Dalam dunia pendidikan,
istilah guru bukanlah hal yang asing. Menurut pandangan lama, guru adalah sosok
manusia yang patut digugu dan ditiru. Digugu dalam arti ucapannya dapat
dipercayai . Ditiru berarti segala tingkah lakunya harus dapat menjadi contoh
atau tauladan bagi masyarakat. Menurut kamus Umum Bahasa
Indonesia, guru diartikan sebagai seseorang yang pekerjaannya mengajar dan
dimaknai sebagai tugas profesi. Untuk menjadi guru, seseorang harus memenuhi
persyaratan profesi. Tidak semua orang bisa menjadi guru.
Dalam pandangan Mohammad Uzer
Usman (1992:4), guru merupakan profesi, jabatan dan pekerjaan yang memerlukan
keahlian khusus. Menurutnya jenis pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh
sembarang orang di luar bidang kependidikan, meskipun kenyataannya masih
didapati guru yang berasal dari luar bidang kependidikan.[1]
Guru sebagai pendidik menurut
jabatan menerima tanggung jawab mendidik anak dari tiga pihak, yaitu orang tua,
masyarakat dan negara. Seyogiyanya kepada guru diharapkan mengembangkan
sikap-sikap dan sifat yang normatif baik sebagaikelanjutan dari sikap orang tua
pada umumnya. Caranya antara lain :[2]
§ Kasih sayang
§ Tanggung jawab kepada tugas mendidik
§ Kesediaan berkorban
Sebagai
pendidik, guru juga harus menguasai ilmu yang diajarkan dan terampil mengajar
dan pribadinya patut diteladani. Langgulung (1988:85) menjelaskan perlu reorientasi
terhadap guru-guru dan pendidik-pendidik sesuai dengan pendidikan Islam.[3]
Menurut
pendapat lain, guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki
andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru
sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan
tujuan hidupnya secara optimal. Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke
sekolah pada saat itu juga menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat
berkembang secara optimal.[4]
Apa
yang dimaksud dengan guru yang efektif? Menurut Micheal Marland (1990:13-14),
seorang guru dapat dikatakan efektif bila ia memilki sikap penuh perhatian dan
pantang menyerah, penjelasannya mudah dipahami, serta mampu mengelola kelas
dengan baik.
Clara
R. Pudji Joyganti (1988:62) berpendapat bahwa guru efektif adalah guru yang
meningkatkan seluruh kemampuan siswa ke arah yang lebih positif melalui
pengajarannya. Oleh sebab itu, untuk menjadi guru yang efektif perlu waktu,
usaha, dan kerja keras yang diiringi dengan tekad yang kuat dan semangat
pembaruan. Tanpa itu semua kita tidak akan menjadi guru efektif.
Menurut Clara R. Pudji
Joyganti (1988), individu yang mempunyai konsep diri negatif akan menunjukkan
tingkat kecemasan yang tinggi, perasa, menolak diri, merasa tidak berharga dan
sulit berhubungan dengan orang lain. Sebaliknya, seorang guru yang berpandangan
positif terhadap dirinya dan para siswanya, akan menunjukkan sikap dan perilaku
yang positif pula. Ia tampil prima, penuh rasa percaya diri, menghargai siswa,
dan bisa mengendalikan peserta didik dalam proses pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan.
Maka jelaslah sekarang, untuk
menjadi guru yang efektif dibutuhkan konsep diri yang positif. Guru yang
memiliki konsep diri positif mampu menciptakan situasi belajar yang kondusif.
Hal yang menjadi faktor pendukungnya antara lain :
1) Luwes dalam pembelajaran
2) Empati dan peka terhadap segala kebutuhan
siswa
3) Mampu mengajar sesuai dengan selera siswa
4) Mau dan mampu memberikan peneguhan (reinforcement)
5) Mau dan mampu memberikan kemudahan,
kehangatan, dan tidak kaku, dalam proses pembelajaran
6) Mampu menyesuaikan emosi, percaya diri,
dan riang dalam proses pembelajaran.
Dengan
demikian, konsep diri guru efektif merupakan modal ruhaniyah bagi seorang guru
untuk menjadikan dirinya efektif dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar,
pendidik, dan pelatih siswa. Oleh sebab itu, setiap guru hendaknya memahami dan
menyadari hal ini.
Sebelum proses belajar
mengajar dimulai, guru dituntut sedah memiliki kemempuan dan kerelaan untuk
memaklumi alam fikiran dan perasaan siswa. Guru harus bersedia pula menerima
siswa apa adannya. Di sisi lain, guru harus mendekati siswa secara kritis
karena siswa tidak bisa dibiarkan dalam keadaannya sekarang (W.S. Winkel, 1991
: 110).
Dengan demikian, kepribadian
seorang guru seolah-olah terbagi menjadi dua bagian. Di satu pihak menerima, di
lain pihak menolak. Tuntutan kepribadian seperti itu harus disadari oleh guru.
Seorang guru yang tidak bisa bisa memerankan pribadinya sebagai guru, ia akan
berpihak kepada salah satu pribadinya saja. Ia hanya akan menjadi guru yang
menerima atau menolak para siswa dalam segala kondisi dan keadaan.
Dengan perkataan lain, seorang
guru harus mampu berperan ganda. Peran guru ini dapat diwujudkan secara
belainan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Pada waktu tertentu,
guru berperan sebagai sosok yang menyayangi siswanya, diwaktu lain guru
berperan sebagai pemberi hukuman, penasehat, penghalang, pendorong, konsultan,
juga peran-peran lain sesuai dengan tuntutan keadaan siswa.
Untuk mewujudkan pribadi yang
luwes ini, setiap guru harus menyadari tugas dan posisinya sebagai pengajar,
pendidik dan pelatih. Untuk melaksanakan ketiga tugas ini diperlukan
kepribadian yang utuh dan unik tadi.
Tugas dan Peran Guru
Tugas guru merupakan suatu
proses memndidik, mengajar, dan melatih peserta didik. Mendidik berarti meneruskan
dan mengembangkan nilai-nilai hidup (afektif). Mengajar berarti meneruskan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (kognitif). Adapun melatih berarti
mengembangkan keterampilan para siswa (psikomotorik).
Untuk melaksanakan ketiga
tugas pokok tersebut, seorang guru dituntut mempunyai beberapa kemampuan
sebagai berikut :
1. Berwawasan luas, menguasai bidang ilmunya,
dan mampu mentransfer atau menerangkan kembali kepada siswa.
2. Mempunyai sikap dan tingkah laku
(kepribadian) yang patut diteladani sesuai dengan nilai-nilai kehidupan (values)
yang dianut masyarakat dan bangsa.
3. Memiliki keterampilan sesuia dengan bidang
ilmu yang dimilikinya.
Dalam melaksanakan tugasnya,
guru memiliki beberapa peran, antara lain[5]:
1) Peran Guru sebagai Demonstrator
Sebagai demonstrator, guru
adalah seorang pengajar dari bidang ilmu yang ia kuasai. Oleh karena itu, agar
dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, seorang guru harus menguasai bahan
pelajaran yang akan diajarkan. Ia harus senantiasa belajar meningkatkan
penguasaannya terhadap ilmu sesuai dengan bidangnya.
2) Peran Guru sebagai Pengelola Kelas
Sebagai pengelola kelas,
seorang guru harus mampu menciptakan suasana atau kondisi belajar di kelas. Ia
juga harus mamapu merangsang siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran,
terampil mengendalikan suasana kelas agat tetap hangat, aman, menarik dan
kondusif.
3) Peran Guru sebagai Mediator dan Fasilitator
Sebagai mediator, seorang guru
dituntut memilki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan
sebagai alat komunikasi dalam proses pembelajaran. Dan terampil memilih,
menggunakan, mengusahakan media pendidikan, serta mampu menjadi media
(perantara) dalam hubungan antar siswa dalam proses belajar mengajar.
Sebagai Fasilitator, guru
hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar dan berguna serta dapat menunjang
tercapainya tujuan dalam proses belajar-mengajar, baik yang berwujud
narasumber, buku teks, majalah, surat kabar, maupun sumber belajar lainnya.
4) Peran Guru sebagai Evaluator
Sebagai evaluator, seorang
guru dituntut mampu melakukan proses evaluasi, baik untuk mengetahui
keberhasilan dirinya dalam melaksanakan pembelajaran (feed back), maupun
untuk menilai hasil belajar siswa.
Untuk mewujudkan peran ini,
seorang guru dituntut memiliki keterampilan sebagai berikut :
a. Mampu merumuskan alat tes yang valid
dan reliable.
b. Mampu menggunakan alat tes dan non-tes
yang tepat.
c. Mampu melaksanakan penilaian secara
objektif, jujur dan adil.
d. Menindak lanjuti hasil evaluasi
secara proporsional.
Diantara sekian banyak peran
guru dalam proses belajar-mengajar yang dianggap paling dominan adalah sebagai
evaluator.
Dalm bukunya : The Role of the Teacher, Eric Hoyle
mengemukakan tentang peran guru sebagai berikut :[6]
1) Sebagai
bapak (Teacher of Father). Ia tahu
apa yang ia perbuat dan semua yang diperbuatnya demi kepentingan sang anak.
2)
Sebagai kakek (Teacher as Grand Father). Seorang kakek
itu baik hati, suka bercerita kepada cucu-cucunya.
3)
Sebagai nenek (Teacher as Grand Mother). Sebagai tukang
cerita.
4)
Sebagai kakak tertua (Teacher as a Oldest Brother),
selalu mengajak untuk bekerjasama.
5)
Sebagai paman (as an Uncle), suka memberi informasi dan
berbagai ide.
6)
Sebagai ipar (as Causin), mengajar muridnya tidak
menaruh perhatian terhadap mereka dan biasanya ia memikirkan hal-hal lain,
seringkali memperhatikan tugas pokoknya sendiri.
7)
Sebagai sersan mayor (as Sergion Major), pengawal
pasukan dengan disiplin ketat dan menggunakan catatan dari berbagai buku,
selalu mengadakan parade senja untuk menghormati pimpinan pasukan.
8) Sebagai Sigmund Freud, alat Bantu atau
sarana untuk menyelesaikan konflik dan ketegangan.
9) Sebagai kelompok Psikoterapist (as Group
Psikoterapist), menggunakan drama sebagai terapi.
10) Sebagai editor buku (Priten’s Reader),
mengadakan koreksi terhadap tulisan sebuah buku sebelum dicetak.
11) Sebagai guru, yang menyampaikan
pengetahuan.
Sesungguhnya peranan guru itu
tidak hanya terbatas oleh dinding-dinding kelas tempat ia mendidik siswanya. Ia
punya tugas di dalam dan di luar kelas di sekolah serta di masyarakat.[7]
Penelitian mengenai peranan guru, berupaya menemukan komponen-komponen penting
pengajaran dan cara terbentuknya tingkah laku guru dalam sistem pendidikan yang
telah dirancang adalah :[8]
Pertama, tidaklah seperti halnya hukum,
kedokteran, dan kebanyakan profesi lain, mengajar tidak memiliki bentuk ”mati”.
Keahliannya bisa dijelmakan menjadi panduan kerja. Jadi, dalam mengajar banyak
peluang improvisasi.
Kedua, dibandingkan dengan profesi lain yang
lebih tinggi, belajar beda pola penerimaan tenaga barunya, pendidikannya dan
mobolitas karirnya. Karena merupakan profesi yang mudah penerimaannya.
Ketiga, mengajar membentuk interaksi secara
afektif dan terus menerus dan murid dan kelangsungan mengajar itu terisolir
baik bagi guru maupun murid di kelas lainnya.
Fenomena yang terjadi seputar
pendidikan di negara modern, misalnya di India. Di India dan negara-negar
miskin lainnyabanyak diantara ruang sekolah hanyalah sedikit lebih baik
daripada gubuk. Anak-anak itu tampak kurang makan, waktu sekolah mereka tidak
teratur, guru mereka tidak memiliki apapun kecuali pendidikan yang paling
sederhana. Anak-anak itu diajar dengan jalan menghafal dan apa yang di ajarkan
sebagian besar adalah pengetahuan keagamaan tradisional.[9]
Fungsi Guru :
1) Guru sebagai Pendidik
Salah satu fungsi guru yang
umum adalah sebagai pendidik. Dalam melaksanakan fungsi ini, guru dituntut
menjadi inspirator dan menjaga disiplin kelas. Sebagai inspirator, guru
memberikan semangat kepada para siswa tanpa memandang tingkat intelektual atau
tingkat motivasi belajarnya. Buatlah semua siswa senang bergaul dengan guru,
baik di dalam maupun di luar kelas. Hal ini tentu saja menuntut fleksibilitas
yang tinggi.
Sebagai korektor, ia harus
berusaha membetulkan sikap dan tindakan siswa yang tidak sesuai dengan tuntutan
kehidupan manusia. Hal ini berarti bahwa guru harus mampu memberikan peneguhan
dan hukuman secara tepat.
2) Guru sebagai Didaktikus
Menurut Benyamin Bloom
sebagaimana dikutip W.S. Winkel (1991:115), kualitas pengajaran sangat
bergantung pada cara penyajian materi yang harus dipelajari. Selain itu,
bagaimana guru menggunakan peneguhan, mengaktifkan siswa supaya berpartisipasi
dam merasa terllibat dalam proses belajar dan bagaimana cara guru memberikan
informasi kepada siswa tentang keberhasilan mereka merupakan cara-cara yang
biasa disampaikan. Semua hal tersebut menuntut keterampilan didaktik guru.
Oleh sebab itu, dalam
menjalankan tugasnya sebagai didsktikus, seorang guru dituntut memiliki
keterampilan sebagai berikut :
a. Jelas dalam menerangkan dan memberikan
tugas.
b. Bervariasi dalam menggunakan prosedur
didaktik.
c. Cara bekerjanya sistematik.
d. Mampu menanggapi pertanyaan dan gagasan
siswa secara positif.
e. Memberikan umpan balik yang informatif
tentang kemajuan siswa.
[1] Sukadi, Guru Powerful, Guru Masa Depan, Jakarta, 2006, hal :8-9
Informasi” di Medan, 25 April 2009
[5] Op-Cit, Sukadi, hal :20-22
[6] Drs. Piet A. Sahertian, dkk, Supervisi
Pendidikan, Jakarta, Rieneka Cipta, 1992, hal : 34-35
[8]
Drs. Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, Surabaya, Usaha Nasional, hal. 165-166
Tidak ada komentar:
Posting Komentar