A.
Sejarah Pemikiran Liberal
Kata liberal secara harfiah artinya
"bebas" (free), artinya "bebas dari berbagai
batasan" (free from restraint).[1]
Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat dan tradisi politik yang
didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama.
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas,
digambarkan dengan kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme
menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme
menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas, begitu juga dengan ekonomi
pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan
suatu system pemerintahan yang transparan, menolak adanya pembatasan terhadap
pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi
dasar bagi tumbuhnya kapitalisme. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan
dapat tumbuh dalam system demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama
mendasarkan kebebasan mayoritas.
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah yang
sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat yang Kristen. Pada tiga abad
pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi
sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan
agama Kristen sebagai suatu kejahatan.[2]
Menurut Abdulah Nashih Ulwan, pada era awal ini pengamalan agama Kristen
sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,"Berikanlah kepada Kaisar apa
yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik
Tuhan." (Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313,
ketika Kaisar Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya, pada
tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani
sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi.[3]
Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan
(Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages).[4]
Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya
sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan
sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas
dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran..[5]
Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan
penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/ kaisar, seperti
kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan
pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan
Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546),
Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan
munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528)
dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki
disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menurut kebebasan. Dalam sejarah
Kristen Eropa, kata secular dan liberal dimaknai sebagai
pembebasan masyarakat dari cengkeraman kekuasaan Gereja yang sangat kuat dan
hegemonik pada zaman pertengahan.[6]
Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment)
abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin
mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778), dan
Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi
Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari
masyarakat, negara, dan politik.[7].
Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh
konsep ideologi dan peradaban Barat.[8]
B.
Pendidikan Liberal : Tatanan Ideologi Sekular
Pendidikan liberal bercirikan
ke Barat-Baratan[9],
karena memuat anggapan bahwa segala hal harus didiskusikan. Medan yang dimasukinya yaitu kelangsungan
dialog yang merupakan sendi-sendi peradaban Barat. Peradaban Barat adalah
peradaban dialog itu sendiri. Sebagai peserta dalam percakapan besar yang telah
dimulai dari awal mula sejarah, peradaban-peradaban ini memiliki ruang lingkup
yang besar dan mulia dalam hal ini. Tapi peradaban Barat adalah yang terbesar
dari semuanya.
Peradaban Barat memperhatikan Intelektualitas
manusia bukan bagian dari asumsi kehidupan. Namun Barat lebih percaya bahwa “kebebasan”
mampu membentuk karakter manusia sejati. Dari sini dapat dilacak keberadan
derajat hati seakan tidak begitu mulia, yang lebih mengherankan peradaban Barat
menjadikan kebebasan bergerak sebagai kunci utama kemuliaan karena dengannya
manusia mampu menemukan apa yang diinginkan tanpa memperdulikan cara
memperolehnya.
John Stuart Mill, dalam karyanya, On Liberty, merupakan pertama yang menyadari akan adanya perbedaan antara kebebasan sebagai kebebasan bertindak dan kebebasan sebagai absennya koersi. Dalam bukunya, Two Concepts of Liberty, secara resmi merangkai perbedaan antara dua perspektif ini sebagai perbedaan antara dua konsep kebebasan yang berlawanan: kebebasan positif dan kebebasan negatif. Penggunaan lain kemudian sebuah kondisi negatif di mana individu dilindungi dari tirani dan arbrituari yang dilakukan oleh otoritas, sementara yang sebelumnya memasukkan hak untuk memakai hak sipil.
John Stuart Mill, dalam karyanya, On Liberty, merupakan pertama yang menyadari akan adanya perbedaan antara kebebasan sebagai kebebasan bertindak dan kebebasan sebagai absennya koersi. Dalam bukunya, Two Concepts of Liberty, secara resmi merangkai perbedaan antara dua perspektif ini sebagai perbedaan antara dua konsep kebebasan yang berlawanan: kebebasan positif dan kebebasan negatif. Penggunaan lain kemudian sebuah kondisi negatif di mana individu dilindungi dari tirani dan arbrituari yang dilakukan oleh otoritas, sementara yang sebelumnya memasukkan hak untuk memakai hak sipil.
Pendidikan liberal yang selalu berusaha
menciptakan krisis kemanusiaan global dilihat dari aspek doktrinasi, tidak bisa
lepas dari permasalahan ”pemikiran kaum liberal” yang selalu mendewakan
modernitas. Salah satu ciri paham liberal adalah prinsip yang tidak mau
disalahkan, misalnya, jika terjadi konflik antara ajaran atau paham Islam dan
pencapaian modernitas, yang harus dilakukan bukanlah menolak modernitas itu
tapi harus menafsirkan kembali ajaran atau paham tersebut. Paham liberal bukan hanya berlaku dalam
lingkup agama namun lebih luas dari itu liberal mencoba merusak tatanan
ekonomi, pendidikan, social, dll,
Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu
nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang
sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad
Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara etimologi berarti
"bebas dari batasan" (free from restraint), karena liberalisme
menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. Ini
berlawanan dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja
mendominasi seluruh segi kehidupan manusia. Ideologi Barat itu juga dapat
dinamai dengan istilah kapitalisme atau demokrasi yang menginginkan modernisasi
tercipta dimuka bumi. Jika istilah kapitalisme lebih digunakan untuk menamai
sistem ekonominya, istilah demokrasi sering digunakan untuk menamai sistem
politik atau pemerintahannya, istilah modernisasi cenderung digunakan dalam
lingkungan pendidikan.
Namun monopoli istilah demokrasi untuk ideologi
Barat ini sebenarnya kurang tepat, karena demokrasi juga diserukan oleh
ideologi sosialisme-komunisme dengan nama "demokrasi rakyat", yakni
bentuk khusus demokrasi yang menjalankan fungsi dictator proletar. (budiardjo,
1992:89). Ideologi Barat memang mempunyai banyak nama, bergantung pada sudut
pandang yang digunakan. Namun, yang lebih penting adalah memahami akar
pemikiran liberal yang menjadi pondasi bagi seluruh struktur bangunan ideologi
Barat. Menurut Ahmad Al-Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah,[10]
akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme),
yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Agama dari
pendidikan. Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala
pemikiran dalam ideologi Barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti
liberalisme di bidang politik, ekonomi, pendidikan ataupun agama, semuanya
berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme (fashl al-din 'an al-hayah).[11]
C.
Paradigma
Pendidikan Liberal[12]
Paradigma pendidikan liberal bermuara
pada konsep modernisasi di Barat. Salah satu faktor modernitas adalah
pengakuan sepenuhnya terhadap kebebasan individu. Di samping kebebasan
individu, modernisasi juga mengedepankan kebebasan kuasa akal manusia
(rasionalis). Paradigma pendidikan liberal berkiblat pada aliran filsafat
eksistensialis dan progresifisme. Namun, sekali lagi paradigma penidikan
liberal itu tetap berorientasi untuk melanggengkan norma-norma yang telah
mapan, akibatnya pendidikan liberal tidak konstruktif atau dinamis.
Paradigma pendidikan liberal tidak bisa lepas
dari dasar filosofnya , yakni disebut aliran filsafat positivisme, sementara
positivisme itu sendiri merupakan paradigma keilmuan yang berakar dari filsafat
rasionalisme.
Akar dari pendidikan
Liberalisme yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan
(aspek potensi), melindungi hak-hak, dan kebebasan manusia (freedom,
hurriyyah), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara
inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Paham individualistik sangat kuat mempengaruhi paradigma
pendidikan liberal. Sehingga konsep pendidikan dalam
tradisi liberal juga berakar pada cita-cita Barat tentang individualisme. Ide
politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya
kelas menengah yang diuntungkan oleh
kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan
melihat komponen-komponennya. Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat
Barat tentang model manusia universal yakni model manusia Amerika dan Eropa.
Model tipe ideal mereka
adalah manusia "rationalis liberal", seperti:
pertama, bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam
intelektual.
kedua, baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap
oleh akal
ketiga, adalah "individualis" yakni adanya angapan
bahwa manusia adalah atomistik dan otonom (Bay,1988). Menempatkan individu
secara atomistic, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai
kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang
tidak stabil.
Dalam konteks potensi, akal manusialah yang di
pandang paling urgen dalam paradigma pendidikan liberal. Manusia dipandang
sebagai binatang yang rasional (animal rasional) merupakan kelainan tersendiri
bagi ragam eksistensi yang ada. Manusia tidak bisa disamakan dengan eksistensi
lainnya yang tidak berakal.
Disamping pendewasan akal manusia, paradigma
pendidikan liberal juga mengakui atas hak-hak individu manusia. Maksudnya
setiap manusia memiliki kebebasan memilih dan bertindak sesuai dengan
hatinya, orang lain tidak punya hak atas tindakan dan pilihannya. Oleh karena
itu paradigma pendidikan liberal bernuansa kebebasan manusia secara
individual.
Paradigma pendidikan liberal juga mengalami
beberapa anomali yang memerlukan penambahan-penambahan. Kebebasan manusia
menurut paradigma ini bermuara pada prinsip Individualisme sebagai
konsekwensi dari arus modernisasi barat yang cenderung kering dari
kehidupan religiusitas (Muarif, 2005 :46). Dalam paradigma ini cenderung
terjadi pendikotomian antara pendidikan Islam dan pendidikan umum, di karenakan
agama tidak dijadikan suatu bagian dari ilmu pengetahuan.
[2]
Ahmad Idris. Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh Al-Injil wa Al-Kanisah), Penerjemah H.
Salim Basyarahil. Jakarta
: Gema Insani Press. 1991. hlm. 74.
[3] Adian
Husaini. Wajah Peradaban Barat dari
Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta : Gema Insani Press. 2005. hlm 31.
[4] Adian Husaini. Mengapa
Barat Menjadi Sekuler Liberal?. Ponorogo : CIOS. 2007. hlm. 4.
[5] Ahmad
Idris. Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh
Al-Injil wa Al-Kanisah), Penerjemah H. Salim Basyarahil. Jakarta : Gema Insani Press. 1991. hlm.
75-80.
[6]
Op. cit..
[7]
Ahmad Al-Qashash, Usus Al-Nahdhah
Al-Rasyidah, (Beirut
: Darul Ummah), 1995, hlm. 30.
[9] Paulo Freire, Dkk., Menggugat
Pendidikan Fundamentalis, Konservatif,
Liberal, Anarkis, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003, hlm. 219.
[10]
Ahmad Al-Qashash, Usus Al-Nahdhah
Al-Rasyidah, (Beirut
: Darul Ummah), 1995, hlm. 31.
[12] http://kampusciamis.com/content/view/120/116/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar