A. Pola Mendidik Anak
Berbicara tentang penegrtian mendidik, sudah termasuk dalam penegrtian mengajar kalau dilihat esensinya dalam proses belajar mengajar, yakni sudah termasuk kegiatan mendidik, dalam artian untuk mengantarkan anak kepada tingkat kedewasaannya, baik secara fisik maupun mental.
Kalau dilihat dari asal
katanya, keduanya memiliki arti yang sedikit berbeda. ” Mengajar:
memberi pelajaran”. Sedangkan ”Mendidik : memelihara dan memberi latihan
mengenai akhlak dan kecerdasan fikiran”.
Raths mengemukakan fungsi
mengajar :[1]
1. Initiating, managing, directing, dan
menilai
2. Modifikasi kurikulum
3. Memimpin kegiatan kelompok
4. Informing, eksplaning, dan skowing how
5. Memelihara
6. Deskripisi pendapat sampai fakta atau
kebenaran
7. Homeroom aesthetics.
8. Warga negara
Mendidik adalah mengajar
secara perlahan-lahan berorientasi dan di atas kaki sendiri. Mendidik merupakan
interaksi timbal balik antara orang tua dan anak-anak. Interaksi yang kian hari
kian mengalami pengaruh dari luar lingkungan keluarga. Apabila ada suatu yang
tidak beres, biasanya akibat interaksi faktor-faktor pribadi.[2]
Upaya mendidik itu sudah
dimulai sejak adanya manusia pertama dengan jalan mengemukakan cara manusia
dewasa membawa anak dari orang muda ke jenjang kemanusiaan tertentu. Tidak hanya pada bangsa-bangsa yang sudah maju
dan beradab saja terdapat ide-ide pendidikan akan tetapi suku-suku bangsa yang
primitif pun memilliki gambaran dan citra tertentu mengenai tingkat peradaban
manusia yang harus ditetapkan pada anak keturunan mereka berkat kegiatan
mendidik.[3]
Jadi, mendidik dapat
diartikan sebagai suatu usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah
kedewasaannya baik secara jasmani maupun rohani. Mendidik tidak sekedar transfer
of knowledge tetapi juga transfer of values.[4]
1.
Mendidik Zaman Dahulu dan Sekarang
Banyak orang tua yang mengeluh
bahwa mendidik anak zaman sekarang itu tidak gampang, bahkan dirasakan jauh
lebih sulit dari pada mendidik anak-anak zaman dulu. Hal ini tidak sepenuhnya salah,
walaupun sebenarnya setiap masa itu ada tantangannya sendiri-sendiri sesuai zamannya.
Mendidik anak di zaman sekarang ini memang bisa dibilang gampang, bisa juga
tidak.
Faktanya memang anak zaman
sekarang pasti berbeda dengan anak zaman dulu. Beda dalam segala hal. Jadi kita
tidak bisa begitu saja membandingkan keadaan kita dulu sewaktu dididik oleh
orang tua kita dengan anak-anak kita zaman sekarang.
Setidaknya ada 3 perbedaan
pokok anak-anak zaman sekarang dibandingkan dengan anak-anak generasi terdahulu
:
1) Kemampuan Berpikir.
Anak-anak zaman sekarang pada
umumnya memiliki kemampuan berpikir yang lebih kritis dalam usia yang lebih
awal. Mereka berkembang dalam zaman yang memberi mereka banyak keleluasaan dan
stimulasi yang jauh lebih banyak, sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang
seperti itu. Mengapa kita perlu mengetahui hal ini? Yaitu agar kita siap
menghadapinya. Karena sebagian orang tua yang tidak siap menjadikan hal ini
sebagai suatu kesulitan. Akhirnya yang muncul adalah pemikiran negatif terhadap
anak, misalnya dibilang anaknya suka berdebat, nggak mau kalah, pandai
berargumentasi, dan sebagainya. Padahal itu semua adalah hal-hal positif yang
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir anak itu sangat bagus.
2) Cara Pandang.
Anak-anak zaman sekarang
seringkali memiliki cara pandang yang berbeda dengan kita, sehingga pada
akhirnya mereka sering beradu argumentasi dengan orangtuanya. Kita para orang
tua umumnya terbiasa pada pola pendidikan tradisi yang polanya yang sudah
terbentuk. Mungkin mirip seperti kacamata kuda. Misalnya setiap ada persoalan A
jawabnya pasti B, persoalan C jawabnya D dan seterusnya. Anak-anak kita tidak
lagi berpikir demikian. Mereka kalau melihat sebuah persoalan bisa luas sekali
analisisnya. Hal ini sering kali membuat orang tua menjadi tersinggung karena
seolah-olah merasa digurui. Orang tua selama ini selalu punya tradisi pemikiran
bahwa mereka selalu lebih dibanding anak-anak kita, dan kita kaget ketika
melihat anak-anak kita ternyata punya argumentasi yang jauh lebih luas sudut
pandangnya. Ini perlu kita sadari supaya kita siap, dan bersyukur karena
memiliki anak-anak dengan wawasan yang luar biasa. Bukannya malah kita merasa
dipermalukan atau merasa direndahkan, atau merasa dipandang bodoh oleh anak
kita. Justru kita harus bangga memiliki anak-anak seperti itu.
3) Keberanian untuk Mengungkapkan Pendapat.
Ada sebuah pergesaran tradisi
pada anak-anak generasi sekarang. Kalau dulu pada umumnya kita takut-takut
untuk mengungkapkan pandapat, terutama kepada orang tua. Mungkin karena zaman
dahulu bangsa kita lama dijajah, maka budaya yang berkembang adalah budaya
otoriter. Akhirnya budaya ini terbawa sampai ke rumah tangga sehingga orangtua
memiliki otoritas yang luar biasa terhadap anaknya dalam banyak hal : dalam
menyatakan pendapat, dalam mengambil keputusan, dal sebagainya. Sehingga ketika
si anak memiliki argumentasi, maka ia akan lebih memilih untuk diam. Itu semua
terjadi pada zaman dulu ketika dididik oleh orang tua kita. Zaman anak-anak
sekarang ini tidak lagi seperti ini. Kita mulai melihat ada
pemberontakan-pemberontakan kepada gurunya di sekolah. Padahal zaman dulu, kepatuhan kepada guru itu
luar biasa. Hal ini menjadikan sebuah generasi yang patuh. Padahal di dalam
kehidupan sehari-hari yang dibutuhkan adalah kreatifitas, penuh daya cipta,
penuh argumentasi, punya cara pandang yang luas, dan sebagainya. Jadi sebenarnya
anak-anak sekarang ini sedang menuju kepada kondisi yang sesuai dengan
kebutuhan zamannya. Cuma karena dulu dibesarkan di zaman yang berbeda dan kita
sering membandingkan dengan cara kita dididik dulu, maka kita sering kali
“menahan” perkembangan anak-anak kita untuk tidak ke arah seperti itu. Hal ini terjadi karena kita sering kali
punya kebiasaan untuk membandingkan anak-anak kita dengan kita di zaman dulu. Harus
kita ingat bahwa anak-anak kita telah tumbuh sesuai dengan kebutuhan zamannya.tugas
kita adalah membimbing mereka supaya tidak salah jalan. Mereka sebenarnya telah
berjalan ke arah yang sesuai. Kita para orang tua harus mulai belajar untuk
menerima perbedaan-perbedaan ini.
Anak-anak zaman sekarang
tentu berbeda dengan anak-anak zaman dulu. Hal ini adalah sesuatu yang sangat
wajar dan alami. Namun demikian, walaupun kita sangat menyadari hal ini,
terkadang kita para orang tua tidak sepenuhnya bisa menerima. Bagaimana kita
menyikapi hal ini?
Dalam mendidik
anak-anak kita, umumnya para orang tua tidak menyadari bahwa kita salah. Di
mata kita, anak-anak kitalah yang penuh dengan kesalahan. Kita punya
persepsi-persepsi, dugaan-dugaan yang bersumber dari masa lalu kita, pengalaman
kita, yang kita akui itu sebagai sumber kebenaran. Begitu hal itu tidak terjadi
pada anak kita, maka dengan segera kita mengatakan bahwa anak kita salah.
Inilah yang disebut dengan sudut pandang. Inilah sebenarnya kunci dari
persoalan ini. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah menempatkan sudut
pandang secara tepat dalam melihat anak, karena sebagian besar orang tua
melakukan kesalahan dalam menempatkan sudut pandang. Namum umumnya orang tua
tidak menyadari hal ini.
Beberapa sudut pandang yang keliru dalam
memahami anak :[5]
1) Selalu menilai anak dalam konteks hitam
putih.
Kita dan anak-anak kita jelas berbeda dalam
berbagai hal, dan kita sepakat bahwa hal itu adalah fitrah. Kesalahan yang
sering dilakukan orang tua adalah melihat anak hanya dalam konteks hitam putih.
Padahal sebenarnya mereka adalah berwarna warni. Salah satu contohnya, orang
tua sering membandingkan anaknya dengan mengatakan : “anak saya yang pertama
sih pintar, nilainya bagus-bagus, tapi kalo yang nomor dua kayaknya agak
kurang”. Ini adalah sebuah pemahaman yang sifatnya hitam-putih, pintar-bodoh,
malas-rajin, dan sebagainya. Padahal kalau mau jujur, kita sendiri pun
sebenarnya tidak mau hanya dilihat dan dibanding-bandingkan secara hitam-putih.
Jadi, mulai sekarang janganlah melihat perbedaan anak-anak kita secara hitam
putih, tapi mulailah memahami bahwa sebenarnya anak kita adalah warna-warni.
Dengan demikian kita akan melihat sesuatu yang sangat indah dalam diri
anak-anak kita.
Sayangnya, sekolah-sekolah kita pun umumnya masih
menggunakan pandangan hitam-putih. Jadi kalau misalnya cara belajar di sekolah
itu menggunakan cara tertentu, siswa yang kesulitan menggunakan cara itu
langsung dianggap bermasalah.
2) Orang tua merasa selalu paling benar
Pada umumnya kita orang tua selalu merasa bahwa,
dibanding anak-anak kita, kitalah lebih berpengalaman, sudah makan asam garam,
karena kita hidupnya lebih lama, dsb, sehingga kita punya asumsi yang kita
anggap benar bahwa orang tua itu selalu benar dan tidak pernah salah. Akhirnya
kita orang tua memiliki asumsi-asumsi mengenai benar-salah, baik-buruk, dan
sebagainya. Hal tersebut adalah wajar, namun akan menjadi masalah manakala kita
mengangggap bahwa apa yang baik bagi kita, kita anggap baik juga buat anak
kita. Satu contoh kecil, misalnya kita mengatakan kepada anak kita : “Dulu zaman
ayah sekolah dulu, nggak ada yang namanya diantar-jemput. Ayah jalan kaki
berkilo-kilo meter ke sekolah. Nggak seperti anak sekarang…”. Maksudnya adalah
kita ingin menunjukkan kehebatan di zaman kita. Sebenarnya tugas kita adalah
bukan untuk membandingkan zaman kita dengan zaman anak kita untuk menunjukkan
bahwa kita lebih baik, lebih superior, supaya anak kita bisa mencontoh hal yang
baik. Ternyata hal itu tidak pernah bisa berhasil. Apalagi kalau kita sampai
punya anggapan bahwa jaman kita dulu lebih baik dari jaman anak kita. Yang
harus kita lakukan adalah memahami keadaan jaman anak kita.
3) Anak tidak bisa didik
Kesalahan terakhir adalah merasa bahwa anak kita
tidak bisa dididik. Padahal sebenarnya ada beberapa kemungkinan mengenai hal
ini. Bisa saja kita orang tua yang tidak bisa mendidik, atau kita belum
menemukan cara yang pas untuk mendidik. Jadi jangan sampai kita hanya terfokus
pada satu sisi saja bahwa anak kita susah dididik, tapi cobalah kita juga
mengevaluasi diri, jangan-jangan kita yang tidak bisa mendidik.
Bila kita perhatikan dalam ajaran semua agama,
tidak ada yang mengajarkan bahwa anak itu bermasalah. Yang ada adalah anak itu
suci, fitrah, berkah dari surga, dan sebagainya. Sehingga kalau pada akhirnya
mereka menjadi benar-benar bermasalah, maka kita harus bertanya pada diri kita
siapa yang menyebabkannya menjadi bermasalah? Apakah anak kita yang tidak bisa
dididik, atau kita orang tua yang tidak bisa mendidik?
2. Mendidik Anak dalam Keluarga
Posisi anak dalam
keluarga ada dua. Pertama, sebagai penyambung generasi –lihat QS.
Al-Anbiya (21): 89. Sebagai penyambung generasi, anak menjadi pewaris karya
yang dihasilkan orang tuanya –lihat QS. 19: 6.—dan penyejuk jiwa orang tuanya
–lihat QS. Al-Furqan (25): 74. Yang kedua, sebagai pelanjut tugas dan
cita-cita orang tuanya –lihat QS. Al-Furqan (25): 74.
Perlakuan orang tua terhadap
anaknya sangat dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor harapan dan cita-cita
berkeluarga kedua orang tuanya. Cita-cita adalah harapan tertinggi yang sangat
ingin diraih yang diupayakan dengan rencana dan segala kemampuan yang paling
maksimal. Sebab, membentuk keluarga bukanlah tujuan, tapi sarana untuk mencapai
sebuah tujuan. Karena itu, pastikan Anda tidak salah dalam menetapkan cita-cita
berkeluarga.
Faktor yang kedua adalah
kesadaran untuk melaksanakan tugas terpenting dalam berkeluarga. Apakah tugas terpenting dalam
berkeluarga itu? Allah swt. menyebebutkan dalam QS. At-Tahrim (66): 6, “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar dan keras, mereka tidak mendurhakai Allah dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan-Nya.”
Jadi, keluarga sukses
adalah keluarga yang di dunia berhasil menjalankan misi sebagai pemimpin
orang yang bertakwa dan di akhirat, berhasil mencapai visinya terbebas dari
neraka. Inilah makna dari doa yang kita pinta: rabbana aatinaa fiid dunya
hasanah wa fiil akhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban naar. Ya Tuhan kami,
berilah kami kebahagiaan di duniah dan kebahagiaan di akhirat; dan jauhkan kami
dari api neraka. Allah swt. berfirman, “Maka barangsiapa yang telah dijauhkan
dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah sukses.” [QS. Ali Imran (3): 185]
Untuk meraih kesuksesan dalam
berkeluarga, posisi anak menjadi penting. Jadikan anak sebagai aset penting
untuk meraih sukses keluarga. Perlakukan dan persiapkan mereka agar mampu
menjadi pemimpin umat dan bangsa; perlakukan dan bekali mereka agar mampu
menjadi penyelamat orang tua dan keluarganya dari neraka.
Ada dua ciri yang menandakan
bahwa Anda telah merasakan anak Anda adalah aset penting keluarga, yaitu:
1) Jika ada rasa khawatir jika anak yang
dititipan Allah kepada Anda tidak menjadi seperti yang diamanahkan.
2) Jika ada rasa cemas jika anak yang sebagai
modal berharga untuk meraih sukses keluarga menjadi sia-sia tidak berguna.
Allah swt. pun menyuruh kita,
orang tua, punya rasa khawatir terhadap anak-anak kita. “Dan hendaklah
takut (cemas) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap keadaan mereka. Oleh sebab
itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.” [QS. An-Nisa (4): 9]
Di ayat itu juga Allah swt.
memberi resep kepada kita agar tidak meninggalkan anak-anak yang lemah.
Resepnya adalah tingkatkan kapasitas moral kita dengan bertakwa kepada Allah,
menambah kapasitas konsepsional kita sehingga kita mampu berkata yang benar (qaulan
sadiidan), dan perbaiki kualitas amal kita (tushlihu’ ‘amal).
[Lihat QS. Al-Ahzab (33): 70-71]
Resep itu harus dilakukan
secara bersama-sama dalam keluarga, bukan sendiri-sendiri. Ini terlihat dari
ayat itu ditulis Allah swt. dengan bentuk jamak. Jadi klop dengan prinsip ta’awun
alal birri wat taqwa (tolong menolong dalam ketakwaan) dan al-mu’minuna
wal mu’minaat ba’duhum auliyaa’u ba’d (lelaki yang beriman dan wanita yang
beriman mereka satu sama lain saling bantu-membantu).
Step to step-nya seperti ini. Mulailah kedua orang tua, yaitu
kita, memperbaiki diri. Lalu, hadirkan untuk anak Anda lingkungan terbaik dan
hindarkan mereka dari lingkungan yang merusak. Beri mereka makanan yang terjamin gizi dan kehalalannya. Berikan pendidikan
yang berkualitas sesuai dengan visi dan misi keluarga. Tentu saja siapkan
anggaran yang cukup. Setelah itu, bertawakalah kepada Allah swt. Doakan selalu
anak Anda.
Dalam memberikan pendidikan
kepada anak, yang harus menjadi titik tekan adalah:[6]
1) Mengikatnya dengan (suasana) Al-Qur’an
2) Menjadikannya terus menerus merasa dalam
pengawasan Allah swt.
3) Menumbuhkan cinta kepada Nabi saw.,
keluarga dan para sahabatnya. Menjadikan mereka sebagai sumber panutan dan
rujukan hidup
4) Membiasakannya mencintai segala hal yang
diridhai Allah; dan menjadikanya benci terhadap yang dimurkai Allah.
5) Membekalinya dengan keterampilan memimpin
dan berjuang.
6) Membekalinya dengan keterampilan hidup.
7) Membekalinya dengan keterampilan belajar.
8) Menjadikannya mampu menggunakan berbagai
sarana kehidupan (sain dan teknologi).
Keluarga merupakan masyarakat
kecil yang mau tidak mau akan membentuk masyarakat yang besar. Masyarakat Betawi
seperti masyarakat lain di Indonesia yang mempunyai budaya serta tata cara
apabila mendapatkan keluarga baru. Kelahiran anak atau cucu dari sebuah
keluarga di Betawi akan dilakukan sebuah upacara yang berdasarkan agama Islam
dan keyakinan lain. Budaya masyarakat Betawi mempunyai simbol-simbol, misal
Roti buaya dalam perkawinan yang artinya tanda kesetiaan. Bagi masyarakat
Betawi yang beragama Islam, anak yang baru dilahirkan baik laki-laki atau
perempuan wajib dibacakan atau dikumandangkan ‘Azan’ ditelinga kanan dan
‘Iqomah’ ditelinga kiri oleh bapaknya ataupun keluarga atau kerabatnya yang
pada saat kelahiran didekatnya.
Kumandangan ‘Azan dan Iqomah’
ini merupakan suatu pendidikan pertama bagi seseorang yang baru dilahirkan dan
merupakan rekaman seumur hidupnya. Selanjutnya bayi yang sudah dibersihkan dan
dibungkus dengan selimut ‘dibedong’ dan pada bibirnya diolesi dengan ‘madu’
sesudah 12 jam dari kelahirannya. Pada saat diolesi ‘madu’ pada bibirnya
dibacakan ‘Basmallah’. Kepada ibunya diberikan makanan yang dimasak
secara bersama-sama ‘sayur papasan’ dimaksudkan agar si bayi tidak menderita
atau alergi karena air susu ibu yang diminumnya sesudah mengandung. Bahan-bahan
yang disantapnya merupakan suatu pendidikan ilmu pengetahuan yang diberikan
lingkungan tanpa disadarinya. Yang dimaksud lingkungannya adalah kakek, nenek,
encang-encing danseterusnya.
Pada saat anak sudah diberi
air susu ibu, ibunya mengucapkan ‘Basmallah’ agak keras sehingga
terdengar oleh si bayi ( hal ini merupakan pendidikan agama dari si ibu dan
lingkungan) ucapan ‘Basmallah’, ‘Alhamdullillah’ bila selesai
menyusui atau kegiatan lain. Pada umumnya orang tua dan lingkungan keluarga
bila hendak meninabobokan si bayi akan mengumandakan salawat-salawat nabi, asma
allah ataupun do’a-do’a dengan maksud untuk mendo’akan anaknya agar menjadi
anak yang soleh dan solehah.
Bila anak sudah mulai
berbicara atau memanggil ibu dan ayahnya, sebutan yang diajarkan orang tuanya
untuk menyapa kedua orang tuanya adalah umi/abah. Anakpun diajarkan kalimat-kalimat
illahi, seperti la ila haaillallah. Sesuai dengan perkembangan anak, pendidikan
agama lebih ditingkatkan seperti shalat berjamaah, sekalipun anak belum dapat
mengucapkan bacaan-bacaan shalat. Di Betawi pun apabila orang tuanya akan
melaksanakan ‘hakekah’ (potong rambut pertama ataupun sunatan bagi anak
perempuan) pada bayi berumur sebelum 40 hari, ini merupakan kewajiban orang
tuanya yang tidak terlepas dari ajaran agama, menyembelih dua ekor kambing
untuk anak laki-laki, dan satu ekor untuk akan perempuan.
Tujuan ‘khitanan’ untuk
perempuan untuk meredam seksualitas anak yang berlebihan atau tidak mudah
terangsang. Namapun diberikan secara resmi pada saat tersebut, karena biasanya
hakekah, potong rambut, khitanan diadakan pembacaan maulid nabi dengan
mengundang kerabat serta sanak famili. Pemberian nama kepada anak diambil dari
nama-nama yang baik artinya (biasanya diambil nama-nama yang ada dalam
Al-Quran).
Seiring dengan bertambahnya
umur dan perkembangan fisik anak (dalam hal ini anak perempuan) dididik untuk
membersihkan kaki apabila hendak tidur siang/malam. Mencuci tangan tidak saja
saat mau tidur tetapi juga apabila sudah dapat memegang makanan.
Permainan-permainan diajarkan
pada saat ini (anak sudah bisa berjalan) seperti boneka atau mainan lain yang
sesuai dengan kebutuhan anak perempuan. Selain itu juga diajarkan bagaimana
merapikan/membersihkan mainannya pada tempatnya masing-masing.
Pada usia 4 - 5 tahun umumnya
anak sudah mulai memasuki sekolah formal dan pada saat ini pula para orang tua
mengenalkan huruf-huruf Al-qur’an (‘mengaji’). Dan anak perempuan
biasanya diajarkan permainan ‘congklak, cici putri dan ciblak-ciblak cuang’,
permainan ini tidak khusus dimainkan anak perempuan saja, namun dimainkan
juga oleh anak laki-laki yang belum akil baligh.
Selain permainan tersebut
diatas orang tua terutama ibu mengajarkan / menyampaikan cerita yang terdapat
dalam Al-quran terutama cerita tentang nabi yang berkaitan dengan anak
perempuan. Disamping cerita yang diperuntukkan anak dalam pendidikan agama
disampaikan juga pendidikan secara non formal misalnya; cerita "Sang
Bango" yang disampaikan sambil berdendang. Tujuan dari cerita tersebut
merupakan pengetahuan dari binatang-binatang yang diceritakan; misalnya:
·
Bango
makanannya ikan Ikan akan timbul kalau hari hujan Musim hujan tiba sesudah ada
suara kodok. Sementara ular tahu dimana kodok berada karena kodok makanan ular.
Pendidikan memasakpun
diajarkan sekali pun pada awalnya diceritakan pada saat menjelang tidur, misalnya;
·
Lawar
gantung semur air. Menceritakan perempuan yang tidak bisa masak, suatu saat
mertuanya ingin masak semur, dan perempuan itu hanya menggantung lawarnya dan
hanya merebus airnya saja tidak memasak seperti biasanya.
·
Kepiting
didandanin. Menceritakan anak tidak bisa masak; suatu saat mertua pulang dari
pasar membawa rajungan “kepiting” sembari berkata “mantu ni rajungan didandanin
buat makan entar malam” karena simantu tidak bisa masa, lalu rajungan tersebut
dibedakin, dikasih lapstik dan kain pita. Selain cerita dan permainan didalam
rumah, ada juga permainan yang dilakukan di luar rumah seperti “dampu, wak-wak
gung, gala asin, bola gebok” dan lain-lain. Permainan ini biasanya dilakukan
sebelum pergi mengaji dan dilakukan bersama teman-temannya atau tetangganya.
Anak mengaji, sholat jama’ah, “ngederus” (tadarus) al quran merupakan kewajiban
yang harus dilakukan oleh anak Betawi.
Pada usia 11-12 tahun saat
menjelang akil baligh anak perempuan diajarkan keberadaan anak lelaki dan
perempuan. Kebutuhan belanjapun diajarkan. Dan kondisi dimana perempuan akan
mengalami ‘kain kotor’ (mentruasi) juga dijelaskan.
Setelah tiba mendapat ‘kain
kotor’, mereka ditanya oleh ibunya dan anak tersebut menjawab ia sudah
mendapatkan kain kotor, maka si ibu biasanya memperhatikan anak nya bila ia
tidak sholat. Pada saat anak mendapatkan ‘kain kotor pertama’ biasanya si ibu
membuatkan ‘ketan kuning’ berserta kelengkapannya dan dibagikan kepada
tetangga. Dengan maksud bahwa anak gadisnya sudah akil baliq.
Kewajiban-kewajiban seorang anak yang telah akil baligh juga diterapkan ‘mandi
hadats’. Dan juga anak perempuan diberikan tanggung jawab untuk mengurus
rumah seperti; membersihkan rumah, mengatur rumah, membuat kue dan minuman kopi
atau teh. Bahkan memasak juga harus sudah dipraktekan. Ayahnya pun mulai
memperhatikan pergaulan anak perempuannya. Biasanya pengetahuan tentang
pergaulan tersebut dibicarakan setelah selesai sholat magrib berjama’ah.
Sang ayah menjelaskan tatacara
pergaulan anak perempuan diluar rumah seperti batasan-batasan pergaulan.
Anak pun sudah mulai digiatkan untuk dapat menghatamkan Al-Quran, biasanya khatam
Al-Quran merupakan pendidikan formal keluarga yang harus ditaati. Selain
pendidikan di sekolah umum atau keluarga anak perempuan juga di sekolah di Madrasah
untuk menerima ilmu-ilmu agama. Apabila orang tua tidak mempunyai Madrasah
biasanya si anak di sekolahkan milik orang Betawi lainnya yang masih hubungan
keluarga.
Persiapan-persiapan untuk
memasuki kehidupan rumah tangga mulai diajarkan pada saat akil baliq. Bagaimana
kewajiban istri kepada suami dan mertuanya, ibu bapaknya dan
saudara-saudaranya. Hal ini ditekankan pada anak perempuan di Betawi dengan
maksud agar seorang istri patuh kepada suaminya. Karena ini merupakan
pendidikan yang harus dilakukan oleh orang tuanya.
Setelah orang tuanya merasa
bahwa anaknya sudah memiliki pengetahuan ilmu agama dan keterampilan rumah
tangga, maka mulailah anaknya ditampilkan kepada kegiatan orang tuanya yang
pada intinya ingin memberitahukan bahwa dia mempunyai seorang anak perempuan.
Terutama pada kegiatan-kegiatan hajatan dan ‘bebesanan’
Apabila tiba masanya anak
perempuan tersebut sudah pantas berumah tangga dan sudah ada pula keluarga yang
dituju untuk bebesanan (keluarga yang punya anak lelaki yang diharapkan untuk
jadi mantu). Biasanya diadakan pendekatan untuk tujuan tersebut, mengenalkan
anak mereka dari kedua belah pihak. Dalam hal ini orang tua hanya mengarahkan
dan tidak memaksa. Kemuadian kedua orang tua akan menanyakan kepada anak
apabila ada kecocokan, bila jawaban yang diberikan ‘iya’ maka akan dilakukan
proses perkawinan, misal; melamar oleh pihak laki, setelah lamaran diterima
ditentukan waktu pernikahannya. Dalam masa tunggu pernikahan tersebut, seorang
anak ditingkatkan pengetahuannya tentang bagaimana melayani suami dan kedua
orang tuanya. Tugas
orang tua selesai pada saat diadakan upacara ijab kabul. Kewajiban memberi
pendidikan dan memberi nafkah diserahkan kepada suaminya yang juga
mantunya.
Apabila tiba saatnya dia
mendapatkan anak maka pendidikan yang diterima orang tuanya dahulu akan
diterapkan kepada anaknya sesuai jamannya. Demikian siklus kehidupan seorang
anak perempuan di Betawi. Inti dari pendidikan seorang anak perempuan ialah
patuh kepada suaminya dalah hal yang dibenarkan agama.
Secara sederhana, tahapan perkembangan
perilaku anak sebagai berikut :[7]
a.
Tahap
I : (0-10 tahun) yaitu tahap perkembangan perilaku lahiriyah
b. Tahap II : (11-15 tahun) yaitu tahap
perkembangan perilaku berkesadaran
c. Tahap III : (15 tahun ke atas) yaitu tahap
perkembangan kontrol internal atas perilaku.
3. Mendidik Anak dalam Proses Pembelajaran
a. Menciptakan Suasana Belajar Mengajar yang
Efektif.
Inti
pelaksanaan pendidikan di sekolah adalah kegiatan belajar mengajar. Efektifitas
pembelajaran tidak bisa terjadi dengan sendirinya, tetapi harus diuasahakan
oleh guru melalui upaya penciptaan kondisi belajar mengajar yang kondusif.
Setidak-tidaknya ada tiga langkah yang seharusnya dilakukan guru dalam
menciptakan suasana belajar mengajar efektif. Ketiga langkah tersebut adalah
sebagai berikut :[8]
A. Membangun motivasi siswa.
Hal-hala yang dapat mendorong motivasi eksternal siswa untuk
belajar antara lain :
1. Menciptakan persaingan (kompetisi)
2. Menciptakan tujuan antara atau target
3. Memberikan kesempatan untuk berhasil
4. Mengadakan penelitian
5. Menghargai siswa
B. Melibatkan siswa dalam proses belajar
mengajar
C. Pandai menarik minat siswa
b. Seni Mengendalikan Siswa
Mengendalikan
siswa merupakan salah satu tugas pokok guru. Mengingat ”pengendalian siswa”
merupakan hal yang pokok dan penting maka guru efektif selalu memperhatikan hal
ini. Ia tidak membiarkan suasana kelas dalam keadaan kacau. Adapun cara yang
sebaiknya dilakukan antara lain:[9]
a) Membuat aturan
b) Mengalihkan perhatian
c) Mengabaikan perilaku tertentu.
d) Memberikan reward dan reinforcement
e) Memberikan perintah dan larangan langsung
f) Memberikan pertanyaan
g) Memberikan isyarat
h) Memberikan perjanjian
i)
Menantang
j)
Mengendalikan
secara fisik.
c. Prinsip-prinsip Menjatuhkan Hukuman
Menurut
kaca mata penulis, 10 penyakit tersebut sudah membudaya dan sangat kronis
menyerang sebagian guru, bahkan mungkin sebagian besar guru. Seperti apakah 10
penyakit tersebut ? Penyakit tersebut dapat penulis uraikan dari penyakit ASMA
yaitu penyakit asal masuk kelas, kemudian meningkat menjadi penyakit ASAM
URAT yaitu asal susun materi, bahkan hanya kopi paste yang terkadang
sekolah asal, tahun pembuatan sudah kadalu warsa.
Kemudian
meningkat menjadi penyakit KUDIS yaitu kurang disiplin, meningkat lagi
menjadi penyakit LESU, lemah sumber. Karena lemah sumber, maka
penyakitnya meningkat menjadi JADUL atau jaman dulu artinya dari dahulu
kala pola mengajarnya sama. Maka muncul penyakit KUSTA kurang strategi,
kemudian meningkat lagi menjadi penyakit TBC tidak banyak cara, dari
tahun ke tahun tidak pernah ada perubahan.
Maka,
meningkatlah menjadi penyakit TIPUS tidak punya selera, MUAL mutu
amat lemah, terakhir menjadi penyakit KRAM yaitu kurang trampil.
Benarkah penyakit tersebut menyerang para guru ? Menurut hemat penulis penyakit
tersebut benar-benar menyerang ke sebagian guru, mungkin lebih. Bahkan sangat
mungkin masih ada penyakit lain yang lebih kronis.
Berdasarkan
realitas tersebut, para guru, kepala sekolah, pengawas sampai dengan kadiknas
dan seterusnya, perlu berbenah diri atau perlu intropeksi. Bagaimanakah 10
penyakit tersebut agar tidak menyerang ke para guru ?
Itulah persolan besar yang harus disembuhkan oleh personal dan para pengambil kebijakan mulai dari kepala sekolah, pengawas, kadiknas dan seterusnya. Maka reward and punishment perlu ditegakkan. Artinya bagi seorang guru yang telah menunjukkan perilaku tertib, disiplin, berdedikasi tinggi perlu mendapat apresiasi dan reward dari para pemimpinnya. Contoh seorang guru yang secara rutin selalu hadir di kantornya rata-rata berangkat lebih awal dan akhir, seharusnya mereka perlu disebut atau diberi ucapan terimakasih atas ketertibannya.
Itulah persolan besar yang harus disembuhkan oleh personal dan para pengambil kebijakan mulai dari kepala sekolah, pengawas, kadiknas dan seterusnya. Maka reward and punishment perlu ditegakkan. Artinya bagi seorang guru yang telah menunjukkan perilaku tertib, disiplin, berdedikasi tinggi perlu mendapat apresiasi dan reward dari para pemimpinnya. Contoh seorang guru yang secara rutin selalu hadir di kantornya rata-rata berangkat lebih awal dan akhir, seharusnya mereka perlu disebut atau diberi ucapan terimakasih atas ketertibannya.
Namun yang
terjadi sebaliknya. Bagi guru yang terlambatlah selalu diingatkan oleh
pimpinannya. Semestinya kedua-duanya perlu diperhatikan dengan porsi yang sama
pula. Hal tersebut tampaknya sangat sederhana, namun faktanya mempunyai imbas
atau pengaruh negatif yang tidak kecil. Bukankah sesuatu yang besar juga
berangkat dari yang kecil ?
Cara yang
lain di antaranya perlu diadakan workshop atau pelatihan di setiap akhir tahun
pelajaran, di suatu tempat yang dianggap mendukung terlaksananya program
tersebut dengan nyaman dan tentram. Pada kesempatan tersebut dapat mengundang
pakar pendidikan yang intinya menyadarkan para pelaku pendidikan bahwa kita
adalah selaku penyelenggara pendidikan, yang di dalamnya adalah mengelola
manusia. Maka pendekatan secara manusiawilah yang perlu dikedepankan. Bahwa
kita adalah penerima amanah dari para wali murid, maka kita harus mampu
menjalankan amanah tersebut dengan ketekunan, ketelatenan, kerja keras, iklas
dan kesabaran.
