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan menjadi
kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks
pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu
yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman
indera itulah sumber pengetahuan yang benar.[6]
David Hume, salah satu tokoh
empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam
hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu:
- Kesan-kesan (impression)
Yang dimaksud kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari
pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar.
- Ide-ide(ideas)
Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang
samar-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam
kesan-kesan yang diterima dari
pengalaman.[7]
Jadi, gejala-gejala alamiah menurut
anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat pancaindera.
Berdasarkan teori ini, akal hanya
mengelola konsep gagasan inderawi. Kaum empiris juga menganggap akal sebagai
sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut. Akal berfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa
tersebut, padahal hubungan yang demikian itu bersifat kemungkinan belaka dan
pengetahuan kita tentang hubungan peristiwa tersebut sesungguhnya berasal dari
pengalaman.
Jadi, dalam empirisme, sumber utama
untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari
pancaindera. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu sebatas ide yang
kabur.[8]
Namun aliran ini mempunyai banyak
kelemahan, antara lain:[9]
- Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata tidak. Keterbatasan inderalah yang menggambarkan seperti itu. Dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
- Indera menipu, pada orang yang sakit malaria ,gula rasanya pahit, udara akan terasa dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
- Objek yang menipu, contohnya fatamorganadan ilusi. Jadi objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh indera, ia membohongi indera.
- Berasal dari indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini, indera(mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
b. Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal
adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur
dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
Bagi aliran ini kekeliruan pada
aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indera dapat dikoreksi, seandainya
akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh
pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan
bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya manusia
kepada kebenaran adalah semata-mata akal.
Para penganut
rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide dan bukunya
di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide
yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, kebenaran hanya ada dalam pikiran kita dan
hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja[10] Akal,
selain berkerja karena ada bahan dari
indera, juga akal dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali,
jadi akal dapat juga mengahasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul
absraks.
Descartes,
seorang pelopor rasionalisme berusaha
menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi. Ia yakin
kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan kebenaran tersebut dikenal dengan
cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan.
Dengan demikian, akal budi dipahamkan sebagai sejenis perantara suatu teknik
deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran, artinya
dengan melakukan penalaran yang akhirnya tersusunlah pengetahuan[11].
Tetapi
rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai kriteria untuk
mengetahui akan kebenaran dari suatu ide
yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya tetapi menuru
orang lain tidak.
Dari dua
aliran tersebut ( Empirisme dan Rasionalisme) terlahirlah metode
ilmiah atau pengetahuan sains yang merupakan penggabungan dari kedua aliran.
Dalam hal ini panca indera mengumpulkan
data-data, sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan pada prinsip-prinsip
universal, kemudian disebut universal. Tapi kebenaran yang model ini bukan
kebenaran mutlak, tapi kebenaran yang dekat pada hakikat, yaitu menurut
kesanggupan tertinggi dari akal dalam mendekati hakikat itu.
c. . Kritisisme
Immanul Kant
adalah peletak dasar dari aliran kritisisme. Dalam arti luas, kritisisme merupakan sebuah
epistemologi yang menempatkan akal budi sebagai nilai yang amat tinggi tetapi
akal budi memiliki keterbatasan. Oleh karena itu Kant mencoba mendamaikan
rasionalisme dengan empirisme dengan berpendapat bahwa pengetahuan bersifat
sintesis. Pengetahuan inderawi atau empirisme merupakan sintesis dari
pengamatan ruang dan waktu. Kemudian pengetahuan akal merupakan sintesis
pengetahuan. Implikasinya yang dihasilkan bukanlah pengetahuan das ding an
sich, untuk itu rasio dan akal budi memberi arah kepada akal ketika tidak
mampu mengetahuinya. Kant
menyebutnya sebagai idealisme transdental atau idealiseme kritis (Hadiwiyono,
1980, 2; 63-82).
d. Positivisme
Abad ke-19 dapat
diakatakan sebagai abad positivisme – dengan tokohnya Auguste Comte (1798-1857),
karena pengaruh aliran ini demikian kuatnya dalam dunia modern. Filsafat menjadi praktis bagi tingkah laku
manusia sehingga tidak lagi memandang penting berfikir yang bersifat abstrak
(Wibisono, 1996;1).
Positivisme kata kuncinya terletak pada kata
positif itu sendiri yaitu lawan dari kahayal, merupakan sesuatu yang riil dan
objek penyelidikannya didasarkan pada kemampuan akal (Wibisono, 1996; 37). Kata
positif juga lawan dari sesuatu yang tidak bermanfaat dan disinilah terjadi
progress (kemajuan). Positif juga berarti jelas dan tepat. Disinilah diperlukan
filsafat yang mampu memberi atau mebeberkan fenomena dengan tepat dan jelas.
Positif juga lawan dari kata negatif dan ada keterkaitan selalu dengan masalah
yang menuju kepada penataan atau penertiban.
Penggolongan ilmu pengetahuan oleh Comte
didasarkan kepada sejarah ilmu itu sendiri yang menunjuk adanya gejala yang
umum yang mempunyai sifat sederhana menuju kepada gejala yang kompleks dan
semakin konkret. Ilmu-ilmu yang dimaksud adalah ilmu pasti (matematika) dan
secara berturut-turut astronomi, fisika, kimia, biologi, dan akhirnya fisika
sosial atau sosiologi (Wibisono, 1996; 25). Penggolongan tersbut mensyaratkan
adanya perkembangan ilmu yang lambat dan cepat. Yang paling cepat
perkembangannya adalah yang sederhana dan umum objeknya. Dan ada yang paling
lambat perkembangannya adalah yang paling kompleks objek permasalahannya,
misalnya fisika sosial.
Sejarah manusia berkembang menurut tiga tahap
yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap
positif atau riil (Wibisono, 1996; 11). Tahap teologi atau fiktif merupakan
tahap dimana manusia menggambarkan fenomena alam sebagai produk dari tindakan
langsung, hal yang berifat supranatural. Pada tahap ini manusia mencari dan
menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada dengan
selalu mengkontekstualisasikan dengan hal yang sifatnya mutlak.
Tahap metafisik merupakan tahap dimana
kekuatan-kekuatan supranatural digantikan oleh kekuatan yang bersifat abstrak,
yang dipercaya mampu mengungkapkan rahasia fenomena yang dapat diamati.
Dogma-dogma telah ditinggalkan dan kemampuan akal budi manusia dikembangkan
secara maksimal sehingga kekuatan yang bersifat magis digantikan dengan
analisis berfikir untuk membedakan yang natural dan supranatural, yang fisik
dan metafisik sehingga manusia berperan sebagai subjek yang berjarak dengan
objek. Comte menggambarkan sebagai tahap perkembangan manusia dari sifat ketergantungan
menuju sifat mandiri atau dewasa. Tahap ini merupakan masa peralihan yang penuh
konflik dan merupakan tahap yang menentukan menuju tahap positivisme.
Tahap ketiga adalah postivisme yaitu orang mulai
menoleh, mencari sebab-sebab terakhir dari kejadian alam, kemudian berubah
kepada penemuan hukum-hukum yang menyelimuti dengan menggunakan pengamatan dan
pemikiran. Tahap ini merupakan tahap science dengan tugas pokok memprediksi
fenomena alam dalam rangka memanfaatkannya. Manusia telah sampai pada pengetahuan
yang positif yang dapat dicapai melalui observasi, eksperimen, komparasi dan
hukum-hukum umum. Pengetahuan yang demikian menunjuk pada pengetahuan yang
pasti, riil, jelas dan bermanfaat.
Comte dengan ilmu pengetahuan positifnya, yang
pada tahap akhir perkembangan akal budi manusia menjadi pedoman hidup dan
landasan kultural, institusional dan kenegaraan untuk menuju masyarakat yang
maju dan tertib, merdeka dan sejahtera. Bangunan ilmu pengetahuan positif itu
adalah sebagai berikut.
Asumsi pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat
objektif (bebas nilai dan netral). Objektivitas pengetahuan berlangsung dari
dua pihak, pihak subjek dan objek. Pada pihak subjek seorang ilmuwan tidak
boleh membiarkan dirinya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam
dirinya sendiri misalnya sentimen, penilaian etnis, kepentingan pribadi atau
kelompok, kepercayaan agama, filsafat dan lain sebagainya yang bisa
mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang diamati. Pada pihak objek,
aspek-aspek dan dimensi-dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam observasi
misalnya roh atau jiwa, tidak dapat ditolerir keberadannya. Laporan atau
teori-teori ilmiah hanya menjelaskan fakta-fakta dan kejadian-kejadian yang
dapat diobservasi saja.
Asumsi kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan
dengan hal-hal yang berulangkali terjadi. Andaikata ilmu pengetahuan hanya diarahkan kepada
hal-hal unik, yang hanya sekali saja terjadi, maka pengetahuan itu tidak dapat
membantu kita untuk meramalkan atau memastikan hal-hal yang akan terjadi. Padahal
ramalan atau prediksi merupakan suatu tujuan terpenting ilmu pengetahuan.
Asumsi ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap
fenomena atau kejadian alam dari saling ketergantungan antar hubungannya dengan
fenomena-fenomena lain. Mereka
diandaikan saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu sistem yang
bersifat mekanis. Perhatian ilmuwan bukan diarahkan kepada hakekat dari gejala-gejala
melainkan pada relasi-relasi luar khususnya relasi sebab akibat, antara
benda-benda, gejala-gejala atau kejadian-kejadian.
Usaha Comte untuk merumuskan suatu ilmu
pengetahuan yang bersifat positif, objektif, ilmiah, dan universal pada
akhirnya membawa dirinya pada ilmu pasti, dan studinya yang mendalam tentang
hal ini mendorong dia pada kesimpulan bahwa ilmu pasti mempunyai tingkat
kebenaran yang tertinggi, bebas dari penilaian-penilaian subjektif dan berlaku
universal. Oleh sebab itu suatu penjelasan tentang fenomena tanpa disertai
dengan pertimbangan ilmu pasti (matematika dan statistika) adalah non-sense belaka.
Tanpa ilmu pasti ilmu pengetahuan akan kembali menjadi metafisika.
[1]
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Akal
dan Hati sejak Thales sampai Capra, (Bnadung: Remaja Rosdakarya, 2002) hlm.
27
[2]
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000) Cet. III, hlm. 131
[3] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta
: Pustaka Sinar Harapan, 1998) Cet. II, hlm. 54
[4] Ahmad
Tafsir,Filsafat,hlm.24.
[5] Anton
Bakker,Ahmad Charris Zubair,Metodologi Penelitian Filsafat,(Yogyakarta:kanisius,1994),cet.IV,hlm.42.
[6] Ahmad
Tafsir,op.cit.,hlm.24.
[7] Amsal
Bakhtiar,op.cit.,hlm.43.
[8] Ibid,hlm.44.
[9] Ahmad
Tafsir,op.cit.,hlm.24.
[10] Louis
O. Kattsof, Pengantar filsafat , (Yogyakarta : Tiara Wicana Yogya, 1996)
, Cet. VII, hlm.139
[11] Ibid.
hlm. 139
Daftar di situs judi online pilihan kami. Dijamin gampang menang!!
BalasHapusBaca juga Review nya tentang beberapa situs judi online pilihan kami dibawah ini!!
Situs JurusQQ
Situs JurusQiu
Situs MdominoQQ
Situs AhliQQ
Dapatkan kesempatan menang banyak dan juga bonus yang besar hanya dengan modal yang murah!!