Maju
mundurnya Negara tergantung para guru dalam memperlakukan peserta didiknya,
ditunjang oleh pemerintah, lingkungan dan orangtua. Menurut DR JC Tukiman
Taruno untuk menyembuhkan penyakit tersebut di atas ditawarkan 3 cara, yaitu guru
berani berubah; kepala sekolah memimpin penuh percaya diri; siswa dikembangkan
partisipasinya.
Guru berani
berubah, dapat pemakalah tafsirkan bahwa kita mengajar dan mendidik adalah
pekerjaan mulia yang bersentuhan dengan manusia. Maka pendekatan dan sentuhan
cara-cara manusiawilah yang harus dikedepankan. Dan pentingnya menumbuhkan
sikap pribadi bahwa perubahan tidak datang dari siapapun, keculi dari
pribadinya. Kepala sekolah memimpin penuh percaya diri, dapat penulis tafsirkan
kepala sekolah harus berani memberi punishment kepada guru yang melanggar dan
memberi reward kepada guru yang berprestasi. Siswa dikembangkan
partisipasinya, penulis tafsirkan dalam kegiatan apa pun di kelas dan di luar
kelas, guru harus mampu melibatkan secara aktif peran serta siswa didik dalam
mengambil dan melaksanakan keputusan.
Menurut
para ahli pendidikan modern, khususnya yang berpegang pada pendekatan
humanistik, hukuman sebaiknya tidak sering dilakukan. Mereka beranggapan bahwa
hukuman yang sering dilakukan dapat menyebabkan anak atau siswa mengalami
gangguan dalam pertumbuhan psikisnya. Dalam hal ini, hukuman hendaknya
dilakukan sebagai langkah terakhir apabila cara-cara pengendalian lainnya
dipandang tidak ampuh. Tetapi tetap harus diingat, jika kita mempergunakan
hukuman sebagai alat pengendali siswa, kita hendaknya mengombinasikan dengan
pemberian reward dan reinforcement.
Secara
garis besar, ada tiga bentuk hukuman yang dapat diberikan, yaitu :
1) Membuat siswa melakukan perbuatan yang
tidak menyenangkan (restitusi)
2) Mencabut kegemaran atau kesempatan anak
yang dimiliki siswa (deprivasi)
3) Menimpakan rasa sakit berbentuk kejiwaan
atau fisik terhadap siswa.
Dr. Charles Schaefer (1994)
memberikan garis-garis pedoman dalam menjatuhkan hukuman, seperti berikut :
1. Jelas dan terang, yaitu :
§ Menyebutkan kesalahan yang dilakukan
§ Menyebutkan aturan dan prinsip yang
dilanggar
§ Menerangkan hukuman yang harus diterima
(konsekuensi negatifnya)
2. Menunjukkan alternatif yang dapat
diterima.
3. Mencela tingkah laku, bukan mencela anak.
4. Konsisten.
5. Kumpulkan semua fakta
6. Melakukan secepatnya
7. Melibatkan anak
8. Tenang dan Onyektif.
9. Adil.
10. Hindari Hukuman Ganda.
11. Lakukan secara pribadi.
12. Layak.
13. Kehangatan.
B. Kebiasaan Baik yang seharusnya dilakukan
oleh Guru dalam Mendidik.
Menurut beberapa pendapat, prinsip umum yang
berlaku untuk semua guru yang baik :[10]
a) Guru yang baik memahami dan menghormati
murid.
b) Guru yang baik harus menghormati bahan
pelajaran yang diberikannya.
c) Guru yang baik menyesuaikan metode
mengajar dengan bahan pelajaran.
d) Guru yang baik mengaktifkan murid dalam hal
belajar (Learning by Doing)
e) Guru yang baik menyesuaikan bahan
pelajaran dengan kesanggupan individu.
f) Guru yang baik memberi pengertian dan
bukan hanya kata-kata belaka.
g) Guru menghubungkan pelajaran dengan
kebutuhan murud.
h) Guru mempunyai tujuan tertentu dengan tiap
pelajaran yang diberikannya.
i)
Guru
jangan terikat dengan satu buku pelajaran (textbook).
j)
Guru
yang baik tidak hanya mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan saja kepada
kepada murid melainkan senantisa mengembanngkan pribadi anak.
Kebiasaan-kebiasaan baik yang
ada pada guru yang biasa dilakukan guru :[11]
a) Saat memasuki dan meninggalkan ruang
kelas.
b) Suka membagi fase pembelajaran.
c) Membuat catatan tugas dan anekdot
d) Berupaya menghafal nama siswa.
e) Suka memberikan bantuan secara individual.
f) Suka memberikan nasihat
g) Memberikan kesempatan berdialog atau
berkonsultasi
h) Tepat waktu
[1] Drs. Wasty Soemanto, Kepemimpinan dalam Pendidikan, Surabaya, 1982, Usaha Nasional, hal : 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar